Naila menjawab kalimat kejam Daffa dengan anggukan kecil saat hatinya sendu, kemudian dilupakan begitu saja karena dia pikir menyimpan kepedihan hanya akan menambah beban di hatinya. Pada waktu magrib Naila mengajak suaminya shalat berjamaah dan memintanya menjadi imam karena sejak menikah Daffa belum pernah melakukannya.Namun alih-alih menyetujui ajakan Naila, justru Daffa memikirkan hal wajib suami dan istri. “Berarti menstruasi kamu sudah selesai, kalau begitu layani saya malam ini!" titahnya.“Iya, tapi kita harus shalat dulu sampai isha.”“Ck, shalat saja sendiri. Saya akan shalat sesudah kamu!” tolak Daffa karena dirinya memang tidak ingin memimpin shalat istrinya. Menjadi imam dalam rumah tangga saja sudah sangat memberatkannya, apalagi ditambah dalam urusan beribadah yang sebenarnya bukan kegemarannya bahkan tidak dianggap wajib. Maka, Daffa sering meninggalkannya.Naila tidak bersikukuh memerintah Daffa, baginya asalkan sudah mengingatkan. Jadi, Naila shalat sendiri di dalam
Naila sudah tiba di kelas tepat waktu. "Untung tadi ada Raihan." Gadis ini merasa lega sekalian menjalani kesehariannya sebagai mahasiswi dengan lega juga.Ciara bertanya dengan volume rendah, "Tumben datangnya meped?""Nanti saya ceritakan," kekeh kecil Naila, sedangkan Fani dan Alia hanya menatap tanpa berkata karena dosen mulai menjelaskan seiring memerhatikan peserta di kelasnya hari ini.Sementara, Raihan masih berada di halaman. Dia sedang bersama salah satu pemuda di daerah rumahnya bernama Umar. Laki-laki ini mendapatkan pertanyaan penuh selidik, "Kenapa tadi boncengan sama Naila, kamu tidak takut sama Daffa?""Kenapa harus takut? Tadi saya menolong Naila." Santai Raihan."Hah, kenapa lagi Naila!" kaget dan peduli pemuda ini."Cuma masalah kecil sih, tapi kalau saya tidak menolong Naila akan menjadi masalah besar." Masih santai Raihan."Jujur saja saya kasihan sama Naila karena sebenarnya saya sering melihat Daffa balapan liar ditemani beberapa cewek sexy!" bongkar Umar yang m
Setibanya di rumah, Raihan menanyakan tentang Naila pada Rumi, "Tante, keluarga Naila tinggal di sini juga?"Rumi sedikit memicingkan matanya. "Iya, memang kenapa?""Tidak apa-apa, cuma bertanya saja kok." Senyuman kecil Raihan.Rumi segera berkata sebagai peringatan, "Jangan cari tahu tentang Naila, gadis itu sudah dimiliki oleh Daffa. Memang benar, banyak pemuda yang mengidolakannya, tapi kamu jangan ikut-ikutan.""Tidak kok, tante. Raihan cuma bertanya saja karena kebetulan kan satu kampus sama Naila." Tawa hambarnya."Bagus kalau kamu tidak ada maksud apa-apa." Rumi sedang mencatat bahan roti yang diperlukan di tokonya dan akan diserahkan pada salah satu karyawan yang mengurusi urusan dapur.Di sisi lain, Naila juga sedang mencatat bahan makanan atas rekomendasi Farida karena melihat kulkas anak dan menantunya sangat kosong, hanya diisi oleh bahan makanan yang baru saja dibeli. "Nanti jangan sampai kosong seperti ini, banyak sekali ruangan yang belum terisi.""Iya, ma," patuh Nail
Raihan hendak memeriksa halte bus di depan, tapi saat itu Umar datang. "Mau kemana lagi kamu, sudah hampir sampai kenapa putar balik?""Saya mau memeriksa Naila, saya takut dia melewatkan halte bus," aku Raihan."Sudah, tidak perlu terlalu pedulikan Naila, takutnya dilihat sama Daffa," peringatan Umar.Raihan kesulitan untuk mengabaikan Naila karena gadis itu terlihat membutuhkan bantuan, tapi akhirnya dirinya menyerah pada perasaannya dan memilih mendengarkan Umar. Kini, kedua laki-laki itu sudah masuk ke dalam kelas. Hingga selesai materi, laki-laki ini tidak pernah bertemu dengan Naila. Maka, dia memilih menghubungi adiknya Ciara, tapi tidak mendapat jawaban. "Tumben anak itu cuek," kekehnya.Raihan menuju ke parkiran untuk nongkrong bersama kawan-kawannya termasuk Umar, sedangkan Naila baru saja memulai materi pertamanya. Di kampus ini banyak sekali kegiatan untuk mahasiswa dan mahasiswi, tapi tidak seaktif di kampus favorit yang menaungi Daffa, bahkan Daffa menjadi salah satu ang
Raihan mengikuti motor Daffa dan kawannya menuju ke sebuah area yang entah di mana. Laki-laki ini tidak mengenal daerah di kota yang dipijaknya sekarang karena ini adalah kali pertama dirinya menaungi kota besar ini. Areanya sangat ramai kendaraan, Raihan pikir Daffa gila dan tidak memerhatikan keadaan karena balapan di tempat seperti ini sama saja dengan bunuh diri."Kita balapan di sini," ucap Daffa dengan seringai."Tempat ini berbahaya, polisi bisa muncul kapan saja selain itu akan membahayakan orang lain." Bukan maksud Raihan menjadi pengecut karena semua yang dikatakannya memang benar."Kalau mau mundur, iya sudah mundur saja. Pengecut!" ejek Daffa."Saya bukan pengecut, lihat keadaanya." Raihan masih menunjukan sabarnya.Daffa segera berkata pada kawan-kawaannya, "Ternyata warga baru ini seperti seorang gadis!" Tawa mengejeknya yang diikuti kawan-kawannya.Raihan berdecak kecil, "Di mana garis finishnya?" Ekspresinya menyimpan banyak kekesalan.Daffa menyeringai puas, kemudian
Naila segera melukis wajah sendu. "Daffa, saya mohon, izinkan saya kuliah.""Mau bertemu Raihan, kan!" Tatapan Daffa sangat mengiris."Tidak, saya kuliah karena itu salah satu kewajiban saya," jelas Naila dengan menambah sedikit ketegasan."Pokoknya hari ini kamu tidak usah kuliah, di rumah saja!" perintah Daffa bersifat mutlak, dan tugas Naila mematuhi. Laki-laki ini tidak menjamah sarapannya, dirinya segera bersiap-siap dan berlalu.Kini Naila sedang dalam kebimbangan, antara pendidikan atau suami. "Papa sama mama mau Naila jadi anak yang sukses, sukses diawali dari sekolah." Segera keputusan diambilnya, gadis ini memilih mengabaikan perintah Daffa karena yang dia tahu perintah suami memang harus dituruti, tapi selama itu baik. Jika tidak baik, maka tidak ada kewajiban harus mendengarkan.Naila pergi memakai bus seperti biasanya, kepergiannya dilihat oleh Rico yang baru saja keluar daerah. "Daffa bilang dia akan melarang Naila kuliah, tapi kenapa Naila masih pergi?"Seketika kabar k
Seusai kuliah, Raihan menghampiri Naila. "Mau pulang bersama? Kita kan searah," tawarnya walau tidak berharap Naila akan menerima kebaikannya."Tidak usah, nanti Daffa marah, apalagi Daffa mengira saya kuliah karena mau bertemu kamu," jelas Naila dengan sendu.Dahi Raihan mengeryit dalam. "Daffa sampai berpikiran seperti itu? Ck, konyol sekali," ejek Raihan."Maaf, saya tidak bisa pulang sama kamu," tolak Naila."Iya, tidak apa, tapi hati-hati ya jangan kebablasan lagi," pesan peduli Raihan.Naila hanya menatap Raihan sesaat kemudian mengangguk tipis dan berlalu. Beberapa menit kemudian bus menaungi gadis yang sedang kebingungan berlipat. "Saya harus pulang kemana? Daffa melarang saya pulang ke rumah." Dihembusnya udara pasrah, "memangnya harus kemana lagi saya pulang kalau bukan ke rumah suami."Jadi, Naila tetap kembali ke rumah yang ditinggalinya bersama Daffa. "Assalamualaikum," salamnya karena pintu rumah sudah terbuka."Wa'alaikumussalam," jawab ketus Daffa, "masih berani pulang
Umar segera mentralkan. "Sudah, jangan bahas balapan di sini. Kita kumpul bukan karena mau bersaing."Rico segera menyahut, "Tapi saya anggota geng motor, bagaimana dong? Saya juga sering memenangkan balapan." Laki-laki ini membanggakan propesinya.Raihan tidak berkata apapun karena dirinya memang tidak tertarik pada balapan motor liar atau geng motor, dia memilih hidup damai saja. Apalagi geng motor yang dibahas Rico bersangkutan dengan Daffa, sedangkan para pemuda lain menyahut ucapan Rico dengan bangga selaras dengan laki-laki itu, sekalian membahas Daffa yang sebenarnya tidak terlalu disukai karena besar kepala.Di sisi lain, orang yang dibicarakan sedang memberikan alasan pada ayahnya tentang bolosnya hari ini, "Maaf pa, perut Daffa sakit sekali jadi tidak bisa bekerja, tapi besok insyaallah.""Maka dari itu kamu harus jaga makan, jangan makan-makanan pedas dan biasakan cuci tangan sebelum makan," nasihat Haris seolah Daffa adalah anak tk."Iya, pa ...," patuh dan santun Daffa, k