Share

Sosok Heroik

Acara keluarga sangat hangat, begitupun dengan Daffa yang memakai kedok menyayangi Naila hingga keluarga mereka tidak dapat melihat cacatnya rumah tangga yang masih hitungan hari.

Malam harinya setelah isha Heru dan Mia berpamitan, sedangkan Naila ditahan pulang oleh Farida dan Haris. "Menginap di sini ya, lagian di rumah kan cuma berdua saja. Memangnya tidak sepi," kekeh Farida.

Haris menggoda anak dan menantunya bersama kekeh, "Mama seperti tidak pernah pengantin baru saja. Justru semakin sepi semakin suka."

Naila tersenyum kecil, kemudian Daffa berkata pada kedua orangtuanya, "Malam ini kita akan menginap."

Jadi, ini adalah malam pertama Naila tidur di dalam kamar Daffa karena mereka melakukan malam pertama pernikahan di kamarnya Naila, kemudian segera pindah ke dalam rumah pemberian Haris dan Farida.

Daffa sibuk sendiri dengan dunianya, sedangkan Naila mulai berbaring di atas tempat tidur besar. "Saya mau tidur duluan, boleh?" Naila meminta izin dengan santun.

"Tidur saja," jawab Daffa yang sedang memetik gitarnya.

Naila segera terlelap setelah mendapatkan izin dari Daffa, sedangkan laki-laki ini masih asik memetik gitar seiring mengingat setiap pertemuannya dengan seorang gadis yang jelas-jelas bukan Naila.

Daffa tidak memiliki ketertarikan khusus pada gadis itu, tapi gadis itu selalu berhasil menghiburnya di saat dibutuhkan. Sebuah senyuman ditarik tipis, kemudian menyimpan alat musik itu. "Kehadiran Naila membuat saya sulit mendekati gadis lain," keluhnya, kemudian melirik ke arah istrinya yang terlelap, "sampai kapan usia pernikahan kita?"

Daffa melewati malam ini dengan perasaan jenuh yang diaduk bingung untuk mengambil langkah berikutnya. "Kalau saya terus bersama Naila, saya tidak bisa berhubungan dengan gadis lain kecuali selingkuh, tapi pasti papa dan mama marahi saya habis-habisan karena mengkhianati menantu kesayangan mereka!" Dengusan tipis hadir.

Esoknya Naila kembali ke kampus, awalnya gadis ini bersama Daffa, tapi kemudian menaiki bus sendiri saja.

Naila duduk di samping kaca seiring menatap ke arah jalanan, saat itu seorang pemuda baru saja duduk di sampingnya, hingga membuat Naila menoleh bersama perasaan takut karena pemuda ini seorang preman.

Naila hanya bergeming bingung hingga dirinya memutuskan turun di halte berikutnya yang jelas-jelas bukan tujuannya. Namun, preman di sampingnya ikut turun, melangkah di belakang gadis anggun ini. "Bagaimana ini, mengapa dia mengikuti saya?" Jantungnya mulai berdentum hingga sebuah sambaran cepat menarik tasnya.

"Kya!!!" jerit Naila.

Kejadian itu sangat cepat hingga membuatnya kalang kabut. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Raihan yang baru saja menepikan motornya.

"Tidak, tapi tas saya diambil ...," keluh Naila.

"Tunggu." Raihan bergegas mengejar, mengikuti beberapa orang yang sudah lebih dulu memburu si preman.

Di dekat halte, Naila hanya mengigit kukunya dengan perasaan gelisah. "Di dalam tas ada handphone. Bagaimana kalau dia memanfaatkan nomor-nomor yang ada di dalamnya ...."

Naila hendak duduk, tapi ternyata lengannya mempunyai bekas sayatan benda tajam yang sudah membuat darahnya merembes. Segera, pergelangan tangannya menangkup luka tanpa memerdulikan rasa perihnya.

Cukup lama Raihan tidak kembali, tapi akhirnya dia datang bersama tas yang tidak kekurangan isinya sedikitpun. "Ini tas kamu?"

Naila mengangguk berulang kali. "Terimakasih." Namun, gadis ini tidak dapat meraih benda itu karena satu tangannya sibuk menutupi luka di satu tangan lainnya.

Segera, Raihan menyadarinya. "Nai, kamu berdarah!"

"Iya ..., tapi tidak apa-apa kok."

"Tidak apa, apanya!" Raihan segera menggiring bahu Naila walau dia tahu hal ini tidak sopan, tapi dia melakukannya agar Naila aman dan mengikuti langkahnya ke apotik. Di tempat ini, dengan terpaksa pakaian Naila dirobek oleh dokter di ruang rawat.

Maka, saat bersamaan Raihan segera membuka jaketnya untuk dipakai Naila tanpa memerhatikan lengan putih nan mulus si gadis karena Naila tidak halal baginya.

Dokter memang tidak menutup tirai karena wanita ini pikir mereka adalah pasangan.

Setelah mendapat perawatan, Naila dan Raihan tidak lantas pergi. "Bagaimana lukanya, masih sakit?" khawatir laki-laki ini.

"Lumayan, tapi tidak apa-apa kok, sebentar lagi juga sembuh. Oh iya, bagaimana sama preman tadi?"

"Diamuk masa, tapi saya tidak tahu bagaimana akhirnya."

"Maaf ya, merepotkan," sesal Naila, akibat tidak dapat membela diri akhirnya Raihan juga ikut terlibat.

"Apanya yang merepotkan, tidaklah," kekeh Raihan.

"Eu-iya sudah, kamu mau kuliah kan, kuliah saja. Hari ini saya akan bolos karena sepertinya tangan saya tidak bisa dipakai beraktivitas."

"Terus kamu mau pulang sama siapa?"

"Eu-mungkin ... nanti Daffa jemput," ragu Naila kala mengatakannya karena mana mungkin Daffa muncul untuk menjadi sosok heroik.

Raihan menangkap keraguan dalam wajah Naila, tapi tidak ada hak apapun. "Iya sudah, kalau begitu saya duluan, tapi ingat ya hati-hati," pesan pedulinya bahkan melebihi peduli dari biasanya.

"Iya. Sekali lagi terimakasih."

"Sama-sama." Raihan melukis senyuman teduh yang selama ini tidak pernah didapat Naila dari Daffa.

Raihan berlalu, menyisakan Naila seorang. "Saya pulang naik apa karena Daffa tidak akan mau diganggu," sendu si gadis. Hingga akhirnya memilih taxi sebagai jalan terakhir.

Di kampus, Raihan menemui Ciara. "Naila tidak akan kuliah, dia baru saja dapat musibah."

"Hah, musibah apa kak!" Ciara terkesiap dalam akibat khawatir pada Naila.

"Tangannya terkena sayatan benda tajam, mungkin pisau lipat karena Naila baru saja kecopetan," tutur apa adanya Raihan.

"Astagfirulahalladzim." Seketika wajah Ciara memucat, "terus keadaan Naila bagaimana, tidak parah kan?"

"Tidak kok, lengannya saja yang terluka dan tadi sudah dapat perawatan."

"Syukurlah ...." Lega Ciara, "eh, tapi kok kakak tahu semuanya?"

"Tidak sengaja kakak lihat kejadiannya, terus iya kakak tolong."

Ciara manggut-manggut. "Setiap Naila kesusahan pasti ada kakak, kenapa ya?" heran gadis berhijab nan imut ini.

"Eu-mungkin takdir!" Raihan mengendikan bahunya.

"Takdir atau memang sebuah petunjuk kalau kakak ...." Ciara membidik kakak laki-lakinya dengan tatapan misterius.

Raihan segera mencubit kedua pipi Ciara. "Jangan su'udzon. Apa yang ada dalam pikiran kamu belum tentu benar."

"Kakak lepas dong ih ... jangan seperti ini. Malu ...," protes Ciara seiring menatap sekelilingnya.

Raihan melepaskan pipi cubby adiknya. "Sudah ya, kakak ke kelas dulu. Bye." Langkahnya segera meninggalkan adik manisnya.

Segera, Ciara menghubungi Naila. "Ayo dong Nai, angkat ...," kecemasan telah memuncak.

Naila baru saja memeriksa handphonenya. "Ciara. Apa Ciara sudah tahu kejadian yang menimpa saya dari Raihan?" gumamnya. Kini, ikon hijau digeser. "Hi," sapa ceria si gadis seolah tidak pernah terjadi apapun.

"Nai, kamu baik-baik saja kan!" Suara Ciara memburu.

"Alhamdulillah baik ...," jawaban tenang Naila.

"Bohong, saya sudah dengar semuanya dari Kak Raihan. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan hubungi saya ya. Fani dan Alia juga akan siap membantu."

Naila terkekeh, "Iya deh ..., tapi untuk saat ini saya tidak butuh bantuan apapun, kalian fokus saja belajar."

"Tuh kan, kamu sering begitu deh kalau dapat musibah." Ciara sudah sangat mengenal Naila, tapi sebenarnya sikap sahabatnya itu kurang disukai karena Naila seolah sering menyembunyikan kesulitannya.

"Saya tidak apa-apa kok, ini cuma luka kecil saja. Saya tidak kuliah karena masih kaget, jadi saya pikir lebih baik pulang saja," dusta Naila.

"Iya sudah deh, saya coba percaya. Cepat sembuh ya, Nai," doa tulus Ciara.

"Thank." Bahagia Naila mempunyai ketiga kawan baik hati. Setelah berbicara hangat sesaat, Ciara memutus panggilan karena materi hampir dimulai.

Baru saja handphone Naila sunyi, Daffa menghubungi. "Tadi teman saya bilang kamu datang ke apotik bersama seorang laki-laki. Siapa dia!" geramnya.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status