Pertemuan Raihan dan Naila sudah berakhir karena walaupun keinginan laki-laki ini berlama-lama memandangi si gadis, tetapi waktu tidak mendukung, angka pada jam tangannya sudah hampir tiba di angka sembilan. "Saya mengagumi kamu tanpa kamu sadari. Saya juga akan menjaga kamu diam-diam." Kalimatnya kala Naila sudah menutup pintu rapat-rapat.Raihan kembali ke pos, kawan-kawannya masih di sana. Kini, keempat pemuda mengisi waktu dengan bermain kartu, hingga beberapa pemuda lainnya ikut berkumpul. Pada pukul dua belas malam, barulah keempat pemuda berpencar untuk menjaga keamanan. Derap langkah Raihan sering memerhatikan rumah Naila yang tampak baik-baik saja. Bukan hanya bagian depan saja, dirinya juga memerhatikan bagian belakangnya karena tindak kejahatan bisa muncul dari sisi mana saja.Hingga angka di atas jam tangan menunjukan angka dua, Raihan masih melanjutkan misinya. Namun, kala dirinya hendak kembali ke sekitaran rumah Naila, deru motor Daffa menghampiri. Maka, wajahnya sempat
Naila memiliki firasat tidak enak tentang Daffa. "Mama bilang mau bangunkan Daffa. Kalau begitu pasti mama akan tahu napas Daffa bau alkohol. Kasihan sekali mama pasti sangat sedih." Bus baru saja tiba jadi Naila segera masuk ke dalamnya walau pikirannya berkecamuk karena gadis ini rasa andai mertuanya sudah mengetahui salah satu negatif putranya maka tidak ada hak untuknya ikut campur.Sementara, Farida tidak meninggalkan rumah anak dan menantunya walau urusannya sudah selesai karena dirinya ingin memberikan teguran pada Daffa setelah pengaruh alkohol hilang dari tubuh putranya. Dua jam, wanita ini menunggu hingga akhirnya Daffa keluar dari kamar seiring memanggil Naila dengan suara parau. "Nai, minta air." Langkahnya terhuyung maka apapun yang berada di dekatnya dijadikan tumpuan."Naila sudah pergi kuliah." Suara Farida sangat terdengar lirih, apalagi melihat kondisi Daffa seperti ini.Segera, Daffa terhenyak hingga langkahnya terhenti. "Loh, mama!""Duduklah." Namun, bagaimanapun
Mia segera mengudarakan panggilan pada putrinya. "Naila, kamu sedang apa dan sekarang sedang di mana?" Suara lembut mengalun Mia.Sebenarnya Naila ingin menangis meraung, mengadu pada Mia. Namun, mana mungkin gadis salihah sepertinya setega itu menyakiti orangtuanya. Maka, suaranya terdengar sangat tenang. "Naila sedang di rumah ma, baru pulang kuliah. Maaf ya ma, Naila jarang mampir habis selalu banyak tugas kuliah." Ini adalah kebohongan, tetapi dirinya harus melakukannya karena tidak ingin mengatakan dengan jujur jika setiap sore harus mengajar dengan rutin."Tidak apa sayang ..., Naila tidak perlu memaksakan diri kalau sibuk. Tapi jangan lupa pada urusan rumah dan keperluan Daffa.""Tidak lupa kok ma, sesibuk apapun Naila, tetap bisa mengerjakan semuanya kok ma." Suaranya sangat tenang hingga seolah sedang berbahagia, tetapi sebenarnya butiran bening sedang jatuh, mengalir di pipinya."Alhamdulillah ..., mama percaya kalau Naila memang sudah dewasa, bisa mengatur kehidupan rumah t
Daffa kembali tanpa berkata apapun hingga Naila tidak tahu jika Daffa mengetahui yang dilakukannya. Kini, segelas air disajikan. "Mau kopi?""Tidak." Datar Daffa yang sedang memainkan handphone seperti sedang berkirim chat."Iya sudah." Naila duduk di sofa yang lain di ruangan sama dengan Daffa karena dirinya terlalu canggung jika harus duduk di sisi Daffa, kemudian televisi dinyalakan, saluran islami menjadi tontonan Naila-si gadis salihah. Kebetulan menanyangkan pembahasan tentang kewajiban suami kepada istri."Heh, pindahkan!" Daffa segera menggerutu dengan ekspresi dingin. Titahnya segera mendapatkan anggukan Naila seiring memindahkan chanel pada acara sinetron walau dirinya tidak terlalu menyukainya, sedangkan Daffa masih asik chat bersama Gisel.[Jemput saya ya, jam enam.] Pinta Gisel.[Dari mana?][Dari rumah ke rumah tante saya.]Segera, bola mata Daffa melirik jam dalam layar handphonenya. [Sebentar lagi hampir jam enam, saya sedang di rumah, paling saya datang terlambat.][T
"Eu-tadi sih katanya ada perlu sebentar, mungkin sekarang sudah pulang pa," jawaban yang diberikan Naila dibuat seakan antara dirinya dan Daffa baik-baik saja."Papa mau ke rumah, boleh?""Boleh pa, silakan." Jadi, Haris menunggu Daffa di rumah bersama menantunya walau sedikit canggung, tetapi bagaimanapun juga pria ini harus bersabar sekaligus menahan amarah. Namun, setelah dipikirkan ulang jika dirinya menegur Daffa di sini maka Naila akan tahu suaminya berselingkuh. Kebingungan mulai merasuki Haris. "Nak Naila tahu Daffa pergi kemana atau mungkin Daffa mengatakan akan pulang jam berapa?""Tidak tahu pa, tadi Daffa tidak banyak bicara mungkin sedang terburu-buru." Kalimat kejujuran Naila dibalas anggukan kecil oleh Haris. Keduanya menyaksikan acara televisi hingga pukul sembilan malam, Haris bermaksud mengajak putranya berbicara di teras supaya Naila tidak mendengarnya, tetapi karena waktu semakin malam jadi pria ini berpamitan."Daffa kemana ya, apa pulang malam lagi?" Naila menung
Daffa geram pada sikap Reza, apalagi kalimatnya sangat mencemooh. Namun, kali ini dirinya sedang tidak ingin berdebat maka Reza dibiarkan begitu saja, dirinya pergi tanpa kata. "Sialan, memangnya siapa kamu!" rutuk Daffa saat meninggalkan lapangan.Di sisi lain Naila baru saja tiba di kampus, rupanya Rico di sana. "Pagi, Nai." Senyuman lembutnya."Iya, pagi ...." Seperti biasanya, Naila menundukan wajahnya."Saya sengaja datang kesini menemui kamu.""Sengaja," heran Naila karena semenjak dirinya menikah dengan Daffa tidak satupun pemuda mendekatinya lagi, "ada apa ya?""Eu-tapi saya bingung mengatakannya." Keraguan mencambuk hati Rico."Tidak apa, katakan saja.""Nai, tapi kamu jangan sakit hati ya, walau mungkin kabar yang saya bawa akan membuat kamu sakit.""Insyaallah, memangnya kenapa, ada apa?""Saya mau mengatakan tentang Daffa." Rico akan membongkar perselingkuhan Daffa tanpa bermaksud mencampuri urusan rumah tangga Daffa dan Naila, tindakannya murni dari hati karena dirinya me
Naila tidak memiliki pilihan lain, maka dirinya menerima tawaran Raihan karena jujur saja dirinya tidak sanggup berjalan sendiri walau itu hanya dari klinik hingga ke depan kampus. Gadis ini mencoba mendudukan tubuhnya, kemudian memertemukan kedua kakinya dengan lantai. "Aw!" Tubuhnya segera ambuk. Jadi Raihan memberanikan diri membuka tirai hingga mendapati Naila sudah terduduk di atas lantai. "Nai!" Inginnya segera menolong si gadis dengan meraih tubuhnya, tetapi terlalu tidak enak hati akibat status Naila yang menjadi pembatas besar. Alhasil, Raihan hanya mensejajarkan diri bersama Naila yang sedang duduk lesu, "Nai, masih pusing?" "Sedikit, tapi saya lemas." "Sudah makan belum. Makan dulu ya!" Perhatian Raihan dengan sedikit memaksa demi kebaikan Naila. Kali ini tawarannya mendapatkan anggukan setuju. "Kamu tunggu dulu ya di sini, saya mau membeli makanan." Raihan memandangi Naila sesaat, "mau saya bantu?" Naila tidak lantas menjawab karena tidak sepantasnya dirinya disentuh o
Daffa maupun Naila sama-sama tersentak kaget. Laki-laki ini segera memerotes, "Dok, mana mungkin Naila hamil, selama ini saya pakai pengaman kehamilan!""Sejak kapan?""Sudah lama." Kalimat Daffa sedikit canggung karena ini pembahasan sensitif."Jika dari awal menikah, Tuan Daffa boleh merasa heran," penjelasan simple dokter yang diperkirakan akan segera dimengerti oleh Daffa maupun Naila yang masih berusia sangat muda.Daffa membuang udara tidak tenang karena jika kehamilan Naila berlanjut maka hubungannya dengan Gisel harus berakhir, tetapi kali ini dirinya tidak dapat melakukan apapun. Saat dokter telah berlalu Daffa segera berkata kejam, "Kamu makan buah nanas muda saja, saya baca di internet katanya bisa menggugurkan kandungan!""Kenapa harus digugurkan?" sendu Naila karena bayi di dalam perutnya tidak berdosa."Memangnya kamu mau disusahkan sama bayi itu? Saya sih tidak.""Tapi bayi ini titipan Tuhan pada kita.""Saya tidak mau. Tuhan merepotkan saya saja, memberikan kamu sebaga