Setibanya di kantin, Raihan bertemu Ciara. "Siang adik," sapanya dengan senyuman cukup lebar.
"Hah, kenapa kakak beli pembalut!" heboh Ciara kala melihat isi kresek Raihan.
"Buat cewek yang lagi haid, kasian udah rembes. Kamu juga pernah seperti itu di haid pertama kamu, kakak yang selamatkan. Sekarang kakak mau jadi hero buat cewek itu. Sudah dulu ya, kasihan ceweknya nunggu lama!" Raihan melesat.
"Ish, siapa cewek yang dimaksud? Masa iya Kak Raihan langsung punya cewek anak kampus ini, kan ini hari pertama Kak Raihan di sini," bingung Ciara.
Fani menghampiri Ciara yang tidak kunjung memesan makanan padahal dirinya dan Alia sudah memilih bangku dan menunggu. "Kok ngelamun sih, kita kan sudah lapar," protes kecilnya lebih banyak mengeluh.
"Sorry, tadi ada kakak aku. Kamu lihat tidak?"
"Oh, yang barusan?"
"Iya, itu kakak aku."
"Iya ampun ... tinggi sekali."
"Iya, kan sudah aku bilang Kak Raihan tiang listrik," kekeh Ciara.
Di sisi lain, Raihan sudah sampai di tempat Naila menunggu. "Ini, pakai ya. Terus jaketnya jangan dilepas." Senyuman teduh Reihan.
"Tapi kan ini jaket kamu."
"Tidak apa, kita tetangga kan, nama kamu Naila kan?" Kemarin saya bertanya sama Tante Rumi." Masih senyuman teduh Raihan.
"Iya, saya juga ingat kamu. Ngomong-ngomong, terimakasih banyak."
"Iya." Raihan senang membantu Naila karena kemarin gadis ini juga membantunya. Tangan kanannya mengulur, "nama saya Raihan."
Naila juga mengulurkan tangan kanannya. Maka, telapak tangan keduanya bertautan. "Naila."
Kini, Raihan dan Naila sudah berpisah. Gadis ini sudah memakai pembalutnya, jaket laki-laki itu juga tetap melingkar di pinggangnya.
"Kalau saya ke rumah pakai jaket ini pasti Daffa tahu dan marah, tapi mau bagaimana lagi, celana saya sudah kotor terkena darah." Naila kebingungan, tapi andai dirinya bisa berkunjung sebentar ke rumah orangtuanya maka jaket milik Raihan akan dititipkan di sana.
Cukup lama Naila menyusul ke kantin karena langkah patah-patahnya.
Ciara segera mengenali jaket yang melingkar di pinggang Naila. "Kok, seperti jaketnya Kak Raihan."
"Tadi emang ada laki-laki yang pinjamkan jaketnya, namanya Raihan."
"Wah, tidak salah. Pasti Kak Raihan. Kakak bilang mau tolong cewek yang rembes. Jadi itu kamu, Nai?"
"Iya." Anggukan Naila yang tidak menduga pada hal kebetulan ini.
"Bagus deh, saya kira Kak Raihan tolong cewek tidak jelas," kekeh Ciara.
Fani membantu memesankan makanan untuk Naila karena iba dengan langkah kaki kawannya. Jadi, sekarang keempat gadis itu makan bersama.
Daffa juga sedang kuliah, tapi di universitas berbeda dan tentu saja tempat itu lebih terkenal dari tempat Naila menimba ilmu karena laki-laki ini berasal dari keluarga berada.
Daffa adalah mahasiswa populer karena ketampanannya, dia seorang idol kampus. Banyak gadis tergila-gila padanya, tapi tidak satupun yang membuat ketertarikannya mencuat. Semua gadis-gadis itu hanya dianggap pemuas saja sama seperti Naila walau hanya Naila yang pernah dia sentuh.
Daffa dan kelima kawannya baru saja menyelesaikan materi. Di kampus ini hanya kelima kawannya yang tahu setatus barunya yang adalah seorang suami.
"Bagaimana rasanya menikah?" goda Gavin.
"Biasa saja," jawab datar Daffa.
"Masa sih, bukannya enak," goda Gavin lagi.
"Enak di ranjang saja, tapi saya malas kasih makan Naila!" aku Daffa.
Rico memerotes kecil, "Dosa tahu, istri harus dapat nafkah lahir, bukan cuma batin saja, jangan lupa uang belanjanya."
"Tidak peduli!" Datar Daffa.
Kelima kawannya hanya saling memandang, tapi tidak lagi membahas pernikahan Daffa karena mereka tahu pernikahan itu atas dasar perjodohan.
Seusai kuliah, Daffa tidak lantas pulang karena harus segera berkerja di perusahaan Haris. "Pa, boleh tidak Daffa tidak usah bekerja? Enak sekali Naila cuma kuliah, sedangkan Daffa banting tulang," adunya seiring menggerutu.
"Sudah kewajiban laki-laki mencari nafkah untuk istrinya dan suatu hari untuk anak dan istri," tutur santai Haris tanpa menggubris kalimat Daffa.
"Tapi pa, itu tidak adil!"
"Adil, Naila melayani kamu dengan tulus siang dan malam. Maka, kamu harus nafkahi Naila sesuai haknya." Kini Haris berkata tegas. Maka, Daffa tidak bisa membantah atau mengeluh, apalagi memerotes seperti yang baru saja dilakukannya.
Sementara, Naila baru saja keluar dari bus. Dirinya harus berjalan sekitar dua puluh meter untuk mencapai lokasi tempatnya bernaung.
Raihan menghentikan motornya kala melihat Naila sedang berjalan pincang menyusuri jalanan daerah. "Mau naik," tawaran ramahnya.
Naila segera menoleh ke arah Raihan. "Tidak usah, terimakasih."
"Yakin, memangnya tidak sakit berjalan pincang begitu?"
"Tidak kok." Naila memberikan jawaban yang sama seperti pada kawan-kawannya.
Raihan mengingat status Naila yang adalah seorang istri maka dirinya mengerti jika Naila sedang menjaga fitnah tetangga. "Iya sudah, tapi hati-hati." Senyuman tulusnya.
"Iya. Eu-bagaiman jaket kamu?"
"Pakai saja dulu," tawaran tulus laki-laki dengan perawakan sixpack.
"Maaf ya, mungkin kamu harus menunggu jaketnya kering karena harus saya cuci dulu."
"Iya, tidak apa. Pakai saja selama kamu butuh." Senyuman tulus Raihan masih memancar, "iya sudah, saya duluan," pamitnya karena beberapa tetangga mulai memandangi dirinya dan Naila. Laki-laki ini tidak ingin Naila dicap tidak baik sebagai seorang istri.
Raihan berlalu terlebih dahulu, sedangkan Naila masih harus berjalan pincang dan terhuyung-huyung hingga tiba di rumah. Jaket milik Raihan segera dicuci memakai mesin supaya cepat kering. Naila juga menitipkan jemurannya di halaman tetangga dengan alasan tambang jemurannya penuh. Semua itu dilakukan agar Daffa tidak marah karena jaket milik laki-laki lain.
Sore harinya Daffa pulang, tapi sejak kemarin dirinya tidak menyantap masakan Naila. Sama halnya dengan sore ini walau istrinya sudah menawarkan dengan santun.
"Saya akan makan di luar, kamu makan saja sendiri," tolak Daffa kala Naila baru saja selesai memasak telur balado.
"Uang sisa amplop tinggal sedikit lagi, nanti saya mau minta uang buat masak," ucap santun Naila.
"Minta saja sama orangtua toh mereka yang menikahkan kita." Santai Daffa seiring menghisap rokok.
"Mana bisa seperti itu." Suara pelan dan hati-hati Naila agar tidak menyinggung Daffa.
"Saya imam kamu, turuti perintah saya!" tegas Daffa, kemudian bergegas mandi.
Namun, baru saja sampai di ruangan lembab itu. Daffa melihat celana berdarah milik Naila yang masih menggantung. "Ck, baru saja seminggu menikah sudah datang bulan. Kalau begini saya semakin tidak betah di rumah!"
Daffa segera menyelesaikan mandinya kemudian menemui Naila yang masih sibuk di dapur karena semua urusan rumah menjadi tanggung jawabnya. "Malam ini saya tidak akan pulang. Jangan hubungi saya!"
"Tapi, bagaimana kalau orangtua kita tiba-tiba datang dan menanyakan kamu?"
"Think smart girl, kamu bisa buat alasan masuk logika, kan!" Daffa segera berlalu, dia memacu motornya entah kemana. Naila tidak pernah tahu.
Saat hendak keluar daerah, Daffa berpapasan dengan Raihan yang sedang berkumpul dengan beberapa pemuda. Para pemuda menyapa Daffa sebagaimana pada seorang kawan. Lalu, salah satu pemuda berkata setelah Daffa berlalu, "Beruntung sekali Daffa dapat Naila, salah satu cewek paling cantik di daerah sini."
Jadi, itu suaminya Naila. Hati Raihan.
Bersambung ....
Raihan melewati rumah Naila sekitar pukul delapan malam. Sebelum dirinya bertanya pada para pemuda, para pemuda itu sudah menunjukan rumah Naila terlebih dahulu seiring menayayangkan gadis favorite mereka diambil Daffa, laki-laki yang dianggap tidak pantas bersama si gadis. Raihan mulai mencari informasi tentang Daffa. "Memangnya mengapa Daffa?" "Daffa itu anak motor dan sering membuat masalah di daerah sini, tapi memang sih dia punya solidaritas tinggi, aktif juga dalam karang taruna. Cuma kebanyakan warga terutama kalangan emak-emak tidak menyukainya karena kelakuannya itu." Cerita salah satu pemuda. "Lalu, Naila bagaimana?" lanjut Raihan. "Naila gadis baik, Salihah, dia juga pintar mengaji dan anak teladan. Berprestasi juga. Saya pernah satu SMA sama Naila, dia banyak menjuarai cerdas cermat, tapi sekarang Naila kuliah di universitas yang berbeda dengan saya. Bahkan sama Daffa juga beda." Raihan mendengarkan dengan saksama. "Tapi bagaimanapun Daffa, nyatanya Naila tetap memili
Daffa tidak pergi ke kampusnya, tapi dia kembali ke kampus yang menaungi Naila karena ingin mengetahui reaksi para gadis di sana kala melihatnya. Laki-laki ini menggunakan jaket kulit, celana jeans dan sepatu boots. Daffa tampak sangat keren dan luar biasa. Para gadis di kampus segera menyukainya hingga Daffa menyeringai bangga. "Ternyata benar, ternyata wajah saya tidak familiar di sini artinya Naila tidak mengatakan pernikahan petaka itu." Seringai Daffa semakin sempurna. Naila melihat kehadiran Daffa kala dirinya sedang berada di lantai dua. "Ada apa Daffa kesini, apa mau cari saya?" Sebuah panggilan segera terhubung pada suaminya Namun, Daffa memutusnya. Dahi Naila berkerut, tapi dengan sikap laki-laki ini membuat dirinya tahu jika teman hidupnya tidak sedang mencari. Naila dan ketiga kawannya segera masuk ke dalam kelas sepuluh menit sebelum dimulai, sedangkan Daffa masih berkeliaran di area kampus. Bahkan beberapa gadis memberanikan diri menyapanya. "Eh, Daffa," sapa salah
Acara keluarga sangat hangat, begitupun dengan Daffa yang memakai kedok menyayangi Naila hingga keluarga mereka tidak dapat melihat cacatnya rumah tangga yang masih hitungan hari. Malam harinya setelah isha Heru dan Mia berpamitan, sedangkan Naila ditahan pulang oleh Farida dan Haris. "Menginap di sini ya, lagian di rumah kan cuma berdua saja. Memangnya tidak sepi," kekeh Farida. Haris menggoda anak dan menantunya bersama kekeh, "Mama seperti tidak pernah pengantin baru saja. Justru semakin sepi semakin suka." Naila tersenyum kecil, kemudian Daffa berkata pada kedua orangtuanya, "Malam ini kita akan menginap." Jadi, ini adalah malam pertama Naila tidur di dalam kamar Daffa karena mereka melakukan malam pertama pernikahan di kamarnya Naila, kemudian segera pindah ke dalam rumah pemberian Haris dan Farida. Daffa sibuk sendiri dengan dunianya, sedangkan Naila mulai berbaring di atas tempat tidur besar. "Saya mau tidur duluan, boleh?" Naila meminta izin dengan santun. "Tidur saja,"
"Tadi saya kecopetan, tapi alhamdulillah banyak yang menolong," jelas Naila untuk menjawab pertanyaan Daffa."Bukan itu yang saya tanyakan!" Daffa sedikit membentak, "siapa laki-laki yang antar kamu ke apotik?" ulangnya dengan tegas. "Ra-ihan," jawab ragu Naila karena mungkin Raihan akan mendapatkan masalah. Dahi Daffa berkerut. "Siapa Raihan?" "Teman kuliah yang tidak sengaja melihat saya dijambret." Naila sengaja tidak mengatakan Raihan tetangga mereka agar lelaki itu tidak diserang amarah Daffa. Tut ... tut ....Daffa memutus panggilan begitu saja. Naila tidak keberatan sama sekali dengan sikap Daffa yang ini karena sudah terbiasa."Gue harus selidiki orang yang bernama Raihan!" Daffa memutuskan membolos di jam berikutnya untuk mencari orang bernama Raihan di kampus tempat Naila menimba ilmu. Di sisi lain, Raihan sedang mengingat Naila. "Dia gadis yang baik, keluguannya terlihat dalam wajahnya yang cantik, tapi ... memang sangat disayangkan mengapa harus menikah dengan Daffa."
Daffa datang ke toko roti milik Rumi. “Selamat malam, kebetulan kita sedang ada rasa baru,” sambutan karyawan perempuan.“Di sini ada cowok yang namanya Raihan?”“Ada, Raihan itu keponakan Bu Rumi,” jawab gadis ini.“Sekarang ada?”“Ada.”“Panggil,” titah Daffa seolah memerintah bawahan di rumahnya.Gadis ini tidak nyaman, tapi tetap memanggil Raihan. Tidak lama dirinya berlalu, kini gadis ini sudah kembali bersama laki-laki yang dicari Daffa.Raihan dan Daffa saling menatap, kemudian Raihan segera meninggalkan toko roti karena dirasa kedatangan Daffa tidak sebaik niat orang-orang yang datang kesini. “Ada apa kamu mencari saya?”Daffa segera berdecak, “Tidak usah berlaga polos, saya tahu kamu kan yang tadi membawa Naila ke apotek. Jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Naila punya saya dan tidak akan pernah jadi milik kamu!” Peringatan tegas itu segera melayang karena Daffa tidak rela jika Naila didekati laki-laki lain walau tidak ada cinta dalam hatinya.Raihan juga berdeca
Waktu cepat berlalu, tiba jam makan siang Naila kembali berpapasan dengan Raihan yang hendak menuju parkiran. “Eh Naila, mau kemana?” sapa Raihan sesuai porsinya.“Mau ke kantin,” jawab canggung Naila karena walau Daffa tidak di sini, tapi gadis ini tetap ketakutan jika Raihan akan mengalami hal buruk.“Oh, saya duluan.” Lagi, Raihan menghindari Naila walau keinginan di hatinya berkebalikan.Fani dan Ciara baru saja menyusul Naila setelah dari toilet. “Kamu masih di sini Nai, kita kira sudah memesan,” kekeh Fani.“Saya sengaja jalan pelan itung-itung menunggu kalian,” kekeh Naila. Bersama kawan-kawannya, gadis ini bisa melupakan secuil kesedihannya berumah tangga dengan Daffa. Maka, bersama Fani, Ciara dan Alia, Naila bisa menarik garis senyuman ceria. Setibanya Naila di kantin, Raihan memerhatikan. “Saya tidak ada hak ikut campur dalam kehidupan kamu, tapi Daffa memang tidak pantas memiliki kamu.” Tidak lama Raihan melihat gadis itu karena kawan-kawannya segera mengajaknya berlalu da
Daffa tidak membalas, dengan sengaja laki-laki ini mengabaikan chat dari Naila karena dirasa sangat tidak penting. Kini, dirinya sedang bekerja di perusahaan ayahnya. “Kerja-kerja, tapi tidak ada hasilnya!” rutuknya bersama dengusan.Kebetulan Haris mendengarnya karena dirinya sedang berkeliling memeriksa karyawan. “Daffa, ke ruangan papa sekarang,” titahnya dengan suara biasa saja.Daffa segera menghentikan pekerjaan terhormatnya untuk mengikuti langkah kaki ayahnya hingga tiba di ruangan sang pemilik perusahaan. Laki-laki ini duduk di hadapan ayahnya.“Apa maksud kamu kerja tidak ada hasilnya? Memangnya gaji harian kamu tidak cukup untuk hidup bersama Naila,” interograsi kecil Haris.“Jujur saja tidak,” jawab Daffa yang sebenarnya tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk Naila. Selama berumah tangga kedua orang itu hanya mengandalkan amplop dari hasil resepsi. “Papa menggaji kamu tiga ratus ribu sehari, mana mungkin tidak cukup?” heran Haris, “uang itu di luar keperluan kuliah ka
Naila menjawab kalimat kejam Daffa dengan anggukan kecil saat hatinya sendu, kemudian dilupakan begitu saja karena dia pikir menyimpan kepedihan hanya akan menambah beban di hatinya. Pada waktu magrib Naila mengajak suaminya shalat berjamaah dan memintanya menjadi imam karena sejak menikah Daffa belum pernah melakukannya.Namun alih-alih menyetujui ajakan Naila, justru Daffa memikirkan hal wajib suami dan istri. “Berarti menstruasi kamu sudah selesai, kalau begitu layani saya malam ini!" titahnya.“Iya, tapi kita harus shalat dulu sampai isha.”“Ck, shalat saja sendiri. Saya akan shalat sesudah kamu!” tolak Daffa karena dirinya memang tidak ingin memimpin shalat istrinya. Menjadi imam dalam rumah tangga saja sudah sangat memberatkannya, apalagi ditambah dalam urusan beribadah yang sebenarnya bukan kegemarannya bahkan tidak dianggap wajib. Maka, Daffa sering meninggalkannya.Naila tidak bersikukuh memerintah Daffa, baginya asalkan sudah mengingatkan. Jadi, Naila shalat sendiri di dalam