Kinar Dewi melongo ditempatnya. Katakan padanya sekali lagi kalau dirinya baru saja dilamar dengan cara yang tidak elegan. Lamaran yang jauh dari kata romantis yang bahkan untuk dirinya seorang penulis tidak pernah menuliskan adegan sesimpel ini. Tapi dirinya mengalami lamaran singkat, jelas dan padat tanpa adanya saksi. Memang boleh seperti itu? Anan Pradipta mengusap wajahnya frustrasi. Mulut dan hatinya tidak sinkron. Tapi demi istrinya, Ivana Wijaya, Anan berharap Kinar menjawab ya tanpa banyak drama di dalamnya.
Lihat lebih banyak“Kamu mau nggak nikah sama saya?”
“Ya!?”
“Sorry ralat, maksudnya kawin kontrak sama saya. Kita pakai jangka waktu yang sudah saya tentukan.”
“Hah?”
“Saya butuh jawaban kamu bukan malah hah-heh saja. Jawab!”
“Gila!”
“Kamu!?”
Ini siapa yang tidak mau bereaksi seperti itu jika secara tiba-tiba diajak kawin, kontrak pula. Kinar Dewi mana pernah membayangkan hidupnya akan menemui ujian seperti ini.
CEO penerbitan di mana buku-buku karyanya dicetak, mungkin ada kesalahan di otaknya sewaktu menyettingnya. Ini pertemuan pertama keduanya dan ada adegan lamaran yang tidak romantis sama sekali. Lamaran romantis yang selalu Kinar tulis di dalam novel-novelnya faktanya tidak terjadi di kehidupan nyatanya. Yang benar saja!
“Saya serius.”
Perkataannya membuat Kinar tertegun. Maksudnya apa, sih? Kinar benar-benar tidak mengerti dengan cara pikir manusia ganteng yang ada di hadapannya saat ini.
“Saya tidak punya pilihan lain selain kamu.”
“Maksud Bapak apa, ya? Saya pilihan terakhir Bapak? Why?”
Kedua bahunya mengedik dengan wajah super datar. Tapi sorot matanya melukiskan sejuta harapan terlebih jawaban dari Kinar.
“Kita kawin kontrak sesuai persetujuan saya. Kamu hanya perlu mengikuti alurnya.”
“Tunggu!” Kinar berteriak meski tidak kencang. “Saya belum memberi jawaban untuk menerima atau pun menolak.”
“Dan saya tidak menerima penolakan!”
Tegas dan lugas. Kinar ingin mengamuk tapi ditahannya. Ini tempat umum dan lagi pula bukan gayanya untuk marah-marah di muka umum. Urat malu Kinar masih berfungsi. Tidak seperti pria yang saat ini tengah menatapnya penuh minat ini. Risih, sih tapi perasaan semakin tertantang justru bangkit tanpa bisa Kinar ketahui apa sebabnya. Sial!
“Saya berhak menerima dan menolak karena ini menyangkut kehidupan saya.” Kinar mencoba bernegosiasi. “Kenapa saya harus menerima Bapak di saat saya bahkan belum pernah bertemu dengan Bapak atau kita mengenal secara personal. Ini aneh.”
“Kita tidak perlu saling mengenal dan kamu tidak perlu khawatir soal hidup kamu. Berapa yang kamu mau?”
Wajah Kinar menunjukkan ekspresi konyol dengan alis menukik ke atas. Pria di hadapannya sungguh aneh. Dan helaan napas Kinar memberat. Perjalanan hidup yang 27 tahun dirinya jalani mendadak menjadi sebuah drama bak di film-film dan novel yang dirinya tulis. Tidak bisa Kinar jelaskan, otaknya macet persis seperti kondisi lalu lintas Kota Bandung di pagi hari.
“Kamu bisa menyebutkan berapa pun nominalnya tapi saya tidak menerima penolakan. Kamu harus menikah dengan saya, kawin kontrak lebih tepatnya.”
Ya, dan kalimat kawin kontrak terus terucap dari bibirnya yang semakin membuat Kinar geram namun tidak ada daya untuk melawannya. Benar-benar dramatis sekali hidup Kinar ini.
“Tujuan Bapak apa?” tanya Kinar pelan. Bahkan kepribadian Kinar yang terlalu mencintai uang saat di tanya berapa nominal yang dirinya mau pun seketika menguap entah ke mana.
“Nanti akan saya jelaskan. Sekarang kamu hanya perlu menerima dan menyebutkan berapa jumlah uang yang kamu mau atau ada sesuatu lain yang kamu mau? Bilang, akan saya turuti asal kamu mau menikah dengan saya.”
“Gila!”
Kedua kalinya dan kepala Kinar menggeleng disertai senyuman penuh ejekan.
“Ya saya gila dan saya tidak punya waktu untuk dibuang sia-sia seperti ini. Jadi apa jawaban kamu?”
“Tidak!” Kinar menolak dengan tegas. “Saya tidak mau menikah dengan Bapak apa lagi kawin kontrak. Setahu saya, Bapak sudah menikah—“
“Saya sudah menikah atau belum, itu bukan urusan kamu. Kamu dilarang keras melibatkan perasaan bahkan kamu dilarang jatuh cinta ke saya.”
“Wah, saya kagum dengan kepercayaan diri Bapak. Tapi maaf, saya tetap menolak. Saya di sini dan duduk di hadapan Bapak hanya sekadar bisnis. Barangkali Bapak salah atau lupa bahwa kontrak yang kita maksud adalah mengenai perjanjian kerja sama kita dan saya menerbitkan buku-buku saya di perusahaan Bapak. Bukan kontrak dalam konsep perkawinan. Permisi.”
“Jika kamu menolak saya ...” Langkah Kinar sempat limbung mendengar vokal si pemilik penerbitan. Terdengar dingin dengan kesan kehampaan. “Saya tarik kembali semua karya kamu dan kamu membayar pinalti yang sudah kita sepakati.”
“Kenapa?” Kinar diserang frustrasi. Rasa panik dan cemas bercampur jadi satu.
“Sudah saya katakan bahwa saya tidak menerima penolakan.”
“Bapak ...”
“Pradipta. Anan Pradipta.”
Kinar sudah sering mendengar nama si pemilik penerbitan namun ini adalah pertemuan pertama keduanya yang berkesan tidak manis sama sekali.
“Bapak Anan Pradipta yang terhormat, ini bukan sesuatu yang bisa Bapak kehendaki sesuka hati—“
“Kenapa tidak bisa jika perusahaan ini adalah milik saya dan saya bebas memiliki apa yang saya mau termasuk kamu.”
“Hidup saya milik saya—“
“Dan saya membeli kamu.”
Kasar sekali tidak, sih?
Kinar terbengong di tempatnya berdiri. Kedua tangannya mendadak tremor padahal ini bukan sesuatu yang rumit. Hanya butuh jawaban ya atau tidak. Dan menolak bukan sesuatu yang bagus untuk Kinar jadikan jalan. Keberlangsungan hidupnya hanya berasal dari menulis dan saat semua kontraknya tercabut, Kinar akan kehilangan sumber penghasilannya.
Kembali duduk adalah satu-satunya cara yang Kinar lalukan. Menyeruput es kopinya yang mulai tidak dingin. Kerongkongan Kinar kering kerontang seolah dirinya sedang berdiri di padang pasir. Dan tatapan sang CEO tidak lepas barang sedetik pun. Terlalu intens dan Kinar mulai membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi antara dirinya dan sang CEO.
Wah, dampak terlalu lama menjomblo membuat Kinar bergairah hanya karena sebuah tatapan. Ayolah otak, tolong kerja samanya.
“Kenapa saya?” tanya Kinar entah kenapa.
“Karena saya mau.” Dan jawaban Anan Pradipta benar-benar di luar nalar. Manusia normal takkan mau memberikan jawaban yang sederhana.
“Kenapa?” ulang Kinar karena memang belum mengerti kenapa harus dirinya di saat sang CEO sudah menikah.
Apakah kehidupan rumah tangganya tidak bahagia?
Tidak mungkin!
Kinar tahu persis desas-desus yang beredar. Sang CEO terlalu mencintai istrinya dan begitu pun sebaliknya. Kalau jawaban ‘karena saya suka’ semua orang juga bisa, ‘kan?
“Kamu berisik!”
“Apa?”
“Kamu harusnya tinggal bilang ya dan semuanya selesai. Kamu tidak perlu tanya ini dan itu yang buang-buang waktu.”
“Kalau begitu, tidak seharusnya Bapak berada di sini dan membeli saya.” Kinar menekankan dengan wajah sinis. “Saya juga bukan barang yang bisa seenaknya Bapak tawar.”
“Saya rasa itu adalah hak saya karena saya mampu. Kinar ...” panggil Anan dengan suaranya yang serak-serak basah. “Apa pun itu kamu harus mau kawin kontrak dengan saya. Saya butuh kamu.”
“Kenapa?”
“Kamu cerewet dan terlalu banyak tanya!” Anan berdecak kesal. Kaum wanita memang dari dulu selalu ribet. Tidak bisa diajak kerja sama guna memangkas waktu.
“Ini menyangkut hidup saya.”
“Dan saya menjamin kehidupan kamu. Ke depannya kamu bahkan tidak perlu khawatir soal keuangan. Segala kebutuhan kamu saya menanggungnya. Bahkan keluarga kamu juga.”
“Tunggu—“
“Saya tidak bisa menunggu lagi. Jawab ya dan semuanya akan selesai detik ini juga. Saya berjanji dan menjamin semuanya.”
Kinar diam. Otaknya kosong seakan membeku mendengar jawaban Anan. Tawaran yang Anan ajukan sungguh menggiurkan. Tidak ada wanita yang tidak terlena. Tapi untuk Kinar yang keras kepala, menjadi sangat mandiri sudah sejak dulu dirinya lakukan. Dan menjalani kawin kontrak terlebih menjadi istri kedua bukan hal yang Kinar bayangkan.
“Bisa tidak, sih Bapak jangan membuat hidup saya sulit? Saya sudah sangat kesulitan dalam berbagai hal bukan hanya ekonomi. Ada banyak beban dan tanggung jawab yang harus saya pikul. Dan lagi pula, Bapak konyol.”
“Bagian mana yang konyol?”
“Bapak sudah menikah, kenapa masih harus—“
“Itu bukan urusan kamu!”
“Ini hidup saya!” Kinar terengah-engah.
“Oke ini hidup kamu. Menikah dengan saya dan kamu masih bisa menikmati kehidupan kamu yang sesungguhnya.”
Ya Tuhan!
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen