Naila memandangi Farida seiring berkata sangat santun kala kalimat penolakan hadir, "Naila tidak pantas mendapatkan perhiasan indah ini, lagipula Naila merasa cukup memiliki perhiasan dari Daffa saat menikah. Mama tidak perlu memberi Naila hadiah karena berhasil mengubah Daffa menjadi lebih baik, toh perubahan Daffa sudah Naila syukuri." Embusan udara dibuang. 'Andai benar Daffa berubah.'Farida membentuk senyuman bangga. "Kamu memang menantu terbaik, tapi mama sangat ikhlas memberikannya. Kalau tidak mau dipakai, disimpan saja ya sayang, anggap saja perhiasan ini kenangan-kenangan dari mama. Naila sama Daffa juga bisa memakaikannya pada anak kalian kelak. Insyaallah."Naila manggut kecil sangat santun. "Iya ma, terimakasih." Sodoran Farida diterima olehnya. Kini, keduanya duduk santai di depan televisi. Ini adalah rumah orang paling kaya di kota ini, apalagi di daerah ini, tentu saja Naila merasa sangat kecil di sini, dirinya merasa bukan siapa-siapa, mengingat keadaan hidup keluarga
Naila tetap bergeming hingga Daffa kembali mengalihkan tatapan tidak bersahabat pada si gadis, tetapi di detik kemudian dirinya mengeluarkan suara lembut. "Iya sudah, kita makan malam di rumah mama dan papa, tapi cepat selesaikan dan langsung pulang." Naila segera mengangkat wajahnya perlahan, menatap Daffa. "Iya." Suara lembut bersama anggukannya, "saya mau beres-beres dulu sebentar," pamitnya. Saat ini Daffa mulai berpikir jika dirinya terlalu sering membentak, menegur dan memarahi Naila padahal tidak semua kesalahan ada pada Naila. Laki-laki ini merenung, "Sepertinya tindakan saya terlalu kasar sama Naila, tapi wajar saja, saya tidak menginginkan pernikahan ini dan ada banyak gadis cantik di luar sana melebihi Naila, tapi saya tidak bisa bebas mendekati mereka. Ck!" Baru saja bisikan baik malaikat menyentuh hatinya, tetapi berakhir mendengarkan bisikan setan.Daffa berjalan menuju arah kamar mandi saat Naila sedang membersihkan tempat sampah di dapur. Sejenak, laki-laki ini menat
Sekitar lima belas menit setelah Daffa meninggalkan ruang makan, Naila baru saja menyusul. "Kamu ngapain sih lama-lama di sana? Emangnya tidak pernah makan makanan enak?" teguran Daffa menggunakan suara biasa saja, tetapi jelas dirinya sangat kesal."Tadi pas selesai makan, mama ganti piring saya yang isinya buah-buahan terus menyuruh saya menghabiskannya." Naila duduk ragu setelah memberikan penjelasan pada Daffa. Suaminya sudah berhenti merokok, satu batang rokok sudah habis dilalap api."Iya sudah, kita pulang sekarang!" ajakan Daffa yang segera berdiri seiring meraih tangan kanan Naila supaya istrinya juga bangkit.Naila segera bangkit dari duduknya seiring tarikan Daffa, tidak lupa mengingatkan suaminya, "Kita harus pamitan dulu.""Iya, bawel!" Daffa menggenggam tangan Naila hingga tiba di hadapan keluarganya. "Daffa sama Naila mau pulang sekarang saja.""Kok cepat-cepat ..., menginap ya," ajakan Farida yang enggan melepaskan anak dan menantunya."Tidak bisa ma, lain kali saja ya
"Saya tidak punya pasangan," jawaban Daffa untuk gadis di hadapannya. Maka, seketika gadis ini merona."Iya sudah, nanti malam kamu bisa berdansa sama saya." Tatapan Gisel berbinar."Iya. Sampai ketemu besok malam." Daffa memandangi gadis cantik bertubuh indah yang semakin menjauh, rambutnya digerai memesona hingga membuat kekaguman Daffa muncul begitu saja. "Mending sama dialah dari pada sama Naila, keculai kalo Naila bersedia pakai gaun terus buka hijabnya!"Rico baru saja menghampiri. "Saya baru dapat undangan dari Gisel. Kamu mau bawa Naila?""Yang benar saja. Naila mana bisa dibawa ke pesta, kalau ke pengajian ibu-ibu baru dia bisa!""Jadi kamu bawa siapa?""Saya sama Gisel." Senyuman ditarik nakal oleh Daffa."Serius. Bukannya kalau sudah menikah kamu tidak boleh sama ce ...." Belum sempat Rico menyelesaikan kalimatnya Daffa sudah membungkam deretan kata yang akan keluar dari mulutnya."Jangan bahas pernikah. Ini rahasia!" desisnya bersama tatapan memicing tajam."Sorry." Rico t
Daffa kembali ke kediamannya saat Naila sedang merapihkan rumah. Segera, gadis ini menyapa suaminya, "Baru pulang ...." Gadis ini segera meminta tangan kanan Daffa untuk mengecupnya dengan santun. Laki-laki ini memberikannya, tetapi tidak memakai hati sama sekali, seperti biasanya. Justru kali ini lebih parah, Gisel sedang menari dalam kepalanya. "Besok saya akan pergi seharian karena ada urusan di kampus dan mungkin tidak akan pulang." Dingin Daffa. "Tapi kamu masih bekerja di perusahaan papa?" ragu Naila mengutarakan pertanyaan ini. "Tidak. Saya akan bolos." "Iya sudah, kalau papa kamu sudah tahu." Naila tidak akan melarang Daffa melakukan apapun sesuka hatinya walau sebenarnya dirinya juga memiliki hak untuk bertanya lebih lanjut tentang kegiatan yang dimaksud Daffa, dan memiliki hak untuk meminta suaminya tetap pulang. Malam ini Daffa asik dengan handphonenya, berkirim chat bersama Gisel. [Di mana pacar kamu?] Pertanyaan dari Daffa. [Saya belum punya pacar.] Seketikan jawaban
Kalimat Daffa tidak main-main karena pada saat pesta ulangtahun Gisel, dirinya mendekati si gadis dengan khusus. "Saya suka kamu," ungkapnya.Gisel mengerjap saat hatinya melonjak kegirangan. "Saya juga."Di sisi lain, justru Naila sedang mendoakan keselamatan Daffa yang entah berada di mana dan melakukan kegiatan kampus dalam rangka apa. Dirinya melangitkan kalimat kebaikan sangat tulus walau Daffa sering menyakiti hatinya. "Aamiin." Kedua telapak tangannya mengusap wajah, "mudah-mudahan Daffa pulang walau tengah malam, karena tidak biasanya kalau Daffa tidak pulang." Mukena dibuka dan dirapihkan dengan baik.Sekilas, terdengar ketukan pintu yang membuat Naila berpikir jika itu Daffa. "Iya, sebentar." Kalimat lembutnya seiring berjalan meninggalkan kamar."Assalamualaikum." Suara Raihan sangat jelas terdengar di telinga Naila walau dirinya masih jauh dengan pintu utama."Itu kan Raihan. Mau apa Raihan kesini?" Keraguan menyerang pikirannya karena jika laki-laki itu mengunjungi rumahn
Pertemuan Raihan dan Naila sudah berakhir karena walaupun keinginan laki-laki ini berlama-lama memandangi si gadis, tetapi waktu tidak mendukung, angka pada jam tangannya sudah hampir tiba di angka sembilan. "Saya mengagumi kamu tanpa kamu sadari. Saya juga akan menjaga kamu diam-diam." Kalimatnya kala Naila sudah menutup pintu rapat-rapat.Raihan kembali ke pos, kawan-kawannya masih di sana. Kini, keempat pemuda mengisi waktu dengan bermain kartu, hingga beberapa pemuda lainnya ikut berkumpul. Pada pukul dua belas malam, barulah keempat pemuda berpencar untuk menjaga keamanan. Derap langkah Raihan sering memerhatikan rumah Naila yang tampak baik-baik saja. Bukan hanya bagian depan saja, dirinya juga memerhatikan bagian belakangnya karena tindak kejahatan bisa muncul dari sisi mana saja.Hingga angka di atas jam tangan menunjukan angka dua, Raihan masih melanjutkan misinya. Namun, kala dirinya hendak kembali ke sekitaran rumah Naila, deru motor Daffa menghampiri. Maka, wajahnya sempat
Naila memiliki firasat tidak enak tentang Daffa. "Mama bilang mau bangunkan Daffa. Kalau begitu pasti mama akan tahu napas Daffa bau alkohol. Kasihan sekali mama pasti sangat sedih." Bus baru saja tiba jadi Naila segera masuk ke dalamnya walau pikirannya berkecamuk karena gadis ini rasa andai mertuanya sudah mengetahui salah satu negatif putranya maka tidak ada hak untuknya ikut campur.Sementara, Farida tidak meninggalkan rumah anak dan menantunya walau urusannya sudah selesai karena dirinya ingin memberikan teguran pada Daffa setelah pengaruh alkohol hilang dari tubuh putranya. Dua jam, wanita ini menunggu hingga akhirnya Daffa keluar dari kamar seiring memanggil Naila dengan suara parau. "Nai, minta air." Langkahnya terhuyung maka apapun yang berada di dekatnya dijadikan tumpuan."Naila sudah pergi kuliah." Suara Farida sangat terdengar lirih, apalagi melihat kondisi Daffa seperti ini.Segera, Daffa terhenyak hingga langkahnya terhenti. "Loh, mama!""Duduklah." Namun, bagaimanapun