Pagi-pagi buta sebelum matahari menyapa bumi Pasundan, Kinar dipaksa membuka kelopak matanya. Melirik jam di nakas samping ranjangnya, pukul enam lebih sedikit. Artinya Kinar baru terlelap sekitar tiga jam. Malam adalah waktu paling aktif bagi Kinar untuk membelai setiap naskah di dalam laptopnya. Dan ketukan di pintu kamar kostnya amatlah mengganggu.
“Siapa?” Kinar berteriak lalu menenggak minuman dinginnya langsung dari botol.
Berjalan gentoyoran menuju arah pintu dan membukanya. Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilat kian mengerutkan dahi dan mata Kinar . Seingatnya Kinar tidak punya janji temu dengan siapa pun. Kinar juga tidak ada niatan untuk keluar dari kostnya. Jadi ini siapa, ya?
“Cari siapa, ya?” tanya Kinar dengan kepala celingak-celinguk melihat kondisi sekitar.
Masih sepi. Beberapa penghuni kost masih ada yang terlelap. Tidak semua pekerja di sini akan masuk di jam yang sama. Tergantung dari kebijakan perusahaan masing-masing.
“Bu Kinar?”
Kedua alis Kinar mengerut sekali lagi mendengar namanya disebut. Entah itu jenis sapaan atau panggilan yang jelas Kinar tidak tahu siapa lelaki dihadapannya kini.
“Saya Teguh,” katanya memperkenalkan diri. Kinar mengangguk dan berdiri dengan lebih relaks. “Ada titipan dari Ibu Ivana Wijaya.”
Wah ... Kinar terkejut mendengar nama yang tidak asing sama sekali itu. Siapa, sih yang tidak kenal Ivana Wijaya?
Semua orang juga tahu wanita cantik ini istri dari Anan. Nah, yang jadi pertanyaan Kinar sekali lagi adalah: titipan apa yang diberikan untuk Kinar di pagi buta ini?
“Maaf mengganggu waktu istirahat Ibu Kinar.” Teguh masih berdiri di ambang pintu kost Kinar namun beberapa orang mulai masuk dan membawa barang-barang dalam paper bag yang entah apa isinya.
“Mohon diterima. Itu amanat dari Ibu Ivana yang harus Ibu Kinar terima.”
“Kenapa ... Saya?”
Kinar bingung saat semua barang-barang itu memenuhi lantai kostnya. Sudah sempit ditambah dengan barang-barang tersebut, makin penuh sesak kost Kinar. Lagi pula, pertanyaan yang Kinar ajukan sungguh tidak berguna. Karen ajika sudah menyangkut konglomerat tersebut, tidak ada waktu untuk menolak. Jadi sudah tentu jawabannya jelas dan bisa disimpulkan sendiri.
“Saya kurang yakin tapi Ibu Ivana menyukai Ibu Kinar.”
“Ya?” Terdengar sangat ambigu tapi begitulah orang kaya saat berbicara. Mengatakan apa yang disukainya dan membuang yang menurutnya tidak berguna lagi. Kinar amat berharap menjadi barang yang tidak berguna dan dicampakkan—andai itu bisa.
Teguh mengangguk dengan senyum lebarnya. Jawabannya sama dengan yang diberikan oleh Anan. Pasangan suami istri itu kompak sekali membuat orang lain kebingungan.
“Dan ini.” Teguh berikan rantang putih berlukiskan bunga-bunga andalan orang zaman dulu. Yang warnanya merah merakah sekilas nampak seperti mawar namun beda orang akan memberikan jawaban yang berbeda perihal jenis bunganya. “Buat sarapan Ibu Kinar, masakan Ibu Ivana sendiri.”
“Buat saya?” Kinar menuding dirinya sendiri karena merasa ini aneh. Kinar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Dan mungkin ...” Teguh menjeda, menimang apakah perlu dirinya sampaikan atau biarkan saja menjadi urusan para atasannya. “Selamat menikmati.”
Teguh hengkang dari sana. Undur diri sebelum Kinar memberikan persetujuannya. Wajahnya bengong dengan mata menyapu satu per satu paperbag dilantai kostnya.
Kira-kira Kinar bodoh tidak, ya menolak ajakan Anan untuk kawin kontrak?
Anan loh ini yang banyak jadi incaran para wanita di luar sana. Sering juga Kinar dengar keinginan para wanita itu untuk menjadi madunya, simpanannnya, selingkuhannya atau bahkan bisa melakukan one night stand bersama Anan.
Ajib! Gila parah tapi memang pesona Anan tiada duanya. Bak aktor dalam drama-drama korea. Tampan dan mapan.
Tapi ya kenapa harus dirinya yang disatroni oleh kedua pasangan aneh ini, sih?
“Aku pikir cuma mimpi.” Kinar menggerutu dengan tangan yang menutup pintu kamar kostnya dan kaki yang diseret menuju ke dalam kamarnya.
Sebelum itu, helaan napasnya kembali memberat. Kedua matanya memandangi seluruh paper bag yang ada dilantai. Ada keinginan untuk membuka semuanya. Juga isi dalam rantang yang diberikan Teguh kepadanya.
“Sudahlah!”
Hanya ada dalam benak Kinar saja. Faktanya, tubuhnya kembali bersatu dengan kasur dan selimut. Satu tangannya Kinar tumpukan pada wajahnya. Mencoba mengusir segala pikiran yang mengusik isi kepalanya. Berharap ini hanya mimpi atau salah satu tokoh dalam novelnya yang mendadak nasibnya berubah.
Berbeda dengan pagi hari milik Anan. Tidak biasanya bangun pagi mood Anan langsung hancur. Selama ini, segala tingkah laku sang istri akan Anan biarkan saja. Anan memaklumi saking cintanya kepada Ivana. Pengecualian untuk hari ini.
“Kenapa?” Ivana masih berani bertanya di sela-sela aktivitas mengancingkan kemeja Anan. “Wajah kamu kalau masam begitu tidak enak untuk di pandang.”
“Kamu keterlaluan!”
“Aku ngapain memangnya?” Ivana beralih merapikan kerah kemeja Anan dan tersenyum setelah dasi pilihannya terpasang dengan rapi. “Aku buatkan kamu lontong sayur. Ada sayap dan paha juga.”
“Mulai!”
“Kamu ngomel?”
“Suka-suka aku!”
Anan tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Ivana. Menyerah sudah bukan sikap bijaksana yang harus Anan lakukan. Cara Ivana mengartikan perasaan cinta yang Anan miliki pun salah. Melabeli Anan sebagai budak cinta yang akut sudah tidak bukan levelnya. Pokoknya Ivana membuat Anan sebagai pria yang tidak punya harga diri sama sekali.
“Aku bilang aku baik-baik saja.” Anan tarik napasnya dalam-dalam. “Kamu sadar tidak kalau cara kamu itu salah?”
“Tidak! Aku tahu tindakan aku benar. Aku juga tahu tindakan aku untuk kebaikan kita berdua. Kamu kenapa suka banget ngomel, sih?”
Tatapan Anan berubah sayu. Tidak ada hasrat untuk membalas tindakan Ivana. Seharusnya sejak dulu kala saat menjadikan Ivana Wijaya sebagai pilihan Anan sudah sadar kalau wanita yang berdiri dihadapannya ini tidak bisa dikalahkan begitu saja. A akan selalu menjadi A. Tidak akan pernah berubah menjadi B atau C.
“Terserah.”
Kedua tungkai Anan terangkat menuju pintu keluar kamarnya. Namun pergerakan Ivana tak kalah gesitnya. Memeluk Anan dari belakang, membelitkan kedua tangannya di perut berotot Anan dan wajahnya menempel di punggung Anan. Ivana taburkan kecupan-kecupan kecil di sana. Letak kelemahan seorang Anan sedang Ivana serang habis-habisan dan Anan tahu tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain diam. Menikmati apa yang tengah dilakukan sang istri.
“Kali ini aku ngaku salah,” ucap Ivana lirih dan wajahnya semakin menempel di punggung Anan. “Aku sadar aku terlalu egois dengan minta ini itu ke kamu bahkan hal-hal konyol sekali pun. Tapi aku nggak punya pilihan lain selain lakuin ini. Dan ngelihat Kinar , aku kayak ngelihat diri aku sendiri. Aku ngerasa dia cerminan aku selama ini. Please ...”
Anan yang lemah dan payah.
Satu tangannya mengepal kuat. Menahan amarah dan berharap ini hanya mimpi. Setiap harinya saat kedua matanya terbuka, hanya itu harapan Anan. Sayangnya itu mustahil.
“Aku kirimin Kinar beberapa baju dan barang yang mungkin dia butuhin. Aku juga membawakan dia sarapan masakan aku. Menurut kamu dia bakalan suka tidak?”
Anan tetap diam. Hatinya serasa kebas bahkan saat Ivana dengan santai mengusap dadanya. Tidak ada perasaan khusus yang mengalir seperti biasanya.
“Aku bawakan paha dan sayap. Di antara keduanya aku tidak tahu Kinar suka yang mana. Itu kesukaan kamu semua jadi aku pikir dia harus belajar menyukai apa yang kamu sukai.”
“Terserah.”
Anan lepaskan pelukan Ivana dan berjalan keluar. Tanpa menoleh, tanpa ada kecupan sayang, dan tidak ada pamitan mesra. Anan sudah muak dengan tindakan Ivana yang sesuka hati bahkan saat menyatroni kost Kinar tanpa izin darinya.
Seharian fokus Anan terpecah. Berbagai masalah yang silih berganti berebut di dalam pikirannya mencari celah untuk bisa mengambil alih atensinya. Tidak ada yang bisa Anan lakukan selain diam dan memendamnya. Mendebat dirinya sendiri atau lebih parahnya mendebat Ivana bukan jalan terbaik. Ivana tetaplah Ivana dengan cara dan jalannya sendiri. Siapa Anan hingga bisa merubahnya saat cinta yang Anan berikan saja dianggap sepele?Senyum Anan kecut. Menertawai dirinya sendiri yang menyesal telah melangkah sejauh ini bersama Ivana. Andai tidak dipertemukan dengan Ivana tidak akan ada kerumitan dalam hidupnya. Andai tidak menikah dengan Ivana tidak akan ada kawin kontrak bersama wanita yang tidak Anan kenal.Nalar Ivana lain daripada yang lain sehingga Anan harus rela menanggungnya.“Pak?”Panggilan dari arah belakang tubuhnya menyeret Anan dari lamunnya. Kelopak mata Anan berkedip setelah sekian menit menatapi lampu kerlap-kerlip di Kota Bandung.“Apartemen yang Bapak minta sudah siap.” Teg
Apa aku harus peduli?Begitu gerutuan dalam benak Kinar. Sampai keluar dari gedung di mana Anan berada, kedongkolan itu masih merajai hatinya. Tidak hanya itu, aduan Anan perihal istrinya yang mandul seolah-olah menjadi jerat agar Kinar luluh dan menerima kawin kontrak ini.Benar-benar nggak berotak!Kinar mendengkus lantaran kesal. Perasaannya campur aduk dan tak bisa dijabarkan dengan mudah. Mengingat dirinya yang sulit untuk berekspresi, perihal marah pun Kinar hanya bisa diam.Sial!Sengatan panas hadir dikedua matanya tanpa izin. Sudah lama sejak kedua orang tuanya meninggal dan Kinar selalu memendam keinginan untuk menangis itu seorang diri.Tapi sore ini, saat matahari belum sepenuhnya beradu di ufuk barat dan jalanan Kota Bandung macet total, Kinar ingin menangis hingga tersedu-sedu. Ingin meratapi nasib hidupnya yang tak seberuntung anak-anak lainnya. Yang hidup mewah dalam naungan orang tua dengan ekonomi yang tercukupi. Mereka tidak harus bersusah payah bekerja karena f
Anan langsung duduk tanpa dipersilakan. Membuat Kinar bengong ditempat. Maksudnya ini kostnya, Anan itu bak tamu tak diundang. Ujug-ujug masuk dan duduk dengan santai. Dengan kesal, Kinar tutup pintunya. Tidak enak sama penghuni kost lain. Walaupun kost bebas, Kinar sungkan."Kamu tidak mau duduk?" Anan keluarkan ponsel dari sakunya. "Mau makan?" Anan perlihatkan aplikasi yang sedang dibukanya. "Duduk, kebetulan saya belum makan.""Memangnya saya bertanya?" Hanya deheman yang Anan jawabkan. "Bapak keluar deh, pulang saja!""Kenapa? Tempat saya di sini, anggaplah saya sedang belajar menyesuaikan diri ditempat tinggal kamu.""Bapak gabut, ya? Maksudnya Bapak punya rumah, punya istri untuk apa ke tempat saya?""Kamu juga calon istri saya. Gimana? Mau pesan sesuatu?"Anan terpaksa berdiri dari duduknya dan menarik tangan Kinar untuk duduk di sampingnya."Benar, saya tidak tahu arti cinta yang sesungguhnya. Saya tidak tahu apa itu cinta. Benar, di mata orang lain saya ini sempurna. Saya k
Tahu BulatUjungnya masih di situ-situ saja. Sekitar pernikahan bak tahu bulat digoreng lima ratusan. Orang kaya ketika mengajak nikah seperti membeli permen recehan di warung: dua ribu dapat tiga.Kinar mendengkus saking kesalnya. Anan ganteng-ganteng budek! Di suruh menikahi wanita lain yang diuber-uber malah dirinya. Mau bilang bosan kok mubadzir. Entar Kinar disangka tidak bersyukur di kasih yang cakep. Tapi asli bikin empet!"Bapak mendingan besok periksa deh." Anggukan yang Kinar terima sebagai jawaban dari perkataannya. "Tidak bertanya untuk apa gitu, Pak?""Asal itu kamu, saya tidak keberatan.""Gendeng!"Anan santai seperti di pantai. Ganyem ayam krispinya dengan kunyahan keras-keras. Kress kress gitu seperti sedang memotong sesuatu."Saya tuh keberatan, Pak dan jawaban saya tidak pernah berubah.""Saya siap menunggu.""Makanya saya minta Bapak periksa ke THT. Ada masalah dengan pendengaran Bapak sepertinya.""Yang saya dengar cuma suara kamu. Dijamin, dokternya tidak bakal n
"Kinar, Kinar! Kamu tinggal ngomong tidak mau menikah saja sulit sekali! Asal kamu tahu, menikah tidak semudah kamu menang lotre.”Jika semudah itu, sudah pasti Kinar akan ngomong tanpa ada hambatan. Kinar sudah menolak halus-halus saja kena pepet apa lagi menolak secara blak-blakan. Anan tidak marah dan memperkosa Kinar ditempat saja sudah syukur."Aku sudah ngomong," jawaban Kinar sejak sejam yang lalu tetap seperti itu. Membuat Ima dongkol setengah mati. "Baru kali ini aku menemui pasangan gila. Istrinya minta suaminya menikah lagi dan disetujui tanpa ada penolakan sama sekali. Gendeng!”Ima seruput es kopinya. Sudah gelas kedua dan solusi untuk masalah Kinar belum ketemu. Jalannya buntu, seolah-olah memang harus menikah dengan pria beristri itu."Sepertinya dia memang jodoh kamu." Ima terlanjur kesal. Daripada di pendam lebih baik dikeluarkan. “Dan kamu tidak punya pilihan.”"Pasti ada.""Iya, menikah dengannya. Aku yakin, hidup kamu terjamin dan entah kenapa aku merasa dia bukan
Setiap harinya dalam hidup Kinar, tidak ada kata santai. Setiap detik yang berharga akan Kinar pergunakan sebaik mungkin dalam merangkai tiap kata menjadi kalimat di atas keyboard laptopnya. Sadar jika hanya menulis sebagai sumber penghasilannya, maka Kinar benar-benar mencurahkan hidupnya untuk berkarya.Itu tidak mudah walau terlihat sepele. Beberapa temannya sering menganggap remeh pekerjaan yang Kinar lakoni karena sebagian orang hanya memanfaatkanya sebagai hobi. Ada juga yang melontarkan kalimat-kalimat pedas bahwa seperti: percuma kuliah kalau ujungnya cuma jadi penulis. Percuma prestasi dibidang akademik oke tapi kerja cuma nyusun kalimat doang. Beruntungnya tidak sampai kalimat beban keluarga dikeluarkan. Walaupun yatim piatu, membawa serta orang tua ke dalam ranah pergaulan merupakan tindakan yang tak bisa Kinar toleransi. Itu orang lain bukan Kinar yang betul-betul serius menekuninya. Dan apa pun pendapat mereka, Kinar tidak mau ambil pusing. Kinar hanya membalas dengan
Ivana kesal. Anan sejak semalam terlihat abai kepadanya. Sudah berbagai cara Ivana lakukan agar Anan mau bersikap seperti biasanya. Tapi entah apa yang sedang terjadi pada suaminya itu, sejak pulang dari kantornya, Anan lebih asik menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Seharusnya Anan memberitahu Ivana jika ada masalah. Bukankah suami dan istri harus saling membicarakan apa-apa saja masalah yang sedang dihadapinya?"Mau ikut?" Ivana suntuk dan Anan masih betah dengan laptop di hadapannya. "Aku mau clubbing.""Tidak. Pekerjaan aku masih banyak." Anan hanya melempar senyum dan kembali pada layar laptopnya. Benar-benar mengabaikan Ivana."Oke, jangan telat makan. Aku sudah siapkan makanan buat kamu." Dan hanya anggukan yang Ivana dapati sebagai respons.Terserah sajalah maunya Anan bagaimana. Ivana tidak mau ambil pusing, lebih baik dirinya bersenang-senang."Di mana?" Telepon diseberang sana diangkat pada deringan ketiga. "Aku tunggu di sana."Ivana masukkan ponselnya ke dalam tas dan me
Sarapan pagi itu benar-benar terjadi. Tanpa undangan, Anan datang ke kost Kinar di pukul enam pagi. Saat semua orang belum terbangun dari mimpinya dan bahkan jalanan Bandung masih sedikit lengang. Anan dengan rambut klimis dengan kemeja serta celananya kerjanya telah rapi. Wangi dari tubuhnya menguar. Saat berjalan meninggalkan jejak maskulin yang seandainya banyak wanita di lorong kost menuju kamar Kinar akan membuat para wanita itu berteriak heboh.“Really?” Kinar terkejut meski tidak sepenuhnya. Dari sini Kinar mengenal sosok Anan Pradipta secara dekat bahwa pria ini tidak bisa diberi janji. Lihat saja bagaimana ucapan Kinar yang semalam memberi dampak untuk Anan berdiri di hadapannya dengan cengiran. “Aku tidak menyangka.” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut Kinar.“Aku menunggu hingga sulit terlelap. Lihat!” Langkah Kinar dihentikan secara paksa dan kedua bahunya diregup untuk menghadap ke tubuh Anan. “Lingkaran hitam di bawah mataku terlihat dengan jelas—““Dan maksud