Waktu cepat berlalu, tiba jam makan siang Naila kembali berpapasan dengan Raihan yang hendak menuju parkiran. “Eh Naila, mau kemana?” sapa Raihan sesuai porsinya.
“Mau ke kantin,” jawab canggung Naila karena walau Daffa tidak di sini, tapi gadis ini tetap ketakutan jika Raihan akan mengalami hal buruk.“Oh, saya duluan.” Lagi, Raihan menghindari Naila walau keinginan di hatinya berkebalikan.Fani dan Ciara baru saja menyusul Naila setelah dari toilet. “Kamu masih di sini Nai, kita kira sudah memesan,” kekeh Fani.“Saya sengaja jalan pelan itung-itung menunggu kalian,” kekeh Naila. Bersama kawan-kawannya, gadis ini bisa melupakan secuil kesedihannya berumah tangga dengan Daffa. Maka, bersama Fani, Ciara dan Alia, Naila bisa menarik garis senyuman ceria.Setibanya Naila di kantin, Raihan memerhatikan. “Saya tidak ada hak ikut campur dalam kehidupan kamu, tapi Daffa memang tidak pantas memiliki kamu.” Tidak lama Raihan melihat gadis itu karena kawan-kawannya segera mengajaknya berlalu dari kampus.[Saya sudah di depan. Sekarang juga cepat pulang!] Perintah Daffa dalam chat.Naila segera membalas bersama rasa bingung. [Tapi materinya belum selesai.][Pokoknya pulang sekarang juga. Saya sudah di depan, kamu membantah!] Lagi, Daffa membuat Naila ketakutan[Iya, saya pulang.] Segera, Naila berpamitan pada Fani dan Ciara mengatakan jika dirinya ada keperluan keluarga dadakan bahkan makanan yang dipesannya belum sempat disantap. Kedua gadis ini percaya begitu saja, mereka juga mendoakan semoga Naila selamat sampai ke rumah.Kini, Naila sudah tiba di depan gerbang kampus. [Kamu di mana?][Di seberang, kamu buta ya!] Kalimat Daffa selalu kasar pada Naila bahkan dalam chat sekalipun.Naila segera menyeberang guna menghampiri Daffa. “Kenapa tidak tunggu di depan?”“Suka-suka saya. Cepat naik!” titah Daffa sedikit membentak. Laki-laki ini segera membawa pulang istrinya ke rumah dan mengurungnya secara tidak langsung di sana. “Jangan pernah pergi kemanapun, ke warung juga tidak boleh!”“Makanan di kulkas habis, saya juga butuh uang buat belanja,” ucap santun Naila.“Tidak ada, saya belum dapat uang. Kamu juga inisiatif dong, kerja kek cari uang, jangan mengandalkan saya!” Alih-alih memberi nafkah sebagaimana semestinya justru Daffa membentak dan lari dari tanggung jawabnya.“Tapi kalau saya bekerja nanti bagaimana kalau ditanya orangtua kita.”“Banyak alasan, bilang saja tidak mau!” Daffa segera berlalu. Kini, Naila tidak bisa kemanapun bahkan untuk keluar rumah.“Terus, mau masak apa kalau tidak ada makanan,” bingungnya. Setiap hari gadis ini menyediakan makanan untuk Daffa walau suaminya tidak pernah menyantapnya sesuappun.“Assalamualaikum,” salam Mia yang sengaja mengunjungi kediaman putrinya.Naila segera membuka pintu kala mendengar suara ibunya. “Wa’alaikumussalam, ma,” riangnya kala mendapat kunjungan dari Mia.“Alhamdulillah kamu di rumah, tadi kuliah?”“Kuliah ma, baru saja pulang.” Naila segera mengecup punggung tangan Mia dengan sangat santun, “ayo masuk, ma.”“Ada Daffa?” tanya Mia sebelum menapakan kaki di rumah anaknya.“Tidak ada, baru saja Daffa pergi.”“Daffa bekerja?” selidik santai Mia karena Daffa terkenal bukan contoh baik di daerah ini. Jadi, rasa curiga selalu timbul meroket.“Alhamdulillah, bekerja.” Naila menunjukan wajah riang walau sebenarnya dirinya menjalani rumah tangga tanpa kata bahagia.Kini, Mia sudah masuk ke dalam rumah. Wanita ini membawa beberapa jenis masakan yang masih panas karena baru saja diangkat dari penggorengan. “Mama baru saja memasak, mama sengaja kesini, mengirimkan makanan untuk kalian berdua,” kekeh hangat seorang ibu.“Alhamdulillah mama bawa makanan, kebetulan Naila belum masak,” kekeh gadis ini kala berdusta karena hari ini dirinya tidak akan memasak apapun.“Iya sudah kalau begitu, ayo makan. Jangan lupa sisakan buat Daffa.” Mia membuka semua penutup makanannya dan segera menyodorkannya pada Naila. Ketika putrinya menyantap makanan, wanita ini membuka kulkas bermaksud menyimpan buah-buahan yang dibawanya. Segera, rasa heran menyerang, “Nak, kok tidak ada makanan?”Naila segera menoleh kaget ke arah ibunya yang berdiri di depan kulkas besarnya. Rumah serta isinya memang pemberian dari orangtua Daffa yang seorang manusia berada maka semua benda di sini berharga mahal. “Oh eu-iya ma, karena Naila belum sempat belanja.” Senyuman lebar ditarik kala berdusta.“Astagfirullahadzim ..., kalaupun tidak sempat belanja kulkasnya jangan sampai kosong seperti ini dong sayang, ini benar-benar tidak ada apa-apa, isinya hanya es batu dan air putih!” Mia geleng-geleng kepala kala menasihati putrinya, “jika tidak sempat belanja banyak, kamu belanja sedikit-sedikit saja, minimalnya untuk dua hari, jangan sampai kulkasnya kosong begini, untuk apa punya kulkas,” nasihat wanita ini masih berlanjut tanpa mengetahui alasan sebenarnya dari balik kosongnya kulkas yang ada di rumah putrinya.“Maaf, ma ....”“Kok minta maaf sama mama, kasihan Daffa loh kalau pulang kerja tidak kamu suguhkan apapun. Sudah, setelah makan mama antar kamu ke warung sekalian beli bumbu, sampai bawang saja kamu tidak punya!” Mia kembali menggelengkan kepalanya, kamudian merapihkan buah-buahan yang dipetiknya dari kebun.Naila kebingungan dengan ajakan ibunya karena Daffa tidak memberinya uang belanja sedangkan di dalam kamar hanya satu amplop yang tersisa, itupun entah berapa isinya?Mia sudah menutup kulkasnya. “Kamu makan dulu, mama akan menunggu.”“Ma, sepertinya Naila tidak bisa ke warung sekarang karena banyak sekali tugas kuliah, paling nanti sore, masih keburu masak kok!” alasan Naila agar terhindar dari ajakan Mia.“Iya sudah, tapi mama akan bantu catatkan yang harus kamu beli ya nak, telur itu salah satu makanan wajib yang harus selalu ada di dalam kulkas,” nasihat Mia lagi, “mama sudah bilang sebelum kamu menikah, kulkas tidak boleh kosong biar kamu selalu bisa memasak untuk suami saat Daffa pulang bekerja, jamu suami kamu dengan benar dan sikap santun, kamu harus selalu tersenyum di depan Daffa.”“Iya, ma.” Naila mengangguk patuh walau semua nasihat Mia sulit untuk dijalankan karena sikap Daffa padanya yang tidak menunjukan pencitraan seorang suami.Mia mulai mencatat bahan makanan yang akan mudah ditemukan di warung, kemudian menyerahkannya pada Naila. “Kalian hanya hidup berdua, mama kira belanja ini saja cukup untuk tiga hari.”Naila membaca semua bahan makanan yang dituliskan ibunya, tapi hatinya diserang sendu. 'Maaf ma, mungkin Naila tidak bisa membeli semuanya.'Cukup lama Mia berada di rumah Naila karena wanita ini menuntun putrinya berbenah rumah sampai bersih dan rapih. “Kalau mertua kamu berkunjung jangan sampai rumahnya berantakan atau bau karena mama yang akan malu, seakan mama tidak mengajari Naila,” pesannya.“Setiap hari Naila beres-beres kok ma, cuma kadang-kadang Daffa buang puntung rokok sembarangan.”“Tugas kamu mengingatkan Daffa, sekalian bersihkan abu rokok sama puntungnya ya. Jangan suruh Daffa membersihkannya.”“Iya, ma,” patuh Naila seiring menyapu di bawah sofa dan meja.Pukul dua siang Mia baru saja berlalu setelah putrinya merapihkan rumah. Kini, Naila mulai membuka satu amplop yang tersisa. “Tuh kan isinya cuma selembar, mana cukup buat beli semua yang mama tuliskan.” Itu hanyalah uang pecahan lima puluh ribu yang hanya cukup membeli setengahnya dari daftar belanjaan.Naila hanya duduk termenung, kemudian mengirim chat kepada Daffa. [Ini uang terakhir.]Bersambung ....Daffa tidak membalas, dengan sengaja laki-laki ini mengabaikan chat dari Naila karena dirasa sangat tidak penting. Kini, dirinya sedang bekerja di perusahaan ayahnya. “Kerja-kerja, tapi tidak ada hasilnya!” rutuknya bersama dengusan.Kebetulan Haris mendengarnya karena dirinya sedang berkeliling memeriksa karyawan. “Daffa, ke ruangan papa sekarang,” titahnya dengan suara biasa saja.Daffa segera menghentikan pekerjaan terhormatnya untuk mengikuti langkah kaki ayahnya hingga tiba di ruangan sang pemilik perusahaan. Laki-laki ini duduk di hadapan ayahnya.“Apa maksud kamu kerja tidak ada hasilnya? Memangnya gaji harian kamu tidak cukup untuk hidup bersama Naila,” interograsi kecil Haris.“Jujur saja tidak,” jawab Daffa yang sebenarnya tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk Naila. Selama berumah tangga kedua orang itu hanya mengandalkan amplop dari hasil resepsi. “Papa menggaji kamu tiga ratus ribu sehari, mana mungkin tidak cukup?” heran Haris, “uang itu di luar keperluan kuliah ka
Naila menjawab kalimat kejam Daffa dengan anggukan kecil saat hatinya sendu, kemudian dilupakan begitu saja karena dia pikir menyimpan kepedihan hanya akan menambah beban di hatinya. Pada waktu magrib Naila mengajak suaminya shalat berjamaah dan memintanya menjadi imam karena sejak menikah Daffa belum pernah melakukannya.Namun alih-alih menyetujui ajakan Naila, justru Daffa memikirkan hal wajib suami dan istri. “Berarti menstruasi kamu sudah selesai, kalau begitu layani saya malam ini!" titahnya.“Iya, tapi kita harus shalat dulu sampai isha.”“Ck, shalat saja sendiri. Saya akan shalat sesudah kamu!” tolak Daffa karena dirinya memang tidak ingin memimpin shalat istrinya. Menjadi imam dalam rumah tangga saja sudah sangat memberatkannya, apalagi ditambah dalam urusan beribadah yang sebenarnya bukan kegemarannya bahkan tidak dianggap wajib. Maka, Daffa sering meninggalkannya.Naila tidak bersikukuh memerintah Daffa, baginya asalkan sudah mengingatkan. Jadi, Naila shalat sendiri di dalam
Naila sudah tiba di kelas tepat waktu. "Untung tadi ada Raihan." Gadis ini merasa lega sekalian menjalani kesehariannya sebagai mahasiswi dengan lega juga.Ciara bertanya dengan volume rendah, "Tumben datangnya meped?""Nanti saya ceritakan," kekeh kecil Naila, sedangkan Fani dan Alia hanya menatap tanpa berkata karena dosen mulai menjelaskan seiring memerhatikan peserta di kelasnya hari ini.Sementara, Raihan masih berada di halaman. Dia sedang bersama salah satu pemuda di daerah rumahnya bernama Umar. Laki-laki ini mendapatkan pertanyaan penuh selidik, "Kenapa tadi boncengan sama Naila, kamu tidak takut sama Daffa?""Kenapa harus takut? Tadi saya menolong Naila." Santai Raihan."Hah, kenapa lagi Naila!" kaget dan peduli pemuda ini."Cuma masalah kecil sih, tapi kalau saya tidak menolong Naila akan menjadi masalah besar." Masih santai Raihan."Jujur saja saya kasihan sama Naila karena sebenarnya saya sering melihat Daffa balapan liar ditemani beberapa cewek sexy!" bongkar Umar yang m
Setibanya di rumah, Raihan menanyakan tentang Naila pada Rumi, "Tante, keluarga Naila tinggal di sini juga?"Rumi sedikit memicingkan matanya. "Iya, memang kenapa?""Tidak apa-apa, cuma bertanya saja kok." Senyuman kecil Raihan.Rumi segera berkata sebagai peringatan, "Jangan cari tahu tentang Naila, gadis itu sudah dimiliki oleh Daffa. Memang benar, banyak pemuda yang mengidolakannya, tapi kamu jangan ikut-ikutan.""Tidak kok, tante. Raihan cuma bertanya saja karena kebetulan kan satu kampus sama Naila." Tawa hambarnya."Bagus kalau kamu tidak ada maksud apa-apa." Rumi sedang mencatat bahan roti yang diperlukan di tokonya dan akan diserahkan pada salah satu karyawan yang mengurusi urusan dapur.Di sisi lain, Naila juga sedang mencatat bahan makanan atas rekomendasi Farida karena melihat kulkas anak dan menantunya sangat kosong, hanya diisi oleh bahan makanan yang baru saja dibeli. "Nanti jangan sampai kosong seperti ini, banyak sekali ruangan yang belum terisi.""Iya, ma," patuh Nail
Raihan hendak memeriksa halte bus di depan, tapi saat itu Umar datang. "Mau kemana lagi kamu, sudah hampir sampai kenapa putar balik?""Saya mau memeriksa Naila, saya takut dia melewatkan halte bus," aku Raihan."Sudah, tidak perlu terlalu pedulikan Naila, takutnya dilihat sama Daffa," peringatan Umar.Raihan kesulitan untuk mengabaikan Naila karena gadis itu terlihat membutuhkan bantuan, tapi akhirnya dirinya menyerah pada perasaannya dan memilih mendengarkan Umar. Kini, kedua laki-laki itu sudah masuk ke dalam kelas. Hingga selesai materi, laki-laki ini tidak pernah bertemu dengan Naila. Maka, dia memilih menghubungi adiknya Ciara, tapi tidak mendapat jawaban. "Tumben anak itu cuek," kekehnya.Raihan menuju ke parkiran untuk nongkrong bersama kawan-kawannya termasuk Umar, sedangkan Naila baru saja memulai materi pertamanya. Di kampus ini banyak sekali kegiatan untuk mahasiswa dan mahasiswi, tapi tidak seaktif di kampus favorit yang menaungi Daffa, bahkan Daffa menjadi salah satu ang
Raihan mengikuti motor Daffa dan kawannya menuju ke sebuah area yang entah di mana. Laki-laki ini tidak mengenal daerah di kota yang dipijaknya sekarang karena ini adalah kali pertama dirinya menaungi kota besar ini. Areanya sangat ramai kendaraan, Raihan pikir Daffa gila dan tidak memerhatikan keadaan karena balapan di tempat seperti ini sama saja dengan bunuh diri."Kita balapan di sini," ucap Daffa dengan seringai."Tempat ini berbahaya, polisi bisa muncul kapan saja selain itu akan membahayakan orang lain." Bukan maksud Raihan menjadi pengecut karena semua yang dikatakannya memang benar."Kalau mau mundur, iya sudah mundur saja. Pengecut!" ejek Daffa."Saya bukan pengecut, lihat keadaanya." Raihan masih menunjukan sabarnya.Daffa segera berkata pada kawan-kawaannya, "Ternyata warga baru ini seperti seorang gadis!" Tawa mengejeknya yang diikuti kawan-kawannya.Raihan berdecak kecil, "Di mana garis finishnya?" Ekspresinya menyimpan banyak kekesalan.Daffa menyeringai puas, kemudian
Naila segera melukis wajah sendu. "Daffa, saya mohon, izinkan saya kuliah.""Mau bertemu Raihan, kan!" Tatapan Daffa sangat mengiris."Tidak, saya kuliah karena itu salah satu kewajiban saya," jelas Naila dengan menambah sedikit ketegasan."Pokoknya hari ini kamu tidak usah kuliah, di rumah saja!" perintah Daffa bersifat mutlak, dan tugas Naila mematuhi. Laki-laki ini tidak menjamah sarapannya, dirinya segera bersiap-siap dan berlalu.Kini Naila sedang dalam kebimbangan, antara pendidikan atau suami. "Papa sama mama mau Naila jadi anak yang sukses, sukses diawali dari sekolah." Segera keputusan diambilnya, gadis ini memilih mengabaikan perintah Daffa karena yang dia tahu perintah suami memang harus dituruti, tapi selama itu baik. Jika tidak baik, maka tidak ada kewajiban harus mendengarkan.Naila pergi memakai bus seperti biasanya, kepergiannya dilihat oleh Rico yang baru saja keluar daerah. "Daffa bilang dia akan melarang Naila kuliah, tapi kenapa Naila masih pergi?"Seketika kabar k
Seusai kuliah, Raihan menghampiri Naila. "Mau pulang bersama? Kita kan searah," tawarnya walau tidak berharap Naila akan menerima kebaikannya."Tidak usah, nanti Daffa marah, apalagi Daffa mengira saya kuliah karena mau bertemu kamu," jelas Naila dengan sendu.Dahi Raihan mengeryit dalam. "Daffa sampai berpikiran seperti itu? Ck, konyol sekali," ejek Raihan."Maaf, saya tidak bisa pulang sama kamu," tolak Naila."Iya, tidak apa, tapi hati-hati ya jangan kebablasan lagi," pesan peduli Raihan.Naila hanya menatap Raihan sesaat kemudian mengangguk tipis dan berlalu. Beberapa menit kemudian bus menaungi gadis yang sedang kebingungan berlipat. "Saya harus pulang kemana? Daffa melarang saya pulang ke rumah." Dihembusnya udara pasrah, "memangnya harus kemana lagi saya pulang kalau bukan ke rumah suami."Jadi, Naila tetap kembali ke rumah yang ditinggalinya bersama Daffa. "Assalamualaikum," salamnya karena pintu rumah sudah terbuka."Wa'alaikumussalam," jawab ketus Daffa, "masih berani pulang