Share

Tentang Daffa dan Naila

Raihan melewati rumah Naila sekitar pukul delapan malam. Sebelum dirinya bertanya pada para pemuda, para pemuda itu sudah menunjukan rumah Naila terlebih dahulu seiring menayayangkan gadis favorite mereka diambil Daffa, laki-laki yang dianggap tidak pantas bersama si gadis. 

Raihan mulai mencari informasi tentang Daffa. "Memangnya mengapa Daffa?" 

"Daffa itu anak motor dan sering membuat masalah di daerah sini, tapi memang sih dia punya solidaritas tinggi, aktif juga dalam karang taruna. Cuma kebanyakan warga terutama kalangan emak-emak tidak menyukainya karena kelakuannya itu." Cerita salah satu pemuda. 

"Lalu, Naila bagaimana?" lanjut Raihan. 

"Naila gadis baik, Salihah, dia juga pintar mengaji dan anak teladan. Berprestasi juga. Saya pernah satu SMA sama Naila, dia banyak menjuarai cerdas cermat, tapi sekarang Naila kuliah di universitas yang berbeda dengan saya. Bahkan sama Daffa juga beda." 

Raihan mendengarkan dengan saksama. "Tapi bagaimanapun Daffa, nyatanya Naila tetap memilih Daffa kan." 

"Siapa bilang? Semua warga tahu kalau pernikahan mereka karena perjodohan. Orangtuanya Daffa yang sangat menyukai Naila hingga memilih menikahkan gadis baik dan shalehah dengan anaknya yang badung." Tawa kecut pemuda ini disusul pemuda yang lain. 

Raihan baru saja mengetahui kenyataan itu dan dia juga mampu menebak jika rumah tangga Naila dan Daffa tidak seindah rumah tangga pada umumnya. Namun, dirinya tidak akan mencari tahu karena bukan urusannya dan tidak ingin mencampuri kehidupan orang lain walau dirinya juga sudah terjerat oleh wajah cantik serta beragam kelebihan Naila. 

Raihan berbicara pada Rumi kala mereka sedang duduk santai. "Tante, ternyata Raihan satu kampus loh sama Naila." 

"Bagus. Memang banyak anak sini yang kuliah di sana," sahut santai Rumi seiring menyeruput teh hangat. Rumi adalah wanita bersuami hanya saja suaminya sering dinas di luar kota maka dirinya hidup bersama seorang tukang bantu-bantu dan beberapa karyawan perempuan yang berasal dari luar kota. 

Toko roti milik Rumi tergolong cepat maju karena letaknya strategis walau tidak terlalu di hadapakan dengan jalan raya yang ramai. Namun, para pembeli rela masuk ke dalam daerah untuk menikmati gumpalan empuk berbagai rasa itu. 

Rumi juga membuka cabang di mall-mall besar maka merk dagangnya sudah menyebar. 

Kini, hadirnya Raihan di rumah menambah teman hiduo Rumi. Sekarang, wanita ini sedang menasihati keponakannya itu, tetapi lebih banyak memperingatkan, "Ingat ya, jangan terlalu dekat dengan Naila walau dia cantik dan shalehah karena Naila sudah dinikahi oleh Daffa, pemuda daerah sini." 

"Iya, Raihan tahu. Tadi para pemuda mengatakannya." 

"Bagus kamu tahu. Banyak para pemuda menyukai Naila, tapi hanya Daffa yang dapat. Maka, banyak pemuda yang patah hati. Kamu jangan jadi salah satunya," kekeh Rumi. 

Raihan tersenyum hambar karena sebenarnya dia menyukai Naila sejak pandangan pertama. Namun, rasa cintanya segera patah sebelum sempat diungkapkan. 

Malam ini, Raihan memikirkan Naila dan kenangannya siang tadi di kampus. "Kira-kira kapan Naila akan mengembalikan jaket saya. Saya harap Naila menyisipkan nomor handphonenya juga. Wkwk." 

Sementara, gadis yang menari-nari di pikiran Raihan sedang menunggu kepulangan Daffa walau suaminya bilang tidak akan pulang. Naila menyaksikan acara televisi di ruang tengah seiring menunggu ketukan pintu dari Daffa.

Satu jam, dua jam hingga empat jam berlalu dengan mudah untuk malam, tapi terlalu lama untuk Naila. "Daffa memang tidak akan pulang?" 

Waktu sudah menunjukan tengah malam. Tanpa sadar Naila terlelap di atas sofa dengan televisi menyala. Sebuah ketukan pintu seakan membabi buta karena Naila segera tidak sadarkan diri saking lelahnya. "Ck, kamu tidur atau mati sih!" umpat frontal Daffa. 

Segera, panggilan di udara dihubungkan. Saat itu Naila membuka matanya setelah terlelap selama satu jam. "Daffa." Ikon berwarna hijau digeser cepat. "Iya?" 

"Saya di depan. Cepat buka pintunya!" hardik Daffa. 

"Iya, sebentar!" Naila bergegas menuju daun pintu dengan langkah terseok-seok.

"Kamu tidur, heuh? Tidur kok seperti mati!" hardik Daffa langsung di depan wajah Naila. 

"Maaf ...." 

Daffa segera menuju ke kamarnya. "Naila!" panggilan lantangnya. Naila segera menyusul ke dalam kamar dengan langkah terburu-buru padahal telapak kakinya sangat berdenyut. 

"Iya?" 

"Sini." Daffa melambaikan tangannya, kemudian mencumbu Naila walau malam ini mereka tidak bisa melakukan hubungan ranjang. Daffa mengarahkan telapak tangan Naila pada miliknya untuk mencapai puncak kenikmatannya. 

Naila dengan sabar melayani Daffa bagaimanapun caranya karena ini salah satu tugas seorang istri. Maka, walau hal ini sangat mengganggunya dan membuat tidak nyaman Naila tetap menuruti keinginan Daffa.

"Berapa lama menstruasinya?" desah Daffa di telinga Naila seiring menjilatnya. 

"Sekitar tiga atau empat hari." Kini, Naila sudah tidak menyimpan rasa takut pada gairah Daffa karena sudah membiasakan diri. 

"Nanti kalau sudah selesai kamu harus segera layani saya. Setiap malam." Kecupan sensual Daffa meninggalkan noda kemerahan di leher Naila. 

"Iya." Naila tetap patuh pada suaminya. 

Esok paginya, Naila diantar Daffa ke kampus. Ini adalah pertama kalinya untuk mereka setelah sikap tidak acuh Daffa. "Di sini, siapa yang tahu kamu sudah menikah?" 

"Teman-teman dekat saya," jujur Naila. 

"Jadi kamu tidak mengumumkannya?" Wajah tidak bersahabat Daffa terlihat jelas. 

"Tidak karena cuma teman-teman dekat saja kan yang diundang ke pernikahan kita." Naila tidak berani menatap mata Daffa. 

Daffa bergeming sesaat seiring memandangi Naila. "Iya sudah, baguslah jangan sampai Daffa yang populer ini kamu akui sebagai suami kamu!" Laki-laki ini segera berlalu setelah memberikan peringatan tegas pada Naila. 

Raihan baru saja menyaksikan obrolan pasangan menikah itu dan sekilas mendengar pembicaraan mereka yang dibawa angin. "Kasar sekali!" decak geramnya pada cara bebicara Daffa.

Namun, Raihan tidak berkata apapun bahkan dia juga tidak menghampiri Naila. Saat punggung Raihan berbalik, Naila memanggilnya hingga laki-laki ini menghentikan langkahnya seiring menoleh. "Iya?" 

"Maaf, tadi saya lupa bawa jaket kamu padahal sudah kering," ucap Naila. 

"Tidak apa, kan bisa lain kali atau kamu juga bisa antar saja ke rumah Tante Rumi." Wajah teduh Raihan. 

"Baiklah, sepulang kuliah saya antar saja ke rumah Tante Rumi." 

"Iya, silakan. Titip saja kalau saya belum pulang." Senyuman teduh Raihan. 

Naila mengangguk disertai senyuman kecil, kemudian berpamitan pada lawan bicaranya. 

Raihan memerhatikan langkah Naila yang tetap pincang. "Harusnya kamu istirahat saja. Saya yakin lukanya masih basah," ibanya. 

Naila segera tersenyum ke arah ketiga kawannya. "Hi, kalian sudah datang." 

"Sudah dong ..., eh, tadi saya lihat kamu diantar suami kamu. Wah ... senangnya punya suami!" kagum Fani. 

Ciara meneruskan, "Bagaimana sih rasanya punya suami? Mau deh cepat menikah." 

Alia berkata pada Ciara, "Kakak kamu dulu yang menikah, baru kamu!" 

Naila tertawa kegelian. "Benar kata Alia." 

"Kak Raihan sih bilangnya lima tahun ke depan baru menikah. Jadi, setelah usianya dua puluh tujuh tahun baru dia akan berumah tangga. Lalu saya dua puluh empat atau dua puluh lima tahun baru menikah. Tidak deh, petaka. Saya akan mendahului kakak saya!" tegas Ciara. 

Namun, niat Raihan menikah di usia dua puluh tujuh tahun mulai goyah karena pertemuannya dengan Naila. 

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status