Husein meletakkan hp, mulai menyantap sup seiring dengan kedatangan Alka dan Amira yang duduk semeja untuk sarapan.Menyusul Inez yang ikut duduk dan menyantap makanan.“Bagaimana perkembangan urusanmu dengan Habiba? Sudah kau ajukan perceraian ke pengadilan?” tanya Amira."Ceraikan Habiba secepatnya! Aku tidak mau kau menunda waktu lagi. Ini bukan hal sulit. Lalu apa yang membuatmu menundanya?" tanya Amira."Kalau kau tidak sanggup melakukannya, biar aku saja yang serahkan urusan ini ke pengacara. Gampang kan?" sahut Alka seolah sedang menghakimi Husein. Inez menjadi penonton, menyaksikan kakak sulungnya yang nyaris seperti terdakwa sedang dihakimi. Namun, di sini Husein tetap terlihat tenang, sedikit pun tidak terlihat resah meski kedua orang tuanya yang terkenal tak bisa dilawan itu tampak mendominasi situasi."Aku sudah bilang, biarkan aku yang urus masalahku. Mama dan papa tidak perlu turin tangan. Ini urusanku. Maka aku yang akan mengatasinya," sahut Husein dengan tenang."Ba
Sebelum pertanyaan di kepalanya terjawab, Husein menyambut uluran tangan wanita bergaun silver yang tiba- tiba menggenggam erat tangannya, minta ditarik keluar. Terpaksa Husein melingkarkan lengannya di kedua ketiak wanita itu, memeluk dan menyeret keluar dari lift. Sepanjang memeluk wanita itu, netranya menatap wajah yang sangat dekat dengannya itu.Sepersekian detik, Husein baru sadar bahwa wanita yang kini dia tarik keluar itu adalah Habiba. Wanita itu terlalu cantik dengan penampilan yang berbeda, membuat Husein nyaris tak mengenalinya. Mereka berguling sebentar di lantai, bertukar pandang sepersekian detik. Setelah itu, tiga security muncul dan langsung memberikan bantuan. Mengeluarkan orang- orang yang ada di dalam lift. Erika dan baby sitter berhasil diselamatkan.Namun naas, salah seorang tak terselamatkan. Katrol lift terlepas dan lift pun meluncur jatuh ke dasar sampai bawah tanah.Bam…Suara hentakan itu sangat keras. Semuanya menjerit.Dalam posisi panik, namun ju
Seketika itu, perasaan gundah dalam benak Habiba memudar. Cukup kata- kata itu saja yang keluar dari mulut Husien, sudah mempu membuat Habiba semangat. Kepalanya lalu mengangguk kecil.Mobil berbelok memasuki halaman luas rumah megah. "Kalian tunggu di sini!" titah Husein pada Erika dan si babay sitter. "Berikan Sakha pada Habiba!"Baby sitter menuruti perintah Tuan Muda. Dia serahkan bayi kecil itu kepada Habiba.Setelah itu, Habiba mengikuti Husein memasuki rumah. Tidak ada rasa takut, gelisah atau pun gentar memasuki rumah yang dia yakini para manusia pembenci itu telah menunggu di dalam.Sosok tegap di sisinya memberikan kekuatan kokoh yang datang begitu saja.Sudah ada Alka dan Amira yang menunggu mereka sempat terbengong melihat sosok wanita yang ada di sisi Husein. Pangling. Hampir tak mengenali, bahkan mengira ada orang asing. Namun mereka langsung ingat bahwa wanita itu adalah Habiba ketika mengawasi dengan cermat. Tatapan yang tadinya bingung, kini berubah menjadi wa
“Cinta?” Urat rahang Alka mengeras. Netranya melirik ke tangan Husein yang menggenggam jemari Habiba.Amira meneteskan air mata. Menangis pilu. “Ini benar- benar gila. Kenapa kau tidak mau mendengarkan perkataan wanita yang melahirkanmu? Kenapa kau malah mendengarkan wanita asing yang bahkan memporak porandakan keluarga kita?”Alka mengusap wajah kasar. Dia kalah telak. Keinginannya untuk memisahkan Husein dan Habiba terhalang oleh satu kata, ‘cinta’.“Baiklah, kau boleh anggap dia sebagai istrimu, tapi tetap dia tidak boleh diperkenalkan ke publik. Biarkan dia selamanya menjadi istri rahasiamu, dan kau jadikan Cindy sebagai istri sebenarnya. Kalau kau mau memperkenalkan wanita sebagai istri, maka perkenalkanlah Cindy sebagai istrimu kepada semua orang. Nikahi dia!” titah Alka.Husein diam memaku. Dia sedang memikirkan kata- kata apa yang tepat untuk menjawab. Kondisinya benar- benar sulit. Pelan, Habiba melepaskan genggaman tangan Husein. Menunduk. Diamnya Husein, men
Husein memasuki kamar, melihat Habiba yang masih terbengong di tengah ruangan. Lemari dalam keadaan terbuka. Isinya kosong.Husein sudah langsung tahu apa yang terjadi."Popo membuang pakaian saya?" tanya Habiba.Husein hanya diam. Dia melangkah mendekati ranjang. Lalu duduk di tepiannya."Lalu boneka- boneka milik saya, popo juga yang buang?" lirih Habiba."Kenapa? Kau marah boneka- boneka jelek itu aku buang?""Jadi benar popo yang buang?""Kalau iya kenapa? Marah?"Muka Habiba berubah masam. Kesal sekali. Itu adalah boneka- boneka kesayangannya."Aku sudah berikan dua boneka untukmu dan kau sisihkan keduanya, kau tidak menyukai boneka pemberianku. Kau anggap boneka pemberianku itu mengganggu karena tidak spesial. Sekarang kau marah boneka- boneka kesayanganmu itu aku buang," tegas Husein."Pikiranmu terlalu negatif. Siapa bilang saya menyisihkan boneka pemberian popo karena tidak menyukainya bahkan menganggap boneka itu sangat menganggu?" kesal Habiba.Husein bangkit berdiri. "Inik
"Puncaknya, Habiba marah saat aku mengaku bahwa aku membuang dan membakar boneka- boneka itu. Dari situ, jelas terlihat bahwa Habiba sangat mencintai Irzan," imbuh Husein. "Sia- sia saja semua yang sudah aku lakukan tapi isi kepala Habiba masih saja terfokus pada Irzan.""Kalau kau mencintainya, kau seharusnya berjuang untuk mengambil hatinya. Bukan malah marah. Perjuanganmu masih panjang.""Kurang panjang bagaimana lagi? Kau pikir perjuanganku baru beberapa hari? Apakah tidak cukup perjuanganku selama ini? Aku sudah lakukan apa saja untuknya, aku mempertahankan dia meski harus bertengkar hebat dengan orang tuaku sendiri, aku bahkan korbankan nyawaku jika saja aku mati di lift saat menyelamatkan Habiba." Husein menggebu- gebu."Sejak awal, aku tahu Habiba memang tidak pernah melihat kelebihanku," sambung Husein. "Ketampananku, kekayaanku, bahkan jabatanku sama sekali tidak tidak menjadi daya tarik baginya. Lalu perjuangan dan pengorbananku juga tidak mengubah segalanya. Dia membenc
Prak.Husein meletakkan kunci ke meja, tepat di hadapan Alka.Amira yang duduk di sisi suaminya, menatap bingung pada kunci yang diletakkan di meja.“Ini kunci mobil. Aku kembalikan. Aku sudah bukan CEO lagi di perusahaan papa. Tidak seharusnya memakai fasilitas Dari papa,” tegas Husein.Alka menatap tajam pada sulungnya. “Kau yakin ingin melepaskan jabatan itu?”“Bukankah itu kemauan papa?”“Sebenarnya kau hanya tinggal memilih, pertahankan jabatanmu itu, atau Habiba? Tapi ternyata kau lebih memilih wanita itu.” Alka geleng- geleng kepala.“Bedakan antara masalah pekerjaan dan masalah pribadi. Papa sudah terlalu jauh memasuki urusan pribadiku.”“Hidupmu bersangkutan dnegan pekerjaan, tentu kau harus diatur supaya pekerjaanmu juga baik.” “Maaf, aku tidak bisa. Dan satu hal yang perlu mama dan papa ketahui, meski aku tidak bisa membuktikan siapa dalang di balik penculikan Habiba, tapi aku meyakini bahwa orang tuaku sendiri yang mendalanginya.”Wajah Alka makin merah padam. Dia bangkit
Habiba pulang membawa setentang plastik berisi barang belanjaan. Disambut oleh baby sitter yang langsung menggendong Sakha ke dalam rumah. Bocah itu memegangi dua boneka pemberian Irzan. Dia ternyata menyukai boneka yang menjadi mainan baru baginya. Menghilang ke ruangan lain.Habiba memasuki ruang tamu, duduk di sofa mengupas apel. Tak lama kemudian, baby sitter muncul kembali.“Non, saya minta obat merah untuk Sakha. Sakha terjatuh dan lututnya terluka sedikit,” ucap baby sitter yang tergopoh menggendong Sakha.Habiba meletakkan pisau dan membawa potongan apel.“Ambil di lemari dekat vas di ruangan sebelah!” titah Habiba kemudian mengambil alih tubuh Sakha dari gendongan baby sitter. “Sakha mau apel? Ayo makan!”Habiba memberikan potongan apel.Sakha mengambil dan langsung memakannya. Habiba mendudukkan tubuh Sakha ke sofa. Bocah itu mengunyah potongan apel. Sesekali matanya menatap ke atas, ke dinding dan ke bajunya sendiri.Ternyata vonis dokter tidak salah. Habiba tidak