Kinar tidak tahu—kurang memahami—antara nikah siri dan kawin kontrak. Hanya sekadar secara garis besarnya saja. Nikah siri adalah di mana pernikahan tersebut sah secara agama namun tidak tercatat secara negara. Sedangkan kawin kontrak adalah pernikahan terikat waktu yang mana ada tenggang waktunya. Dan dari yang pernah Kinar temui, beberapa pasangan pernah melakukan perkawinan kontrak entah atas dasar alasan apa.
Yang sedang Kinar alami saat ini adalah buntu. Sepulangnya bertemu dengan CEO di mana buku barunya harus sudah selesai penandatangan guna segera terbit, nyatanya ngadat lantaran perilaku si pemilik.
Tidak banyak yang bisa Kinar lakukan selain diam di pojok kamar kostnya dan merenung. Helaan napasnya memberat. Kepalanya penuh dan rasa sakit menghampiri seketika. Kedua mata Kinar juga memberat namun enggan diajak terpejam.
“Saya akan menjamin kehidupan kamu. Kalau kamu setuju, kita tanda tangani perjanjian yang sudah saya tentukan.”
Ucapan Anan Pradipta terus terngiang di telinganya dan kepala Kinar semakin tercengkeram oleh rasa sakit. Orang kaya memang sebebas itu dalam bertindak. Terkesan arogan dan seenak jidat. Uang yang mereka miliki bisa melakukan apa saja dan membeli apa yang mereka mau. Termasuk kehidupan orang lain.
“Uang? Kamu tidak perlu khawatir. Kamu cuma perlu kawin kontrak sama saya, melayani saya dan menyambut di hari-hari tertentu buat kita ketemu. Kamu bahkan tidak perlu tinggal di kost kamu lagi.”
Bukankah sudah jelas jika selama ini Kinar diintai?
Hoih, membayangkannya saja sudah membuat Kinar merinding. Terlebih kata 'melayani' di sini membuat otak Kinar berjalan ke mana-mana. Kinar nggak bodoh kok. Paham juga ke mana arahnya. Dan kalau itu benar terjadi, bukan hal mustahil untuk Kinar melakukan tugasnya sebagai istri meskipun hanya kawin kontrak.
“Istri saya suka kamu.”
Ada binaran bahagia yang Anan pancarkan dari wajahnya kala melibatkan istrinya dan Kinar semakin tidak mengerti dengan cara pikir kedua pasangan ini. Prik banget nggak, sih?
“Dia mau kamu jadi Adiknya dalam ikatan perkawinan.”
Asli, Kinar masih merekam dengan jelas senyum yang Anan tunjukkan kepada dirinya. Tapi kenapa harus dirinya di antara banyaknya wanita? Kenapa harus Kinar yang biasa-biasa saja dan bukan siapa-siapa padahal istrinya bisa mencari wanita yang lebih mumpuni.
Kinar juga ingin menikah. Ingin punya kehidupan yang isinya cerita bersama pasangan. Tapi kalau konsepnya adalah kawin kontrak ... lidah Kinar kelu. Itu bukan bagian dari tujuan hidupnya bukan juga kemauannya. Sayangnya itu kehendak Tuhan.
Sekali lagi Kinar menghela napasnya. Bokongnya yang duduk di pinggiran ranjang mulai Kinar ajak berpindah tempat. Terlalu banyak berpikir, perut Kinar demo karena kelaparan. Sialnya lagi, tadi saat bertemu dengan Anan, Kinar tidak sempat memesan makanan mau pun memakan apa yang ada di dalam kafe.
Fokus Kinar sepenuhnya tersita pada tawaran kawin kontrak yang Anan ajukan. Dan lagi, nominal serta jaminan kehidupannya, Kinar mulai tergiur. Tapi otaknya masih waras atau lebih tepatnya tidak. Kinar enggan menjalani hidup yang dramatis bak isi dalam novel-novel karyanya. Kinar ingin menikah dengan sah dan di jalur yang benar. Kinar juga ingin hidup dan menjadi bagian dari cerita bersama orang yang dirinya mau.
Menerima tawaran Anan sama saja dengan dirinya menjual diri tidak, sih?
Menggelengkan kepala, Kinar segera duduk di lantai kamar kostnya. Siang hari suasana lingkungan kostnya terbilang sepi. Di samping semua penghuni adalah karyawan, aktivitas lainnya selalu ramai di malam hari. Kawasan Bandung dekat alun-alun selalu ramai saat menjelang sore.
Kinar buka karet pembungkus nasi padangnya. Ini adalah sarapan dan makan siangnya, rapel. Menimang tawaran dari Anan sungguh menguras energinya. Padahal jawabannya cuma ya atau tidak yang sayangnya merugikan bagi Kinar. Maju kena, mundur kena.
Sesuap demi suap nasi yang masuk ke dalam mulut Kinar dan berakhir di perutnya tidak mengalihkan pikirannya dari tawaran Anan. Sekarang Kinar mempertimbangkan dengan matang. Perihal untung dan ruginya serta perjalanan ke depannya.
Katakanlah Kinar serakah, namun kebutuhan untuk keberlangsungan hidupnya juga perlu dipikirkan. Jika dengan menerima Anan membuat kehidupannya lebih baik lagi, itu bukan suatu kesalahan, ‘kan?
Anggaplah Kinar hanya mujur saja diajak kawin dengan pengusaha tajir. Tidak peduli dengan penilaian orang lain. Toh kita hidup untuk diri sendiri. Walau secara global ada pandangan orang yang menilai perihal tindak-tanduk kita. Namun siapa yang tidak akan tergiur? Kinar tidak memungkiri jika ingin menggantungkan hidupnya pada Anan. Walau hanya sebagai istri siri—katakanlah begitu—pastilah ada banyak keuntungan yang akan Kinar tuai untuk masa depannya. Bisa saja karier menulis Kinar kian cemerlang. Siapa yang tahu, ‘kan tentang nasib seseorang.
Lain halnya dengan Anan yang sudah duduk nyaman di kursi kebesarannya. Beberapa potret foto yang di kirim oleh Teguh—asisten kepercayaannya menyita seluruh waktunya. Siang hari yang terik adalah suatu kondisi yang langka dialami di Bandung.
Anan menggeser satu per satu foto Kinar. Cantik, Anan mengakui itu dan manis meski sikapnya bar-bar. Senyum semili Anan terbit mengingat beberapa potongan obrolan bersama Kinar beberapa jam yang lalu. Baru kali ini Anan harus pusing kepala dalam mengambil tindakan demi istrinya. Dan hanya Kinar yang terang-terangan menolak tawarannya.
“Kamu bisa siapkan satu unit apartemen untuk saya?”
Teguh bengong sebentar lalu mengangguk dan mencatat keinginan atasannya di buku notes yang selalu di bawanya. Lelaki jangkung dengan tinggi 175 dan rambut hitam legamnya yang klimis adalah karyawan Anan sejak dua tahun yang lalu.
“Bapak butuh tipe atau asal mewah?”
“Mewah.”
Teguh segera mencari di laman properti kepercayaannya. Ada banyak pilihan di dalamnya yang langsung Teguh sodorkan tabletnya kepada Anan.
“Yang ini aksesnya lebih dekat untuk ke mana saja, Pak.” Sekadar usul saja dari Teguh. “Tapi—“
“Kinar … bagaimana menurut kamu?”
“Ya?” Teguh terkejut dan menggaruk lehernya salah tingkah. “Bu Ivana sangat menyukai Ibu Kinar itu berarti dia pilihan yang paling cocok untuk Bapak.”
Anan mengangguk dan mengusap dagunya.
Ivana Wijaya memang unik. Ada saat di mana Anan menyesali takdir Tuhan yang sudah mempertemukan dirinya dengan Ivana bahkan harus terikat dalam kehidupan rumah tangga. Sayangnya keinginan hati bukan manusia yang bisa mengendalikan. Saat campur tangan Tuhan sudah terjun mengambil alih, Anan bisa apa?
“Saya yang terlalu serakah atau Ivana yang kurang bersyukur?”
Teguh kikuk sendiri mendengar omongan atasannya. Ini bukan kasus baru yang sedang dialami Anan dan istrinya. Karyawan lama yang sudah bekerja di bawah naungan Anan juga tahu masalah apa yang sedang dihadapi keluarganya. Intinya Teguh tidak bisa berkata apa-apa selain menjadi pendengar yang baik.
“Saya suka yang ini.” Anan kembalikan tablet kepada Teguh setelah memberi tahu apartemen mana yang Anan mau. “Urus secepatnya.”
Teguh angguki dan hengkang dari ruangan Anan. Helaan napasnya melonggar. Ini bukan masalah Teguh tapi kepalanya ikut sakit memikirkannya.
“Berat juga hidup orang kaya itu.”
Andai Teguh adalah Ivana, maka yang akan Teguh lakukan adalah menikmati apa yang sudah dijadikan keputusan oleh suaminya. Sayangnya kesempurnaan seorang wanita bukan dinilai dari kepatuhannya semata.
Pagi-pagi buta sebelum matahari menyapa bumi Pasundan, Kinar dipaksa membuka kelopak matanya. Melirik jam di nakas samping ranjangnya, pukul enam lebih sedikit. Artinya Kinar baru terlelap sekitar tiga jam. Malam adalah waktu paling aktif bagi Kinar untuk membelai setiap naskah di dalam laptopnya. Dan ketukan di pintu kamar kostnya amatlah mengganggu.“Siapa?” Kinar berteriak lalu menenggak minuman dinginnya langsung dari botol.Berjalan gentoyoran menuju arah pintu dan membukanya. Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilat kian mengerutkan dahi dan mata Kinar . Seingatnya Kinar tidak punya janji temu dengan siapa pun. Kinar juga tidak ada niatan untuk keluar dari kostnya. Jadi ini siapa, ya?“Cari siapa, ya?” tanya Kinar dengan kepala celingak-celinguk melihat kondisi sekitar.Masih sepi. Beberapa penghuni kost masih ada yang terlelap. Tidak semua pekerja di sini akan masuk di jam yang sama. Tergantung dari kebijakan perusahaan masing-masing.“Bu Kinar?”Kedua alis Kinar mengerut s
Seharian fokus Anan terpecah. Berbagai masalah yang silih berganti berebut di dalam pikirannya mencari celah untuk bisa mengambil alih atensinya. Tidak ada yang bisa Anan lakukan selain diam dan memendamnya. Mendebat dirinya sendiri atau lebih parahnya mendebat Ivana bukan jalan terbaik. Ivana tetaplah Ivana dengan cara dan jalannya sendiri. Siapa Anan hingga bisa merubahnya saat cinta yang Anan berikan saja dianggap sepele?Senyum Anan kecut. Menertawai dirinya sendiri yang menyesal telah melangkah sejauh ini bersama Ivana. Andai tidak dipertemukan dengan Ivana tidak akan ada kerumitan dalam hidupnya. Andai tidak menikah dengan Ivana tidak akan ada kawin kontrak bersama wanita yang tidak Anan kenal.Nalar Ivana lain daripada yang lain sehingga Anan harus rela menanggungnya.“Pak?”Panggilan dari arah belakang tubuhnya menyeret Anan dari lamunnya. Kelopak mata Anan berkedip setelah sekian menit menatapi lampu kerlap-kerlip di Kota Bandung.“Apartemen yang Bapak minta sudah siap.” Teg
Apa aku harus peduli?Begitu gerutuan dalam benak Kinar. Sampai keluar dari gedung di mana Anan berada, kedongkolan itu masih merajai hatinya. Tidak hanya itu, aduan Anan perihal istrinya yang mandul seolah-olah menjadi jerat agar Kinar luluh dan menerima kawin kontrak ini.Benar-benar nggak berotak!Kinar mendengkus lantaran kesal. Perasaannya campur aduk dan tak bisa dijabarkan dengan mudah. Mengingat dirinya yang sulit untuk berekspresi, perihal marah pun Kinar hanya bisa diam.Sial!Sengatan panas hadir dikedua matanya tanpa izin. Sudah lama sejak kedua orang tuanya meninggal dan Kinar selalu memendam keinginan untuk menangis itu seorang diri.Tapi sore ini, saat matahari belum sepenuhnya beradu di ufuk barat dan jalanan Kota Bandung macet total, Kinar ingin menangis hingga tersedu-sedu. Ingin meratapi nasib hidupnya yang tak seberuntung anak-anak lainnya. Yang hidup mewah dalam naungan orang tua dengan ekonomi yang tercukupi. Mereka tidak harus bersusah payah bekerja karena f
Anan langsung duduk tanpa dipersilakan. Membuat Kinar bengong ditempat. Maksudnya ini kostnya, Anan itu bak tamu tak diundang. Ujug-ujug masuk dan duduk dengan santai. Dengan kesal, Kinar tutup pintunya. Tidak enak sama penghuni kost lain. Walaupun kost bebas, Kinar sungkan."Kamu tidak mau duduk?" Anan keluarkan ponsel dari sakunya. "Mau makan?" Anan perlihatkan aplikasi yang sedang dibukanya. "Duduk, kebetulan saya belum makan.""Memangnya saya bertanya?" Hanya deheman yang Anan jawabkan. "Bapak keluar deh, pulang saja!""Kenapa? Tempat saya di sini, anggaplah saya sedang belajar menyesuaikan diri ditempat tinggal kamu.""Bapak gabut, ya? Maksudnya Bapak punya rumah, punya istri untuk apa ke tempat saya?""Kamu juga calon istri saya. Gimana? Mau pesan sesuatu?"Anan terpaksa berdiri dari duduknya dan menarik tangan Kinar untuk duduk di sampingnya."Benar, saya tidak tahu arti cinta yang sesungguhnya. Saya tidak tahu apa itu cinta. Benar, di mata orang lain saya ini sempurna. Saya k
Tahu BulatUjungnya masih di situ-situ saja. Sekitar pernikahan bak tahu bulat digoreng lima ratusan. Orang kaya ketika mengajak nikah seperti membeli permen recehan di warung: dua ribu dapat tiga.Kinar mendengkus saking kesalnya. Anan ganteng-ganteng budek! Di suruh menikahi wanita lain yang diuber-uber malah dirinya. Mau bilang bosan kok mubadzir. Entar Kinar disangka tidak bersyukur di kasih yang cakep. Tapi asli bikin empet!"Bapak mendingan besok periksa deh." Anggukan yang Kinar terima sebagai jawaban dari perkataannya. "Tidak bertanya untuk apa gitu, Pak?""Asal itu kamu, saya tidak keberatan.""Gendeng!"Anan santai seperti di pantai. Ganyem ayam krispinya dengan kunyahan keras-keras. Kress kress gitu seperti sedang memotong sesuatu."Saya tuh keberatan, Pak dan jawaban saya tidak pernah berubah.""Saya siap menunggu.""Makanya saya minta Bapak periksa ke THT. Ada masalah dengan pendengaran Bapak sepertinya.""Yang saya dengar cuma suara kamu. Dijamin, dokternya tidak bakal n
"Kinar, Kinar! Kamu tinggal ngomong tidak mau menikah saja sulit sekali! Asal kamu tahu, menikah tidak semudah kamu menang lotre.”Jika semudah itu, sudah pasti Kinar akan ngomong tanpa ada hambatan. Kinar sudah menolak halus-halus saja kena pepet apa lagi menolak secara blak-blakan. Anan tidak marah dan memperkosa Kinar ditempat saja sudah syukur."Aku sudah ngomong," jawaban Kinar sejak sejam yang lalu tetap seperti itu. Membuat Ima dongkol setengah mati. "Baru kali ini aku menemui pasangan gila. Istrinya minta suaminya menikah lagi dan disetujui tanpa ada penolakan sama sekali. Gendeng!”Ima seruput es kopinya. Sudah gelas kedua dan solusi untuk masalah Kinar belum ketemu. Jalannya buntu, seolah-olah memang harus menikah dengan pria beristri itu."Sepertinya dia memang jodoh kamu." Ima terlanjur kesal. Daripada di pendam lebih baik dikeluarkan. “Dan kamu tidak punya pilihan.”"Pasti ada.""Iya, menikah dengannya. Aku yakin, hidup kamu terjamin dan entah kenapa aku merasa dia bukan
Setiap harinya dalam hidup Kinar, tidak ada kata santai. Setiap detik yang berharga akan Kinar pergunakan sebaik mungkin dalam merangkai tiap kata menjadi kalimat di atas keyboard laptopnya. Sadar jika hanya menulis sebagai sumber penghasilannya, maka Kinar benar-benar mencurahkan hidupnya untuk berkarya.Itu tidak mudah walau terlihat sepele. Beberapa temannya sering menganggap remeh pekerjaan yang Kinar lakoni karena sebagian orang hanya memanfaatkanya sebagai hobi. Ada juga yang melontarkan kalimat-kalimat pedas bahwa seperti: percuma kuliah kalau ujungnya cuma jadi penulis. Percuma prestasi dibidang akademik oke tapi kerja cuma nyusun kalimat doang. Beruntungnya tidak sampai kalimat beban keluarga dikeluarkan. Walaupun yatim piatu, membawa serta orang tua ke dalam ranah pergaulan merupakan tindakan yang tak bisa Kinar toleransi. Itu orang lain bukan Kinar yang betul-betul serius menekuninya. Dan apa pun pendapat mereka, Kinar tidak mau ambil pusing. Kinar hanya membalas dengan
Ivana kesal. Anan sejak semalam terlihat abai kepadanya. Sudah berbagai cara Ivana lakukan agar Anan mau bersikap seperti biasanya. Tapi entah apa yang sedang terjadi pada suaminya itu, sejak pulang dari kantornya, Anan lebih asik menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Seharusnya Anan memberitahu Ivana jika ada masalah. Bukankah suami dan istri harus saling membicarakan apa-apa saja masalah yang sedang dihadapinya?"Mau ikut?" Ivana suntuk dan Anan masih betah dengan laptop di hadapannya. "Aku mau clubbing.""Tidak. Pekerjaan aku masih banyak." Anan hanya melempar senyum dan kembali pada layar laptopnya. Benar-benar mengabaikan Ivana."Oke, jangan telat makan. Aku sudah siapkan makanan buat kamu." Dan hanya anggukan yang Ivana dapati sebagai respons.Terserah sajalah maunya Anan bagaimana. Ivana tidak mau ambil pusing, lebih baik dirinya bersenang-senang."Di mana?" Telepon diseberang sana diangkat pada deringan ketiga. "Aku tunggu di sana."Ivana masukkan ponselnya ke dalam tas dan me