Daffa tidak pergi ke kampusnya, tapi dia kembali ke kampus yang menaungi Naila karena ingin mengetahui reaksi para gadis di sana kala melihatnya. Laki-laki ini menggunakan jaket kulit, celana jeans dan sepatu boots. Daffa tampak sangat keren dan luar biasa.
Para gadis di kampus segera menyukainya hingga Daffa menyeringai bangga. "Ternyata benar, ternyata wajah saya tidak familiar di sini artinya Naila tidak mengatakan pernikahan petaka itu." Seringai Daffa semakin sempurna.
Naila melihat kehadiran Daffa kala dirinya sedang berada di lantai dua. "Ada apa Daffa kesini, apa mau cari saya?" Sebuah panggilan segera terhubung pada suaminya Namun, Daffa memutusnya. Dahi Naila berkerut, tapi dengan sikap laki-laki ini membuat dirinya tahu jika teman hidupnya tidak sedang mencari.
Naila dan ketiga kawannya segera masuk ke dalam kelas sepuluh menit sebelum dimulai, sedangkan Daffa masih berkeliaran di area kampus. Bahkan beberapa gadis memberanikan diri menyapanya.
"Eh, Daffa," sapa salah satu pemuda yang satu daerah dengan Daffa, "mau cari Naila?" Dengan percaya dirinya Umar menebak.
Daffa segera berdesis karena takut nama Naila terdengar oleh seseorang hingga mereka tahu jika dirinya dan gadis itu memiliki hubungan khusus, "Jangan sebut Naila. Saya kesini bukan mencari Naila!"
"Oh, saya kira." Santai pemuda ini.
"Kelas Naila di mana?" tanya Daffa yang mulai penasaran dengan hidup gadis itu di kampus.
"Kalau tidak salah jadwal Naila hari ini di lantai atas deh. Kita satu kelas kok, cuma saya bolos. Wkwk."
"Bagaimana Naila di sini?"
"Naila itu banyak digemari mahasiswa, tapi dia biasa saja sih bahkan sebelum menikah sama kamu."
Senyuman tipis ditarik dari ujung bibir Daffa. "Saya pergi deh, bosen juga di sini." Laki-laki ini meninggalkan kampus dan segera menuju ke kampus favorite tempatmya menimba ilmu.
Beberapa jam kemudian, Naila segera mengirimkan chat pada Daffa. [Tadi saya lihat kamu di kampus. Apa kamu masih di sini?]
Dengan sengaja Daffa mengabaikan chat dari Naila karena dianggap tidak penting. Gadis ini juga tidak berharap mendapat respon dari suami yang tidak pernah diinginkannya.
"Nai, main yuk," ajak Ciara.
"Kemana?"
"Ke rumah Tante Rumi. Sudah lama saya tidak berkunjung."
"Iya sudah," setuju Naila. Jadi, keempat gadis itu segera menuju ke alamat tujuan. Raihan juga mengetahui rencana gadis-gadis itu datang ke kediamannya. Laki-laki ini senang karena bisa melihat Naila lebih dekat lagi.
Setibanya di daerah rumah, Naila mengunjungi rumah tetangga terlebih dahulu untuk mengambil jaket milik Raihan. "Sekalian saya mau kembalikan ini ke kakak kamu," ucapnya pada Ciara.
"Oke," sahut santai Ciara.
Kini Ciara, Naila, Fani dan Alia sudah tiba di tempat tujuan. Rumi menyambut keempat gadis itu dengan riang dan hangat bahkan wanita ini mengajak ketiganya menginap. Namun, hanya Ciara yang setuju, sedangkan Fani dan Alia tidak biasa menginap di rumah orang lain.
Raihan di sana, jadi Naila segera menyodorkan jaket laki-laki itu, "Terimakasih ya." Senyuman kecilnya.
"Sama-sama." Raihan menunjukan senyuman yang berbeda, lebih dari sekedar senyuman biasa saja.
"Eh, Naila," sapa Farida-mertuanya.
Naila segera menoleh ke arah sumber suara. "Eh, mama." Segera, gadis ini mengecup punggung tangan Farida dengan santun.
"Kamu sedang apa di sini?" tanya lembut Farida pada menantu kebanggaannya.
"Sedang berkumpul saja dengan teman-teman." Lirik Naila pada ketiga kawannya hingga gadis-gadis itu juga menunjukan sikap santunnya pada Farida.
"Mama kira mau belanja roti," kekeh Farida, "di rumah sedang banyak saudara jauh, mama sudah mengatakannya pada Daffa. Kok kalian tidak datang?"
Naila menautkan kedua alisnya dengan heran. "Eu-mungkin Daffa lupa beri tahu Naila," alasannya agar isi rumah tangga mereka tidak terbongkar di ruang dengar Farida.
"Dasar anak itu," kesal lembut Farida, "nanti sore, kalian ke rumah ya. Mama juga sudah memberitahukan mama dan papa kamu, katanya akan datang sore ini." Senyuman sayang Farida diarahkan pada Naila.
"Iya ma, Naila pasti datang," janjinya dengan Daffa atau tanpa Daffa.
Pertemuan Naila dan Farida berakhir setelah wanita itu mendapatkan banyak roti berbagai macam rasa. Alia berkata dengan kekeh, "Jadi itu mertua kamu. Baik sekali deh, saya kira itu mama kamu."
"Iya, alhamdulillah saya mendapatkan mertua baik hati," syukur Naila.
Raihan mendengar ucapan syukur Naila, tapi kalimat itu membuatnya ingin menghapus perasaan yang mulai lain di hatinya terhadap si gadis. Desiran ini berbeda dari biasanya walau kewarasannya menyadari dengan sangat bahwa ini hanyalah sebuah perasaan terlarang.
Sore harinya Naila berpamitan terlebih dahulu pada kawan-kawannya, "Saya pulang sekarang ya, saya harus memasak sebelum suami pulang."
"Iya Nai, hati-hati di jalan," jawab ketiga kawannya, sedangkan Raihan sudah lenyap dari rumah sejak tadi karena memilih berkumpul dengan para pemuda.
Setibanya di rumah, adzan ashar berkumandang. Naila msnsyukurinya karena masih diberi kesempatan mendengar panggilan indah itu walau dirinya sedang tidak bisa beribadah.
Kulkas dibukanya, hanya tinggal sayuran dan buah-buahan yang tersisa. "Kok Daffa belum kasih uang belanja, padahal uang di rumah sedikit lagi, apa harus habis dulu?" Jadi, hari ini Naila berniat memasak bahan makanan yang ada.
Namun, sejak pertama kali dirinya memasak, Daffa tidak pernah sedikitpun memakannya atau hanya sekedar mencicipi, hingga niatnya memasak urung. "Daffa maunya makan apa? Saya tidak bisa masak yang sulit atau banyak bumbu."
Naila duduk termenung di depan meja makan. Handphonenya berdering. "Iya?"
"Kamu di mana?" tanya Daffa.
"Di rumah."
"Kesini, ke rumah mama. Saya tunggu kamu di jalan!" tegas Daffa, kemudian memutus panggilan sepihak.
"Daffa sudah mau ke rumah mama?" heran Naila seiring memandangi handphone yang sudah kembali ke layar utama. Gadis ini segera mengunci pintu, kemudian berjalan pincang menghampiri Daffa yang entah di jalan yang mana karena ada beberapa jalan akses menuju kediaman Haris dan Farida.
Sepuluh menit kemudian, Naila berhasil menemukan Daffa. "Untung saya mengambil jalan ini." Senyumannya melengkung, kemudian menyapa Daffa yang sedang duduk di atas motor gedenya. Punggungnya lebar dan berisi bersama tulang bahu yang tegas, "sudah lama?" Wajah Naila sangat berseri, tapi tidak begitu di mata Daffa.
"Pikir sendiri, berapa lama saya tunggu kamu di sini!" ketus Daffa alih-alih menyambut hangat kedatangan Naila.
"Maaf ...."
Daffa berdecak kecil. "Iya sudah naik, jangan sampai mama sama papa tahu kita datang terpisah. Terus bilang saja kaki kamu pincang karena terkilir!"
"Iya ...," patuh Naila.
Hanya sekitar dua menit perjalanan yang Daffa dan Naila tempuh bersama karena jarak menuju tujuan memang sudah sangat dekat.
"Assalamulaikum," salam Naila dengan santun.
"Wa'alaikumussalam," jawab semua orang di ruang keluarga termasuk Heru dan Mia. Kehadiran Naila dan Daffa disambut hangat oleh semua orang dan tentu saja pincangnya si gadis menjadi bahan perhatian khusus.
Naila berkata jika kakinya terkilir, sesuai dengan perintah Daffa.
Naila selalu patuh dan mendengarkan ucapan saya. Sepertinya bagus juga kalau dimanfaatkan! Batin Daffa yang mulai berniat melakukan hal negatif pada istrinya sendiri.
Bersambung ....
Acara keluarga sangat hangat, begitupun dengan Daffa yang memakai kedok menyayangi Naila hingga keluarga mereka tidak dapat melihat cacatnya rumah tangga yang masih hitungan hari. Malam harinya setelah isha Heru dan Mia berpamitan, sedangkan Naila ditahan pulang oleh Farida dan Haris. "Menginap di sini ya, lagian di rumah kan cuma berdua saja. Memangnya tidak sepi," kekeh Farida. Haris menggoda anak dan menantunya bersama kekeh, "Mama seperti tidak pernah pengantin baru saja. Justru semakin sepi semakin suka." Naila tersenyum kecil, kemudian Daffa berkata pada kedua orangtuanya, "Malam ini kita akan menginap." Jadi, ini adalah malam pertama Naila tidur di dalam kamar Daffa karena mereka melakukan malam pertama pernikahan di kamarnya Naila, kemudian segera pindah ke dalam rumah pemberian Haris dan Farida. Daffa sibuk sendiri dengan dunianya, sedangkan Naila mulai berbaring di atas tempat tidur besar. "Saya mau tidur duluan, boleh?" Naila meminta izin dengan santun. "Tidur saja,"
"Tadi saya kecopetan, tapi alhamdulillah banyak yang menolong," jelas Naila untuk menjawab pertanyaan Daffa."Bukan itu yang saya tanyakan!" Daffa sedikit membentak, "siapa laki-laki yang antar kamu ke apotik?" ulangnya dengan tegas. "Ra-ihan," jawab ragu Naila karena mungkin Raihan akan mendapatkan masalah. Dahi Daffa berkerut. "Siapa Raihan?" "Teman kuliah yang tidak sengaja melihat saya dijambret." Naila sengaja tidak mengatakan Raihan tetangga mereka agar lelaki itu tidak diserang amarah Daffa. Tut ... tut ....Daffa memutus panggilan begitu saja. Naila tidak keberatan sama sekali dengan sikap Daffa yang ini karena sudah terbiasa."Gue harus selidiki orang yang bernama Raihan!" Daffa memutuskan membolos di jam berikutnya untuk mencari orang bernama Raihan di kampus tempat Naila menimba ilmu. Di sisi lain, Raihan sedang mengingat Naila. "Dia gadis yang baik, keluguannya terlihat dalam wajahnya yang cantik, tapi ... memang sangat disayangkan mengapa harus menikah dengan Daffa."
Daffa datang ke toko roti milik Rumi. “Selamat malam, kebetulan kita sedang ada rasa baru,” sambutan karyawan perempuan.“Di sini ada cowok yang namanya Raihan?”“Ada, Raihan itu keponakan Bu Rumi,” jawab gadis ini.“Sekarang ada?”“Ada.”“Panggil,” titah Daffa seolah memerintah bawahan di rumahnya.Gadis ini tidak nyaman, tapi tetap memanggil Raihan. Tidak lama dirinya berlalu, kini gadis ini sudah kembali bersama laki-laki yang dicari Daffa.Raihan dan Daffa saling menatap, kemudian Raihan segera meninggalkan toko roti karena dirasa kedatangan Daffa tidak sebaik niat orang-orang yang datang kesini. “Ada apa kamu mencari saya?”Daffa segera berdecak, “Tidak usah berlaga polos, saya tahu kamu kan yang tadi membawa Naila ke apotek. Jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Naila punya saya dan tidak akan pernah jadi milik kamu!” Peringatan tegas itu segera melayang karena Daffa tidak rela jika Naila didekati laki-laki lain walau tidak ada cinta dalam hatinya.Raihan juga berdeca
Waktu cepat berlalu, tiba jam makan siang Naila kembali berpapasan dengan Raihan yang hendak menuju parkiran. “Eh Naila, mau kemana?” sapa Raihan sesuai porsinya.“Mau ke kantin,” jawab canggung Naila karena walau Daffa tidak di sini, tapi gadis ini tetap ketakutan jika Raihan akan mengalami hal buruk.“Oh, saya duluan.” Lagi, Raihan menghindari Naila walau keinginan di hatinya berkebalikan.Fani dan Ciara baru saja menyusul Naila setelah dari toilet. “Kamu masih di sini Nai, kita kira sudah memesan,” kekeh Fani.“Saya sengaja jalan pelan itung-itung menunggu kalian,” kekeh Naila. Bersama kawan-kawannya, gadis ini bisa melupakan secuil kesedihannya berumah tangga dengan Daffa. Maka, bersama Fani, Ciara dan Alia, Naila bisa menarik garis senyuman ceria. Setibanya Naila di kantin, Raihan memerhatikan. “Saya tidak ada hak ikut campur dalam kehidupan kamu, tapi Daffa memang tidak pantas memiliki kamu.” Tidak lama Raihan melihat gadis itu karena kawan-kawannya segera mengajaknya berlalu da
Daffa tidak membalas, dengan sengaja laki-laki ini mengabaikan chat dari Naila karena dirasa sangat tidak penting. Kini, dirinya sedang bekerja di perusahaan ayahnya. “Kerja-kerja, tapi tidak ada hasilnya!” rutuknya bersama dengusan.Kebetulan Haris mendengarnya karena dirinya sedang berkeliling memeriksa karyawan. “Daffa, ke ruangan papa sekarang,” titahnya dengan suara biasa saja.Daffa segera menghentikan pekerjaan terhormatnya untuk mengikuti langkah kaki ayahnya hingga tiba di ruangan sang pemilik perusahaan. Laki-laki ini duduk di hadapan ayahnya.“Apa maksud kamu kerja tidak ada hasilnya? Memangnya gaji harian kamu tidak cukup untuk hidup bersama Naila,” interograsi kecil Haris.“Jujur saja tidak,” jawab Daffa yang sebenarnya tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk Naila. Selama berumah tangga kedua orang itu hanya mengandalkan amplop dari hasil resepsi. “Papa menggaji kamu tiga ratus ribu sehari, mana mungkin tidak cukup?” heran Haris, “uang itu di luar keperluan kuliah ka
Naila menjawab kalimat kejam Daffa dengan anggukan kecil saat hatinya sendu, kemudian dilupakan begitu saja karena dia pikir menyimpan kepedihan hanya akan menambah beban di hatinya. Pada waktu magrib Naila mengajak suaminya shalat berjamaah dan memintanya menjadi imam karena sejak menikah Daffa belum pernah melakukannya.Namun alih-alih menyetujui ajakan Naila, justru Daffa memikirkan hal wajib suami dan istri. “Berarti menstruasi kamu sudah selesai, kalau begitu layani saya malam ini!" titahnya.“Iya, tapi kita harus shalat dulu sampai isha.”“Ck, shalat saja sendiri. Saya akan shalat sesudah kamu!” tolak Daffa karena dirinya memang tidak ingin memimpin shalat istrinya. Menjadi imam dalam rumah tangga saja sudah sangat memberatkannya, apalagi ditambah dalam urusan beribadah yang sebenarnya bukan kegemarannya bahkan tidak dianggap wajib. Maka, Daffa sering meninggalkannya.Naila tidak bersikukuh memerintah Daffa, baginya asalkan sudah mengingatkan. Jadi, Naila shalat sendiri di dalam
Naila sudah tiba di kelas tepat waktu. "Untung tadi ada Raihan." Gadis ini merasa lega sekalian menjalani kesehariannya sebagai mahasiswi dengan lega juga.Ciara bertanya dengan volume rendah, "Tumben datangnya meped?""Nanti saya ceritakan," kekeh kecil Naila, sedangkan Fani dan Alia hanya menatap tanpa berkata karena dosen mulai menjelaskan seiring memerhatikan peserta di kelasnya hari ini.Sementara, Raihan masih berada di halaman. Dia sedang bersama salah satu pemuda di daerah rumahnya bernama Umar. Laki-laki ini mendapatkan pertanyaan penuh selidik, "Kenapa tadi boncengan sama Naila, kamu tidak takut sama Daffa?""Kenapa harus takut? Tadi saya menolong Naila." Santai Raihan."Hah, kenapa lagi Naila!" kaget dan peduli pemuda ini."Cuma masalah kecil sih, tapi kalau saya tidak menolong Naila akan menjadi masalah besar." Masih santai Raihan."Jujur saja saya kasihan sama Naila karena sebenarnya saya sering melihat Daffa balapan liar ditemani beberapa cewek sexy!" bongkar Umar yang m
Setibanya di rumah, Raihan menanyakan tentang Naila pada Rumi, "Tante, keluarga Naila tinggal di sini juga?"Rumi sedikit memicingkan matanya. "Iya, memang kenapa?""Tidak apa-apa, cuma bertanya saja kok." Senyuman kecil Raihan.Rumi segera berkata sebagai peringatan, "Jangan cari tahu tentang Naila, gadis itu sudah dimiliki oleh Daffa. Memang benar, banyak pemuda yang mengidolakannya, tapi kamu jangan ikut-ikutan.""Tidak kok, tante. Raihan cuma bertanya saja karena kebetulan kan satu kampus sama Naila." Tawa hambarnya."Bagus kalau kamu tidak ada maksud apa-apa." Rumi sedang mencatat bahan roti yang diperlukan di tokonya dan akan diserahkan pada salah satu karyawan yang mengurusi urusan dapur.Di sisi lain, Naila juga sedang mencatat bahan makanan atas rekomendasi Farida karena melihat kulkas anak dan menantunya sangat kosong, hanya diisi oleh bahan makanan yang baru saja dibeli. "Nanti jangan sampai kosong seperti ini, banyak sekali ruangan yang belum terisi.""Iya, ma," patuh Nail