"Saya tidak punya pasangan," jawaban Daffa untuk gadis di hadapannya. Maka, seketika gadis ini merona."Iya sudah, nanti malam kamu bisa berdansa sama saya." Tatapan Gisel berbinar."Iya. Sampai ketemu besok malam." Daffa memandangi gadis cantik bertubuh indah yang semakin menjauh, rambutnya digerai memesona hingga membuat kekaguman Daffa muncul begitu saja. "Mending sama dialah dari pada sama Naila, keculai kalo Naila bersedia pakai gaun terus buka hijabnya!"Rico baru saja menghampiri. "Saya baru dapat undangan dari Gisel. Kamu mau bawa Naila?""Yang benar saja. Naila mana bisa dibawa ke pesta, kalau ke pengajian ibu-ibu baru dia bisa!""Jadi kamu bawa siapa?""Saya sama Gisel." Senyuman ditarik nakal oleh Daffa."Serius. Bukannya kalau sudah menikah kamu tidak boleh sama ce ...." Belum sempat Rico menyelesaikan kalimatnya Daffa sudah membungkam deretan kata yang akan keluar dari mulutnya."Jangan bahas pernikah. Ini rahasia!" desisnya bersama tatapan memicing tajam."Sorry." Rico t
Daffa kembali ke kediamannya saat Naila sedang merapihkan rumah. Segera, gadis ini menyapa suaminya, "Baru pulang ...." Gadis ini segera meminta tangan kanan Daffa untuk mengecupnya dengan santun. Laki-laki ini memberikannya, tetapi tidak memakai hati sama sekali, seperti biasanya. Justru kali ini lebih parah, Gisel sedang menari dalam kepalanya. "Besok saya akan pergi seharian karena ada urusan di kampus dan mungkin tidak akan pulang." Dingin Daffa. "Tapi kamu masih bekerja di perusahaan papa?" ragu Naila mengutarakan pertanyaan ini. "Tidak. Saya akan bolos." "Iya sudah, kalau papa kamu sudah tahu." Naila tidak akan melarang Daffa melakukan apapun sesuka hatinya walau sebenarnya dirinya juga memiliki hak untuk bertanya lebih lanjut tentang kegiatan yang dimaksud Daffa, dan memiliki hak untuk meminta suaminya tetap pulang. Malam ini Daffa asik dengan handphonenya, berkirim chat bersama Gisel. [Di mana pacar kamu?] Pertanyaan dari Daffa. [Saya belum punya pacar.] Seketikan jawaban
Kalimat Daffa tidak main-main karena pada saat pesta ulangtahun Gisel, dirinya mendekati si gadis dengan khusus. "Saya suka kamu," ungkapnya.Gisel mengerjap saat hatinya melonjak kegirangan. "Saya juga."Di sisi lain, justru Naila sedang mendoakan keselamatan Daffa yang entah berada di mana dan melakukan kegiatan kampus dalam rangka apa. Dirinya melangitkan kalimat kebaikan sangat tulus walau Daffa sering menyakiti hatinya. "Aamiin." Kedua telapak tangannya mengusap wajah, "mudah-mudahan Daffa pulang walau tengah malam, karena tidak biasanya kalau Daffa tidak pulang." Mukena dibuka dan dirapihkan dengan baik.Sekilas, terdengar ketukan pintu yang membuat Naila berpikir jika itu Daffa. "Iya, sebentar." Kalimat lembutnya seiring berjalan meninggalkan kamar."Assalamualaikum." Suara Raihan sangat jelas terdengar di telinga Naila walau dirinya masih jauh dengan pintu utama."Itu kan Raihan. Mau apa Raihan kesini?" Keraguan menyerang pikirannya karena jika laki-laki itu mengunjungi rumahn
Pertemuan Raihan dan Naila sudah berakhir karena walaupun keinginan laki-laki ini berlama-lama memandangi si gadis, tetapi waktu tidak mendukung, angka pada jam tangannya sudah hampir tiba di angka sembilan. "Saya mengagumi kamu tanpa kamu sadari. Saya juga akan menjaga kamu diam-diam." Kalimatnya kala Naila sudah menutup pintu rapat-rapat.Raihan kembali ke pos, kawan-kawannya masih di sana. Kini, keempat pemuda mengisi waktu dengan bermain kartu, hingga beberapa pemuda lainnya ikut berkumpul. Pada pukul dua belas malam, barulah keempat pemuda berpencar untuk menjaga keamanan. Derap langkah Raihan sering memerhatikan rumah Naila yang tampak baik-baik saja. Bukan hanya bagian depan saja, dirinya juga memerhatikan bagian belakangnya karena tindak kejahatan bisa muncul dari sisi mana saja.Hingga angka di atas jam tangan menunjukan angka dua, Raihan masih melanjutkan misinya. Namun, kala dirinya hendak kembali ke sekitaran rumah Naila, deru motor Daffa menghampiri. Maka, wajahnya sempat
Naila memiliki firasat tidak enak tentang Daffa. "Mama bilang mau bangunkan Daffa. Kalau begitu pasti mama akan tahu napas Daffa bau alkohol. Kasihan sekali mama pasti sangat sedih." Bus baru saja tiba jadi Naila segera masuk ke dalamnya walau pikirannya berkecamuk karena gadis ini rasa andai mertuanya sudah mengetahui salah satu negatif putranya maka tidak ada hak untuknya ikut campur.Sementara, Farida tidak meninggalkan rumah anak dan menantunya walau urusannya sudah selesai karena dirinya ingin memberikan teguran pada Daffa setelah pengaruh alkohol hilang dari tubuh putranya. Dua jam, wanita ini menunggu hingga akhirnya Daffa keluar dari kamar seiring memanggil Naila dengan suara parau. "Nai, minta air." Langkahnya terhuyung maka apapun yang berada di dekatnya dijadikan tumpuan."Naila sudah pergi kuliah." Suara Farida sangat terdengar lirih, apalagi melihat kondisi Daffa seperti ini.Segera, Daffa terhenyak hingga langkahnya terhenti. "Loh, mama!""Duduklah." Namun, bagaimanapun
Mia segera mengudarakan panggilan pada putrinya. "Naila, kamu sedang apa dan sekarang sedang di mana?" Suara lembut mengalun Mia.Sebenarnya Naila ingin menangis meraung, mengadu pada Mia. Namun, mana mungkin gadis salihah sepertinya setega itu menyakiti orangtuanya. Maka, suaranya terdengar sangat tenang. "Naila sedang di rumah ma, baru pulang kuliah. Maaf ya ma, Naila jarang mampir habis selalu banyak tugas kuliah." Ini adalah kebohongan, tetapi dirinya harus melakukannya karena tidak ingin mengatakan dengan jujur jika setiap sore harus mengajar dengan rutin."Tidak apa sayang ..., Naila tidak perlu memaksakan diri kalau sibuk. Tapi jangan lupa pada urusan rumah dan keperluan Daffa.""Tidak lupa kok ma, sesibuk apapun Naila, tetap bisa mengerjakan semuanya kok ma." Suaranya sangat tenang hingga seolah sedang berbahagia, tetapi sebenarnya butiran bening sedang jatuh, mengalir di pipinya."Alhamdulillah ..., mama percaya kalau Naila memang sudah dewasa, bisa mengatur kehidupan rumah t
Daffa kembali tanpa berkata apapun hingga Naila tidak tahu jika Daffa mengetahui yang dilakukannya. Kini, segelas air disajikan. "Mau kopi?""Tidak." Datar Daffa yang sedang memainkan handphone seperti sedang berkirim chat."Iya sudah." Naila duduk di sofa yang lain di ruangan sama dengan Daffa karena dirinya terlalu canggung jika harus duduk di sisi Daffa, kemudian televisi dinyalakan, saluran islami menjadi tontonan Naila-si gadis salihah. Kebetulan menanyangkan pembahasan tentang kewajiban suami kepada istri."Heh, pindahkan!" Daffa segera menggerutu dengan ekspresi dingin. Titahnya segera mendapatkan anggukan Naila seiring memindahkan chanel pada acara sinetron walau dirinya tidak terlalu menyukainya, sedangkan Daffa masih asik chat bersama Gisel.[Jemput saya ya, jam enam.] Pinta Gisel.[Dari mana?][Dari rumah ke rumah tante saya.]Segera, bola mata Daffa melirik jam dalam layar handphonenya. [Sebentar lagi hampir jam enam, saya sedang di rumah, paling saya datang terlambat.][T
"Eu-tadi sih katanya ada perlu sebentar, mungkin sekarang sudah pulang pa," jawaban yang diberikan Naila dibuat seakan antara dirinya dan Daffa baik-baik saja."Papa mau ke rumah, boleh?""Boleh pa, silakan." Jadi, Haris menunggu Daffa di rumah bersama menantunya walau sedikit canggung, tetapi bagaimanapun juga pria ini harus bersabar sekaligus menahan amarah. Namun, setelah dipikirkan ulang jika dirinya menegur Daffa di sini maka Naila akan tahu suaminya berselingkuh. Kebingungan mulai merasuki Haris. "Nak Naila tahu Daffa pergi kemana atau mungkin Daffa mengatakan akan pulang jam berapa?""Tidak tahu pa, tadi Daffa tidak banyak bicara mungkin sedang terburu-buru." Kalimat kejujuran Naila dibalas anggukan kecil oleh Haris. Keduanya menyaksikan acara televisi hingga pukul sembilan malam, Haris bermaksud mengajak putranya berbicara di teras supaya Naila tidak mendengarnya, tetapi karena waktu semakin malam jadi pria ini berpamitan."Daffa kemana ya, apa pulang malam lagi?" Naila menung