Rico sudah meninggalkan kediaman Daffa, dirinya kembali ke kumpulan para pemuda, tapi ternyata perkumpulan telah bubar. Jadi, dia memutuskan mencari Raihan di kediaman Rumi. "Saya dengar Daffa mengawasi kamu sama Naila. Hati-hati saja," ucapnya tanpa basa-basi di hadapan Raihan."Kamu kesini cuma mau mengatakan itu?" Datar Raihan."Iya, tidak ada salahnya kan mengingatkan kalau Naila itu istrinya Daffa." Santai Rico seiring menghisap rokok yang baru saja dinyalakan.Raihan menilai jika Rico tidak memihak siapapun, dirinya bersikap netral, tetapi sikapnya bisa saja memicu pertikaian. "Saya dan Naila hanya teman, tidak lebih," jelasnya supaya Rico menyampaikan kalimat itu pada Daffa."Terserah apapun hubungan kalian, tapi Daffa tidak akan percaya," tandas Rico kemudian berlalu."Ck, Daffa membuat rumit hal yang seharusnya bukan masalah!" rutuk Raihan, kemudian memikirkan nasib Naila. "Bagaimana kabar kamu hari ini, semoga Daffa memperlakukan kamu sebaik mungkin dan tidak memperpanjang k
Naila melepaskan diri dari pelukan Daffa dan segera beranjak dari tempat tidur untuk mandi besar. Gadis ini berniat shalat malam untuk mempererat hubungan dengan Tuhannya sekalian meminta petunjuk tentang hatinya yang mulai merasa lain terhadap Raihan.Daffa terjaga saat Naila sudah tidak di sisinya. "Naila!" panggilan lantangnya bersama emosi akibat curiga jika istrinya menemui Raihan diam-diam atau chat sembunyi-sembunyi dengan Raihan.Naila terhenyak kala baru saja membasuh rambutnya, gadis ini segera membuka pintu kamar mandi untuk menampakan wajahnya pada Daffa. "Saya di sini, ada apa?" Santunnya."Oh." Suara singkat Daffa seiring membaringkan kembali tubuhnya.Naila melanjutkan mandinya dengan tenang karena sikap Daffa sudah melunak. Daffa sudah kembali terlelap kala Naila menyelesaikan mandinya. Segera, hair dryer diraih sebelum dirinya masuk angin. "Setelah ini saya akan tidur sebentar, kemudian shalat." Niat bulatnya.Di alam mimpi, Raihan bergandengan tangan dengan Naila hin
Naila memandangi Farida seiring berkata sangat santun kala kalimat penolakan hadir, "Naila tidak pantas mendapatkan perhiasan indah ini, lagipula Naila merasa cukup memiliki perhiasan dari Daffa saat menikah. Mama tidak perlu memberi Naila hadiah karena berhasil mengubah Daffa menjadi lebih baik, toh perubahan Daffa sudah Naila syukuri." Embusan udara dibuang. 'Andai benar Daffa berubah.'Farida membentuk senyuman bangga. "Kamu memang menantu terbaik, tapi mama sangat ikhlas memberikannya. Kalau tidak mau dipakai, disimpan saja ya sayang, anggap saja perhiasan ini kenangan-kenangan dari mama. Naila sama Daffa juga bisa memakaikannya pada anak kalian kelak. Insyaallah."Naila manggut kecil sangat santun. "Iya ma, terimakasih." Sodoran Farida diterima olehnya. Kini, keduanya duduk santai di depan televisi. Ini adalah rumah orang paling kaya di kota ini, apalagi di daerah ini, tentu saja Naila merasa sangat kecil di sini, dirinya merasa bukan siapa-siapa, mengingat keadaan hidup keluarga
Naila tetap bergeming hingga Daffa kembali mengalihkan tatapan tidak bersahabat pada si gadis, tetapi di detik kemudian dirinya mengeluarkan suara lembut. "Iya sudah, kita makan malam di rumah mama dan papa, tapi cepat selesaikan dan langsung pulang." Naila segera mengangkat wajahnya perlahan, menatap Daffa. "Iya." Suara lembut bersama anggukannya, "saya mau beres-beres dulu sebentar," pamitnya. Saat ini Daffa mulai berpikir jika dirinya terlalu sering membentak, menegur dan memarahi Naila padahal tidak semua kesalahan ada pada Naila. Laki-laki ini merenung, "Sepertinya tindakan saya terlalu kasar sama Naila, tapi wajar saja, saya tidak menginginkan pernikahan ini dan ada banyak gadis cantik di luar sana melebihi Naila, tapi saya tidak bisa bebas mendekati mereka. Ck!" Baru saja bisikan baik malaikat menyentuh hatinya, tetapi berakhir mendengarkan bisikan setan.Daffa berjalan menuju arah kamar mandi saat Naila sedang membersihkan tempat sampah di dapur. Sejenak, laki-laki ini menat
Sekitar lima belas menit setelah Daffa meninggalkan ruang makan, Naila baru saja menyusul. "Kamu ngapain sih lama-lama di sana? Emangnya tidak pernah makan makanan enak?" teguran Daffa menggunakan suara biasa saja, tetapi jelas dirinya sangat kesal."Tadi pas selesai makan, mama ganti piring saya yang isinya buah-buahan terus menyuruh saya menghabiskannya." Naila duduk ragu setelah memberikan penjelasan pada Daffa. Suaminya sudah berhenti merokok, satu batang rokok sudah habis dilalap api."Iya sudah, kita pulang sekarang!" ajakan Daffa yang segera berdiri seiring meraih tangan kanan Naila supaya istrinya juga bangkit.Naila segera bangkit dari duduknya seiring tarikan Daffa, tidak lupa mengingatkan suaminya, "Kita harus pamitan dulu.""Iya, bawel!" Daffa menggenggam tangan Naila hingga tiba di hadapan keluarganya. "Daffa sama Naila mau pulang sekarang saja.""Kok cepat-cepat ..., menginap ya," ajakan Farida yang enggan melepaskan anak dan menantunya."Tidak bisa ma, lain kali saja ya
"Saya tidak punya pasangan," jawaban Daffa untuk gadis di hadapannya. Maka, seketika gadis ini merona."Iya sudah, nanti malam kamu bisa berdansa sama saya." Tatapan Gisel berbinar."Iya. Sampai ketemu besok malam." Daffa memandangi gadis cantik bertubuh indah yang semakin menjauh, rambutnya digerai memesona hingga membuat kekaguman Daffa muncul begitu saja. "Mending sama dialah dari pada sama Naila, keculai kalo Naila bersedia pakai gaun terus buka hijabnya!"Rico baru saja menghampiri. "Saya baru dapat undangan dari Gisel. Kamu mau bawa Naila?""Yang benar saja. Naila mana bisa dibawa ke pesta, kalau ke pengajian ibu-ibu baru dia bisa!""Jadi kamu bawa siapa?""Saya sama Gisel." Senyuman ditarik nakal oleh Daffa."Serius. Bukannya kalau sudah menikah kamu tidak boleh sama ce ...." Belum sempat Rico menyelesaikan kalimatnya Daffa sudah membungkam deretan kata yang akan keluar dari mulutnya."Jangan bahas pernikah. Ini rahasia!" desisnya bersama tatapan memicing tajam."Sorry." Rico t
Daffa kembali ke kediamannya saat Naila sedang merapihkan rumah. Segera, gadis ini menyapa suaminya, "Baru pulang ...." Gadis ini segera meminta tangan kanan Daffa untuk mengecupnya dengan santun. Laki-laki ini memberikannya, tetapi tidak memakai hati sama sekali, seperti biasanya. Justru kali ini lebih parah, Gisel sedang menari dalam kepalanya. "Besok saya akan pergi seharian karena ada urusan di kampus dan mungkin tidak akan pulang." Dingin Daffa. "Tapi kamu masih bekerja di perusahaan papa?" ragu Naila mengutarakan pertanyaan ini. "Tidak. Saya akan bolos." "Iya sudah, kalau papa kamu sudah tahu." Naila tidak akan melarang Daffa melakukan apapun sesuka hatinya walau sebenarnya dirinya juga memiliki hak untuk bertanya lebih lanjut tentang kegiatan yang dimaksud Daffa, dan memiliki hak untuk meminta suaminya tetap pulang. Malam ini Daffa asik dengan handphonenya, berkirim chat bersama Gisel. [Di mana pacar kamu?] Pertanyaan dari Daffa. [Saya belum punya pacar.] Seketikan jawaban
Kalimat Daffa tidak main-main karena pada saat pesta ulangtahun Gisel, dirinya mendekati si gadis dengan khusus. "Saya suka kamu," ungkapnya.Gisel mengerjap saat hatinya melonjak kegirangan. "Saya juga."Di sisi lain, justru Naila sedang mendoakan keselamatan Daffa yang entah berada di mana dan melakukan kegiatan kampus dalam rangka apa. Dirinya melangitkan kalimat kebaikan sangat tulus walau Daffa sering menyakiti hatinya. "Aamiin." Kedua telapak tangannya mengusap wajah, "mudah-mudahan Daffa pulang walau tengah malam, karena tidak biasanya kalau Daffa tidak pulang." Mukena dibuka dan dirapihkan dengan baik.Sekilas, terdengar ketukan pintu yang membuat Naila berpikir jika itu Daffa. "Iya, sebentar." Kalimat lembutnya seiring berjalan meninggalkan kamar."Assalamualaikum." Suara Raihan sangat jelas terdengar di telinga Naila walau dirinya masih jauh dengan pintu utama."Itu kan Raihan. Mau apa Raihan kesini?" Keraguan menyerang pikirannya karena jika laki-laki itu mengunjungi rumahn