Naila segera berusaha berdiri seiring menahan sakit. Jadi, gadis ini berjinjit kala meraih punggung tangan Daffa untuk dikecup santun. "Saya sudah menggoreng telur dan membuat sayur sop," jawab Naila seiring menatap takut ke arah Daffa karena setiap malam dirinya harus merasakan sakit di sekujur tubuh terlebih kalimat kasar Daffa selalu menjadi musik mengerikan.
"Masa cuma sayur sop sama telur doang. Mama saya saja masakannya sangat enak dan beragam!" protes Daffa seiring menarik tangan kanannya yang masih digenggam Naila.
"Karena saya belum bisa memasak banyak. Maaf," aku Naila seiring memohon pengampunan.
"Ck!" Daffa menjatuhkan dirinya di sofa dengan wajah kecut, kemudian memandangi Naila dari bawah hingga ke atas, "layani saya saja!" tegasnya, kemudian menggendong Naila sampai ke kamar.
Daffa segera melucuti hijab dan semua pakaian Naila hingga tidak tersisa sehelai benang pun. Debaran jantungnya tidak karuan, kemudian pakaiannya juga segera ditanggalkan dan mulai melakukan hubungan suami dan istri penuh gairah.
Usia Daffa saat ini dua puluh dua tahun, sedangkan usia Naila dua puluh satu tahun. Daffa sangat agresif di usia produktifnya ini karena memang di usia ini sulit menahan gejolak nafsu yang ada. Dewa jalang itu selalu menggerogoti sisi warasnya.
Namun, setiap kali melakukannya hanya Daffa yang menikmati, sedangkan Naila selalu merasa tersiksa akibat gerakan kasar Daffa. Naila mendesah, tapi bukan menikmati melainkan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Daffa sampai pada puncaknya, tapi tidak berniat membuat Naila hamil, maka cairan kehidupan itu dibuang begitu saja. Hanya seperti ini hubungan antara mereka, Daffa hanya memanfaatkan kehadiran Naila sebagai pemuas nafsunya.
"Jangan bilang tentang pecahan gelas itu pada orangtua saya, apalagi mengadu pada orangtua kamu kalau kamu tidak mau lukanya tambah parah!" ancaman Daffa seiring mengelus telapak kaki Naila bersama seringai menyeramkan.
"Iya," patuh Naila beserta rasa takut berlebihan.
Daffa meninggalkan Naila yang terbaring lemas di atas ranjang, sedangkan dirinya beremdam dalam bathtub.
Naila tidak segera bangkit akibat rasa sakit, gadis ini hanya merintih seiring berusaha menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal yang dibawa Daffa saat menikah.
Setiap malam, Daffa tidak di rumah karena asik balapan motor dengan kawan-kawannya. Maka, Naila selalu sendiri seiring menunggu kepulangan Daffa yang selalu kembali lewat tengah malam.
Rumah orangtuanya Naila dan orangtuanya Daffa masih di daerah yang sama, tapi semenjak menikah gadis cantik nan mungil ini tidak pernah mengunjungi orangtua maupun mertuanya karena lebih banyak menghabiskan waktu di kampus. Apalagi sekarang kakinya terluka, Naila tidak ingin mereka mengetahuinya.
***
"Nai, kalau pincang begini lebih baik tidak usah kuliah deh," ucap Alia.
Ciara melanjutkan, "Iya, lebih baik kamu istirahat saja di rumah."
"Tidak apa-apa kok, lagian tidak terlalu sakit, saya tidak mau ketinggalan materi." Senyuman menggemaskan Naila.
Fani berkata, "Kalau sakit bilang saja Nai, jangan ditutup-tutupi. Makannya kamu berjalan pincang. Iya pasti karena sakit!"
Naila tersenyum cerah guna menggambarkan bahkan keadaannya baik-baik saja walau hanya kepalsuan. "Serius, saya baik-baik saja kok!"
Ciara, Alia dan Fani mencoba percaya walau ucapan Naila sulit untuk dipercaya. Ketiga gadis ini satu angkatan dan satu jurusan dengan Naila. Maka, mereka menjalin persahabatan. Ciara berkata, "Oh iya, hari ini kakak saya akan kuliah di sini."
"Kamu punya kakak?" heran Alia.
"Punya, tapi tinggal lama di luar kota karena tinggal sama nenek dan sekolah di sana, tapi sekarang kakak saya tinggal di kota ini dan kuliah di sini," riang Ciara.
"Terus, sekarang kakak kamu di mana?" tanya Fani.
"Entahlah, mungkin bangun kesiangan karena tante gagal membangunkannya. Wkwk," terka Ciara yang terdengar seenaknya.
Naila berkata, "Pasti enak punya kakak laki-laki."
"Enak sekali, Kak Raihan sangat melindungi saya. Siapapun yang mengganggu maka kakak yang siap jadi serdadu sekaligus pagar betis," kekeh Ciara.
"Kamu bilang kakak kamu tinggal lama di luar kota!" heran Alia lagi.
"Iya ..., tapi saat SMA dan kuliah beberapa semester saja, sebelumnya iya di rumah, tapi sekarang tinggal di rumah tante. Entahlah kakak saya memang aneh, dia itu hidupnya suka berkelana tidak mau diam di rumah!" Ciara menggendikan bahu tidak peduli.
Naila, Alia dan Fani manggut-manggut menyimak. Keempat gadis ini sedang berada di dalam kelas, menunggu dosen. Ciara melanjutkan ceritanya, "Oh iya, rumah tante saya di daerah rumah kamu. Kamu kenal Tante Rumi kan, pemilik toko roti?" Tatapan gadis ini tertuju pada Naila.
"Iya, tahu. Rumah kita tidak terlalu jauh, terkadang saya juga beli roti di Tante Rumi karena rotinya dadakan dan beragam." Cerita ceria Naila.
"Iya dong ... Tante Rumi ma the best." Bangga Ciara.
Naila mulai mengingat pemuda yang kemarin menanyakan alamat Rumi. "Apa kakak kamu tinggi?"
"Yups. Dia tiang listrik!"
"Apa mungkin yang kemarin ya, soalnya kemarin ada pemuda yang menanyakan alamat rumah Tante Rumi," tutur Naila seiring menerka-nerka.
"Bisa jadi itu Kak Raihan yang matanya memesona dengan tulang alis tegas," kekeh kegelian Ciara.
Fani segera memerotes, "Kamu jangan menyebutkan ciri-ciri seperti itu pada Naila. Mana mungkin Naila memerhatikan laki-laki sedetail itu, kan sudah menikah."
"Oh iya, lupa," kekeh manis Ciara, sedangkan Naila tersenyum hambar. Gadis ini memang sudah menikah, sudah memiliki suami, tetapi hati laki-laki itu tidak menyisakan ruang untuknya, pun hati dirinya sendiri, tidak ada sedikitpun ruangan yang diisi dengan cinta pada lawan jenis karena Daffa bukanlah cintanya.
Dosen tiba, jadi topik pembahasan keempat gadis ini berakhir digantikan dengan memfokuskan diri pada materi.
Setelah materi pertama selesai, Naila bermaksud ke toilet karena meraskan sebuah tetesan tidak asing di celana dalamnya. Namun, karena langkahnya terlalu lamban akibat rasa sakit di telapak kaki. Maka, darah haid segera mengotori celana bahan yang berwarna mocca.
Segera, sebuah jaket melilit di pinggang Naila. "Saya tahu kamu butuh," kekeh Raihan yang juga bermaksud menuju toilet.
Naila mengerjap sering memandangi laki-laki ramah di sisinya. "Tidak usah."
"Tidak apa, pakai saja." Masih ramah nan hangat Raihan, "oh iya, kamu ada teman tidak. Biar saya bantu panggilkan."
"Eu ... teman-teman saya menunggu di kantin. Tidak apa, saya bisa sendiri," jawab Naila disertai senyuman kecil karena malu, periode haidnya ketahuan oleh seorang laki-laki dan mungkin darah haidnya sudah rembes sejak tadi hingga menjadi tontonan warga kampus di sepanjang jalan.
"Eu ...." Raihan menggaruk kepalanya karena bingung, "saya punya adik perempuan dan saya tahu kalian butuh ...." Raihan mengecilkan suaranya, "pembalut. Kamu punya? Kalau tidak, biar saya belikan ke kantin."
Kadar malu Naila semakin bertambah. "Tidak usah, terimakasih."
"Tidak apa, saya belikan ya. Kamu tunggu di sini!" Raihan segera berlari sebelum sempat Naila menolak kebaikannya.
Bersambung ....
#Hi, maaf ya kalau ada typo dan lain sebagainya, tapi semoga nggak bikin kakak" pusing ^^
Aku udah mengusahakan biar tulisannya rapih, tapi mungkin masih ada yang kelewat. Mohon dimengerti ya penulis juga manusia. Tapi di balik kekurangan tulisanku ini, aku masih selalu mencoba menulis lebih baik lagi. Selamat membaca ....
Salam hangat ^^
Setibanya di kantin, Raihan bertemu Ciara. "Siang adik," sapanya dengan senyuman cukup lebar. "Hah, kenapa kakak beli pembalut!" heboh Ciara kala melihat isi kresek Raihan. "Buat cewek yang lagi haid, kasian udah rembes. Kamu juga pernah seperti itu di haid pertama kamu, kakak yang selamatkan. Sekarang kakak mau jadi hero buat cewek itu. Sudah dulu ya, kasihan ceweknya nunggu lama!" Raihan melesat. "Ish, siapa cewek yang dimaksud? Masa iya Kak Raihan langsung punya cewek anak kampus ini, kan ini hari pertama Kak Raihan di sini," bingung Ciara. Fani menghampiri Ciara yang tidak kunjung memesan makanan padahal dirinya dan Alia sudah memilih bangku dan menunggu. "Kok ngelamun sih, kita kan sudah lapar," protes kecilnya lebih banyak mengeluh. "Sorry, tadi ada kakak aku. Kamu lihat tidak?" "Oh, yang barusan?" "Iya, itu kakak aku." "Iya ampun ... tinggi sekali." "Iya, kan sudah aku bilang Kak Raihan tiang listrik," kekeh Ciara. Di sisi lain, Raihan sudah sampai di tempat Naila men
Raihan melewati rumah Naila sekitar pukul delapan malam. Sebelum dirinya bertanya pada para pemuda, para pemuda itu sudah menunjukan rumah Naila terlebih dahulu seiring menayayangkan gadis favorite mereka diambil Daffa, laki-laki yang dianggap tidak pantas bersama si gadis. Raihan mulai mencari informasi tentang Daffa. "Memangnya mengapa Daffa?" "Daffa itu anak motor dan sering membuat masalah di daerah sini, tapi memang sih dia punya solidaritas tinggi, aktif juga dalam karang taruna. Cuma kebanyakan warga terutama kalangan emak-emak tidak menyukainya karena kelakuannya itu." Cerita salah satu pemuda. "Lalu, Naila bagaimana?" lanjut Raihan. "Naila gadis baik, Salihah, dia juga pintar mengaji dan anak teladan. Berprestasi juga. Saya pernah satu SMA sama Naila, dia banyak menjuarai cerdas cermat, tapi sekarang Naila kuliah di universitas yang berbeda dengan saya. Bahkan sama Daffa juga beda." Raihan mendengarkan dengan saksama. "Tapi bagaimanapun Daffa, nyatanya Naila tetap memili
Daffa tidak pergi ke kampusnya, tapi dia kembali ke kampus yang menaungi Naila karena ingin mengetahui reaksi para gadis di sana kala melihatnya. Laki-laki ini menggunakan jaket kulit, celana jeans dan sepatu boots. Daffa tampak sangat keren dan luar biasa. Para gadis di kampus segera menyukainya hingga Daffa menyeringai bangga. "Ternyata benar, ternyata wajah saya tidak familiar di sini artinya Naila tidak mengatakan pernikahan petaka itu." Seringai Daffa semakin sempurna. Naila melihat kehadiran Daffa kala dirinya sedang berada di lantai dua. "Ada apa Daffa kesini, apa mau cari saya?" Sebuah panggilan segera terhubung pada suaminya Namun, Daffa memutusnya. Dahi Naila berkerut, tapi dengan sikap laki-laki ini membuat dirinya tahu jika teman hidupnya tidak sedang mencari. Naila dan ketiga kawannya segera masuk ke dalam kelas sepuluh menit sebelum dimulai, sedangkan Daffa masih berkeliaran di area kampus. Bahkan beberapa gadis memberanikan diri menyapanya. "Eh, Daffa," sapa salah
Acara keluarga sangat hangat, begitupun dengan Daffa yang memakai kedok menyayangi Naila hingga keluarga mereka tidak dapat melihat cacatnya rumah tangga yang masih hitungan hari. Malam harinya setelah isha Heru dan Mia berpamitan, sedangkan Naila ditahan pulang oleh Farida dan Haris. "Menginap di sini ya, lagian di rumah kan cuma berdua saja. Memangnya tidak sepi," kekeh Farida. Haris menggoda anak dan menantunya bersama kekeh, "Mama seperti tidak pernah pengantin baru saja. Justru semakin sepi semakin suka." Naila tersenyum kecil, kemudian Daffa berkata pada kedua orangtuanya, "Malam ini kita akan menginap." Jadi, ini adalah malam pertama Naila tidur di dalam kamar Daffa karena mereka melakukan malam pertama pernikahan di kamarnya Naila, kemudian segera pindah ke dalam rumah pemberian Haris dan Farida. Daffa sibuk sendiri dengan dunianya, sedangkan Naila mulai berbaring di atas tempat tidur besar. "Saya mau tidur duluan, boleh?" Naila meminta izin dengan santun. "Tidur saja,"
"Tadi saya kecopetan, tapi alhamdulillah banyak yang menolong," jelas Naila untuk menjawab pertanyaan Daffa."Bukan itu yang saya tanyakan!" Daffa sedikit membentak, "siapa laki-laki yang antar kamu ke apotik?" ulangnya dengan tegas. "Ra-ihan," jawab ragu Naila karena mungkin Raihan akan mendapatkan masalah. Dahi Daffa berkerut. "Siapa Raihan?" "Teman kuliah yang tidak sengaja melihat saya dijambret." Naila sengaja tidak mengatakan Raihan tetangga mereka agar lelaki itu tidak diserang amarah Daffa. Tut ... tut ....Daffa memutus panggilan begitu saja. Naila tidak keberatan sama sekali dengan sikap Daffa yang ini karena sudah terbiasa."Gue harus selidiki orang yang bernama Raihan!" Daffa memutuskan membolos di jam berikutnya untuk mencari orang bernama Raihan di kampus tempat Naila menimba ilmu. Di sisi lain, Raihan sedang mengingat Naila. "Dia gadis yang baik, keluguannya terlihat dalam wajahnya yang cantik, tapi ... memang sangat disayangkan mengapa harus menikah dengan Daffa."
Daffa datang ke toko roti milik Rumi. “Selamat malam, kebetulan kita sedang ada rasa baru,” sambutan karyawan perempuan.“Di sini ada cowok yang namanya Raihan?”“Ada, Raihan itu keponakan Bu Rumi,” jawab gadis ini.“Sekarang ada?”“Ada.”“Panggil,” titah Daffa seolah memerintah bawahan di rumahnya.Gadis ini tidak nyaman, tapi tetap memanggil Raihan. Tidak lama dirinya berlalu, kini gadis ini sudah kembali bersama laki-laki yang dicari Daffa.Raihan dan Daffa saling menatap, kemudian Raihan segera meninggalkan toko roti karena dirasa kedatangan Daffa tidak sebaik niat orang-orang yang datang kesini. “Ada apa kamu mencari saya?”Daffa segera berdecak, “Tidak usah berlaga polos, saya tahu kamu kan yang tadi membawa Naila ke apotek. Jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Naila punya saya dan tidak akan pernah jadi milik kamu!” Peringatan tegas itu segera melayang karena Daffa tidak rela jika Naila didekati laki-laki lain walau tidak ada cinta dalam hatinya.Raihan juga berdeca
Waktu cepat berlalu, tiba jam makan siang Naila kembali berpapasan dengan Raihan yang hendak menuju parkiran. “Eh Naila, mau kemana?” sapa Raihan sesuai porsinya.“Mau ke kantin,” jawab canggung Naila karena walau Daffa tidak di sini, tapi gadis ini tetap ketakutan jika Raihan akan mengalami hal buruk.“Oh, saya duluan.” Lagi, Raihan menghindari Naila walau keinginan di hatinya berkebalikan.Fani dan Ciara baru saja menyusul Naila setelah dari toilet. “Kamu masih di sini Nai, kita kira sudah memesan,” kekeh Fani.“Saya sengaja jalan pelan itung-itung menunggu kalian,” kekeh Naila. Bersama kawan-kawannya, gadis ini bisa melupakan secuil kesedihannya berumah tangga dengan Daffa. Maka, bersama Fani, Ciara dan Alia, Naila bisa menarik garis senyuman ceria. Setibanya Naila di kantin, Raihan memerhatikan. “Saya tidak ada hak ikut campur dalam kehidupan kamu, tapi Daffa memang tidak pantas memiliki kamu.” Tidak lama Raihan melihat gadis itu karena kawan-kawannya segera mengajaknya berlalu da
Daffa tidak membalas, dengan sengaja laki-laki ini mengabaikan chat dari Naila karena dirasa sangat tidak penting. Kini, dirinya sedang bekerja di perusahaan ayahnya. “Kerja-kerja, tapi tidak ada hasilnya!” rutuknya bersama dengusan.Kebetulan Haris mendengarnya karena dirinya sedang berkeliling memeriksa karyawan. “Daffa, ke ruangan papa sekarang,” titahnya dengan suara biasa saja.Daffa segera menghentikan pekerjaan terhormatnya untuk mengikuti langkah kaki ayahnya hingga tiba di ruangan sang pemilik perusahaan. Laki-laki ini duduk di hadapan ayahnya.“Apa maksud kamu kerja tidak ada hasilnya? Memangnya gaji harian kamu tidak cukup untuk hidup bersama Naila,” interograsi kecil Haris.“Jujur saja tidak,” jawab Daffa yang sebenarnya tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk Naila. Selama berumah tangga kedua orang itu hanya mengandalkan amplop dari hasil resepsi. “Papa menggaji kamu tiga ratus ribu sehari, mana mungkin tidak cukup?” heran Haris, “uang itu di luar keperluan kuliah ka