Daffa datang ke toko roti milik Rumi. “Selamat malam, kebetulan kita sedang ada rasa baru,” sambutan karyawan perempuan.
“Di sini ada cowok yang namanya Raihan?”
“Ada, Raihan itu keponakan Bu Rumi,” jawab gadis ini.
“Sekarang ada?”
“Ada.”
“Panggil,” titah Daffa seolah memerintah bawahan di rumahnya.
Gadis ini tidak nyaman, tapi tetap memanggil Raihan. Tidak lama dirinya berlalu, kini gadis ini sudah kembali bersama laki-laki yang dicari Daffa.
Raihan dan Daffa saling menatap, kemudian Raihan segera meninggalkan toko roti karena dirasa kedatangan Daffa tidak sebaik niat orang-orang yang datang kesini. “Ada apa kamu mencari saya?”
Daffa segera berdecak, “Tidak usah berlaga polos, saya tahu kamu kan yang tadi membawa Naila ke apotek. Jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Naila punya saya dan tidak akan pernah jadi milik kamu!” Peringatan tegas itu segera melayang karena Daffa tidak rela jika Naila didekati laki-laki lain walau tidak ada cinta dalam hatinya.
Raihan juga berdecak, “Seharusnya kamu berterimakasih kan pada saya karena saya sudah menolong istri kamu.”
“Jangan harap karena kamu tidak tulus menolong!” angkuh Daffa.
Raihan sudah mendengar tentang Daffa dari para pemuda dan sekarang dia membuktikannya sendiri jika atittude laki-laki ini memang rendah. “Iya sudah kamu tidak perlu berterimakasih karena Naila sudah berterimakasih.” Santainya tanpa rasa tersinggung sama sekali.
“Sekali lagi saya dengar kamu mendekati Naila, siap-siap saja pada takdir buruk yang akan menimpa kamu!” ancam Daffa dengan seringai dan santai.
Raihan hanya menggeleng kecil. “Kalau saat itu saya tidak datang, pasti kamu bisa membayangkan yang akan terjadi sama Naila.”
“Tidak usah berlaga heroik, pertolongan kamu cuma kebetulan.” Daffa tidak akan pernah menghargai kebaikan Raihan karena dia tidak pernah melakukannya pada siapapun.
“Terserah.” Raihan berlalu meninggalkan tamunya, hingga membuat Daffa semakin geram karena selama ini kehadirannya selalu dihargai tidak pernah diabaikan seperti ini.
“Saya akan memerhatikan kamu,” seringai Daffa kemudian berlalu. Raihan sudah masuk ke dalam daftar hitam. Maka, sebisa mungkin Daffa akan memerhatikan gerak-geriknya.
Raihan masuk ke dalam rumah. “Daffa tidak cocok buat Naila, kenapa Tuhan bisa salah menjodohkan mereka?”
Kebetulan Rumi mendengarnya. “Bicara apa kamu, sampai-sampai bilang Tuhan salah menjodohkann mereka, pamali.”
“Eh tante, asal ngomong saja kok tante.” Senyuman lebar ditarik Raihan.
“Tuh, apalagi asal ngomong, jangan!” nasihat Rumi.
“Iya tante, maaf.”
“Nanti bantu tante tutup toko ya, soalnya malam ini cuma ada satu karyawan saja, kasihan kalau tutup sendiri.”
“Siap tante, emang mau tutup jam berapa?”
“Iya seperti biasa saja jam sembilan.”
“Siap, tenang saja Raihan belum tidur kok,” kekehnya.
Sementara, Daffa baru saja pulang ke rumah. Dia segera memerintah Naila, “Jangan pernah dekat-dekat sama Raihan, saya tidak suka, kamu harus menurut karena saya imam di sini!”
Naila segera memiliki firasat buruk dari kalimat Daffa. “Iya,” patuhnya daripada terjadi sesuatu pada Raihan yang sudah sangat baik padanya.
Esok paginya Naila pergi kuliah diantar Daffa, tapi hanya sampai halte saja karena laki-laki ini tidak ingin dilihat banyak saksi jika dirinya dan Naila saling mengenal. “Turun,” titahnya, kemudian berkata penuh rasa curiga, “di sini tidak mungkin ada copet jadi jangan beralasan!”
“Iya ...,” ucap santun Naila bersama rasa takut, “assalamualaikum,” salamnya seiring hendak meraih punggung tangan Daffa.
Namun alih-alih menerima sikap santun Naila, justru Daffa menepisnya. “Jangan lakukan itu di sini, saya tidak suka!” teguran tegasnya bersama tatapan mata tidak bersahabat.
Naila segera mengerti maksud Daffa, maka dirinya mengangguk hingga akhirnya berlalu. Gadis ini berjalan menunduk di sepanjang langkahnya, hingga tanpa sengaja berpapasan dengan Raihan di gerbang masuk kampus. “Jangan nunduk terus, takutnya ada orang yang kamu tabrak.” Tawa kecilnya.
Naila mengerjap mendengar suara teduh itu. “Eh, Raihan,” sapanya dengan tatapan ragu karena sudah mendapatkan peringatan dari Daffa jika dirinya dilarang berdekatan dengan laki-laki ini.
Raihan menyadari perubahan tatapan Naila, tapi untuk yang ini juga dirinya segera mengerti jika mungkin gadis ini mendapatkan larangan atau teguran dari Daffa seperti dirinya. “Hati-hati ya,” peasan singkatnya bersama senyuman, “maaf saya duluan sedang terburu-buru,” alasannya sebelum Naila mendapatkan masalah.
Naila kembali sendiri seiring menatap kepergian Raihan. “Sebenarnya Raihan laki-laki baik, tapi status saya membuat kita tidak bisa berdekatan.”
Tanpa Naila sadari sebenarnya Daffa belum berlalu, dia memerhatikannya dari kejauhan. “Saya suka Naila yang penurut.” Seringai puasnya setelahnya segera berlalu. Kala motor dinyalakan, Fani melihat laki-laki itu.
“Loh, itu kan suaminya Naila, sepertinya baru saja mengantar Naila.” Kesimpulan yang diambil Fani karena baginya wajar saja seorang suami mengantar istrinya.
Langkah Fani cukup cepat hingga kini dirinya berhasil menyusul salah satu sahabatnya. “Nai, tadi kamu diantar suami ya? Sweet ....”“Kok kamu tahu?” Naila melukis sebuah senyuman walau isinya hanya kepalsuan.
“Tadi saya lihat suami kamu baru saja pergi, kok tidak sekalian mengantar sampai kelas. Hihi ....”
Naila berpikir jika Daffa tidak segera pergi karena seharusnya suaminya sudah pergi sejak tadi. “Tidak usah, saya bisa sendiri kok.” Senyuman kosong Naila.
Di sisi lain, Raihan mulai memikirkan keadaan rumah tanggga Naila. “Sepertinya saya harus menjaga jarak dengan Naila, karena saya tidak mau merusak keharmonisan rumah tangga meraka, tapi ....” Laki-laki ini menyadari keanehan pada pasangan itu, “apa benar Naila bahagia dengan Daffa?”
“Kak, lihat Naila tidak?” tanya Ciara yang baru saja tiba.
“Lihat.” Datar Raihan.
“Sekarang Nailanya di mana?”
“Tidak tahu, tadi kakak cuma bertemu di dekat gerbang.”
“Oh, iya sudah deh setidaknya Ciara tahu kalau hari ini Naila kuliah.” Gadis ini segera berlalu meninggalkan Raihan untuk mencari Naila.
Raihan sedikit dibuat iri karena adiknya sangat dekat dengan Naila, sedangkan dirinya tidak bisa. Namun, akal sehatnya tetap berjalan hingga hal itu tidak dianggap serius.
Kini, Naila sudah bersama Fani dan Ciara. “Hari ini Alia bolos,” ucap Ciara.
“Sakit?” tebak Fani.
“Iya, kok tahu?”
“Kita kehujanan setelah pulang dari rumah Naila. Wajar sih kalau sakit."
Naila segera merasa heran, “Bukannya kalian naik mobil?”
“Iya, cuma kita mampir dulu beli camilan, eh pas keluar mini market hujan besar. Jadi ya begitu kena hujan, Alia kan gampangan, kasihan ....”
“Hari ini saya jenguk Alia deh, kemarin Alia sudah jenguk saya,” keputusan Naila.
Ciara antusias. “Yuk, kita jenguk Alia rame-rame!” Jadi, ketiga gadis ini memiliki rencana setelah kuliah. Tidak lupa Naila meminta izin pada Daffa lewat chat. Namun, chat balasan Daffa tidak sesuai harapan Naila.
[Jangan pergi, diam di rumah!]
Naila terpaku setelah membacanya. “Teman-teman ... maaf ya,” sesalnya dipertontonkan pada Alia dan Ciara.
“Kenapa?” heran Fani dan Ciara.
“Daffa tidak memberi izin. Maaf, saya harus mendengarkan perintah suami.” Naila merasa bersalah pada Alia karena merasa tidak bisa membalas budi baik Alia.
“Iya sudah tidak apa-apa, pasti Alia juga mengerti,” ujar Fani yang sudah sangat memaklumi posisi Naila kini.
[Masih mau pergi, kamu tidak mau mendengarkan saya? Lihat saja nanti malam apa yang akan saya lakukan pada kamu!] Ancam Daffa.
Naila dibuat menggigil ketakutan saat membacanya. [Saya tidak akan pergi.]
Di seberang sana, Daffa menyeringai puas. “Jangan buat alasan ingin menemui teman kamu padahal ingin bertemu Raihan. Ck, alasan clasik!”
Pikiran Daffa sudah menanamkan kecurigaan, jadi nama Raihan dan Naila sudah menjadi sasaran utama yang harus segera diselesaikan, dengan cara kasar sekalipun bahkan jika harus melakukannya pada Naila-si gadis salihah dan penurut.
Bersambung ....
Waktu cepat berlalu, tiba jam makan siang Naila kembali berpapasan dengan Raihan yang hendak menuju parkiran. “Eh Naila, mau kemana?” sapa Raihan sesuai porsinya.“Mau ke kantin,” jawab canggung Naila karena walau Daffa tidak di sini, tapi gadis ini tetap ketakutan jika Raihan akan mengalami hal buruk.“Oh, saya duluan.” Lagi, Raihan menghindari Naila walau keinginan di hatinya berkebalikan.Fani dan Ciara baru saja menyusul Naila setelah dari toilet. “Kamu masih di sini Nai, kita kira sudah memesan,” kekeh Fani.“Saya sengaja jalan pelan itung-itung menunggu kalian,” kekeh Naila. Bersama kawan-kawannya, gadis ini bisa melupakan secuil kesedihannya berumah tangga dengan Daffa. Maka, bersama Fani, Ciara dan Alia, Naila bisa menarik garis senyuman ceria. Setibanya Naila di kantin, Raihan memerhatikan. “Saya tidak ada hak ikut campur dalam kehidupan kamu, tapi Daffa memang tidak pantas memiliki kamu.” Tidak lama Raihan melihat gadis itu karena kawan-kawannya segera mengajaknya berlalu da
Daffa tidak membalas, dengan sengaja laki-laki ini mengabaikan chat dari Naila karena dirasa sangat tidak penting. Kini, dirinya sedang bekerja di perusahaan ayahnya. “Kerja-kerja, tapi tidak ada hasilnya!” rutuknya bersama dengusan.Kebetulan Haris mendengarnya karena dirinya sedang berkeliling memeriksa karyawan. “Daffa, ke ruangan papa sekarang,” titahnya dengan suara biasa saja.Daffa segera menghentikan pekerjaan terhormatnya untuk mengikuti langkah kaki ayahnya hingga tiba di ruangan sang pemilik perusahaan. Laki-laki ini duduk di hadapan ayahnya.“Apa maksud kamu kerja tidak ada hasilnya? Memangnya gaji harian kamu tidak cukup untuk hidup bersama Naila,” interograsi kecil Haris.“Jujur saja tidak,” jawab Daffa yang sebenarnya tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk Naila. Selama berumah tangga kedua orang itu hanya mengandalkan amplop dari hasil resepsi. “Papa menggaji kamu tiga ratus ribu sehari, mana mungkin tidak cukup?” heran Haris, “uang itu di luar keperluan kuliah ka
Naila menjawab kalimat kejam Daffa dengan anggukan kecil saat hatinya sendu, kemudian dilupakan begitu saja karena dia pikir menyimpan kepedihan hanya akan menambah beban di hatinya. Pada waktu magrib Naila mengajak suaminya shalat berjamaah dan memintanya menjadi imam karena sejak menikah Daffa belum pernah melakukannya.Namun alih-alih menyetujui ajakan Naila, justru Daffa memikirkan hal wajib suami dan istri. “Berarti menstruasi kamu sudah selesai, kalau begitu layani saya malam ini!" titahnya.“Iya, tapi kita harus shalat dulu sampai isha.”“Ck, shalat saja sendiri. Saya akan shalat sesudah kamu!” tolak Daffa karena dirinya memang tidak ingin memimpin shalat istrinya. Menjadi imam dalam rumah tangga saja sudah sangat memberatkannya, apalagi ditambah dalam urusan beribadah yang sebenarnya bukan kegemarannya bahkan tidak dianggap wajib. Maka, Daffa sering meninggalkannya.Naila tidak bersikukuh memerintah Daffa, baginya asalkan sudah mengingatkan. Jadi, Naila shalat sendiri di dalam
Naila sudah tiba di kelas tepat waktu. "Untung tadi ada Raihan." Gadis ini merasa lega sekalian menjalani kesehariannya sebagai mahasiswi dengan lega juga.Ciara bertanya dengan volume rendah, "Tumben datangnya meped?""Nanti saya ceritakan," kekeh kecil Naila, sedangkan Fani dan Alia hanya menatap tanpa berkata karena dosen mulai menjelaskan seiring memerhatikan peserta di kelasnya hari ini.Sementara, Raihan masih berada di halaman. Dia sedang bersama salah satu pemuda di daerah rumahnya bernama Umar. Laki-laki ini mendapatkan pertanyaan penuh selidik, "Kenapa tadi boncengan sama Naila, kamu tidak takut sama Daffa?""Kenapa harus takut? Tadi saya menolong Naila." Santai Raihan."Hah, kenapa lagi Naila!" kaget dan peduli pemuda ini."Cuma masalah kecil sih, tapi kalau saya tidak menolong Naila akan menjadi masalah besar." Masih santai Raihan."Jujur saja saya kasihan sama Naila karena sebenarnya saya sering melihat Daffa balapan liar ditemani beberapa cewek sexy!" bongkar Umar yang m
Setibanya di rumah, Raihan menanyakan tentang Naila pada Rumi, "Tante, keluarga Naila tinggal di sini juga?"Rumi sedikit memicingkan matanya. "Iya, memang kenapa?""Tidak apa-apa, cuma bertanya saja kok." Senyuman kecil Raihan.Rumi segera berkata sebagai peringatan, "Jangan cari tahu tentang Naila, gadis itu sudah dimiliki oleh Daffa. Memang benar, banyak pemuda yang mengidolakannya, tapi kamu jangan ikut-ikutan.""Tidak kok, tante. Raihan cuma bertanya saja karena kebetulan kan satu kampus sama Naila." Tawa hambarnya."Bagus kalau kamu tidak ada maksud apa-apa." Rumi sedang mencatat bahan roti yang diperlukan di tokonya dan akan diserahkan pada salah satu karyawan yang mengurusi urusan dapur.Di sisi lain, Naila juga sedang mencatat bahan makanan atas rekomendasi Farida karena melihat kulkas anak dan menantunya sangat kosong, hanya diisi oleh bahan makanan yang baru saja dibeli. "Nanti jangan sampai kosong seperti ini, banyak sekali ruangan yang belum terisi.""Iya, ma," patuh Nail
Raihan hendak memeriksa halte bus di depan, tapi saat itu Umar datang. "Mau kemana lagi kamu, sudah hampir sampai kenapa putar balik?""Saya mau memeriksa Naila, saya takut dia melewatkan halte bus," aku Raihan."Sudah, tidak perlu terlalu pedulikan Naila, takutnya dilihat sama Daffa," peringatan Umar.Raihan kesulitan untuk mengabaikan Naila karena gadis itu terlihat membutuhkan bantuan, tapi akhirnya dirinya menyerah pada perasaannya dan memilih mendengarkan Umar. Kini, kedua laki-laki itu sudah masuk ke dalam kelas. Hingga selesai materi, laki-laki ini tidak pernah bertemu dengan Naila. Maka, dia memilih menghubungi adiknya Ciara, tapi tidak mendapat jawaban. "Tumben anak itu cuek," kekehnya.Raihan menuju ke parkiran untuk nongkrong bersama kawan-kawannya termasuk Umar, sedangkan Naila baru saja memulai materi pertamanya. Di kampus ini banyak sekali kegiatan untuk mahasiswa dan mahasiswi, tapi tidak seaktif di kampus favorit yang menaungi Daffa, bahkan Daffa menjadi salah satu ang
Raihan mengikuti motor Daffa dan kawannya menuju ke sebuah area yang entah di mana. Laki-laki ini tidak mengenal daerah di kota yang dipijaknya sekarang karena ini adalah kali pertama dirinya menaungi kota besar ini. Areanya sangat ramai kendaraan, Raihan pikir Daffa gila dan tidak memerhatikan keadaan karena balapan di tempat seperti ini sama saja dengan bunuh diri."Kita balapan di sini," ucap Daffa dengan seringai."Tempat ini berbahaya, polisi bisa muncul kapan saja selain itu akan membahayakan orang lain." Bukan maksud Raihan menjadi pengecut karena semua yang dikatakannya memang benar."Kalau mau mundur, iya sudah mundur saja. Pengecut!" ejek Daffa."Saya bukan pengecut, lihat keadaanya." Raihan masih menunjukan sabarnya.Daffa segera berkata pada kawan-kawaannya, "Ternyata warga baru ini seperti seorang gadis!" Tawa mengejeknya yang diikuti kawan-kawannya.Raihan berdecak kecil, "Di mana garis finishnya?" Ekspresinya menyimpan banyak kekesalan.Daffa menyeringai puas, kemudian
Naila segera melukis wajah sendu. "Daffa, saya mohon, izinkan saya kuliah.""Mau bertemu Raihan, kan!" Tatapan Daffa sangat mengiris."Tidak, saya kuliah karena itu salah satu kewajiban saya," jelas Naila dengan menambah sedikit ketegasan."Pokoknya hari ini kamu tidak usah kuliah, di rumah saja!" perintah Daffa bersifat mutlak, dan tugas Naila mematuhi. Laki-laki ini tidak menjamah sarapannya, dirinya segera bersiap-siap dan berlalu.Kini Naila sedang dalam kebimbangan, antara pendidikan atau suami. "Papa sama mama mau Naila jadi anak yang sukses, sukses diawali dari sekolah." Segera keputusan diambilnya, gadis ini memilih mengabaikan perintah Daffa karena yang dia tahu perintah suami memang harus dituruti, tapi selama itu baik. Jika tidak baik, maka tidak ada kewajiban harus mendengarkan.Naila pergi memakai bus seperti biasanya, kepergiannya dilihat oleh Rico yang baru saja keluar daerah. "Daffa bilang dia akan melarang Naila kuliah, tapi kenapa Naila masih pergi?"Seketika kabar k