Apa aku harus peduli?
Begitu gerutuan dalam benak Kinar. Sampai keluar dari gedung di mana Anan berada, kedongkolan itu masih merajai hatinya. Tidak hanya itu, aduan Anan perihal istrinya yang mandul seolah-olah menjadi jerat agar Kinar luluh dan menerima kawin kontrak ini.
Benar-benar nggak berotak!
Kinar mendengkus lantaran kesal. Perasaannya campur aduk dan tak bisa dijabarkan dengan mudah. Mengingat dirinya yang sulit untuk berekspresi, perihal marah pun Kinar hanya bisa diam.
Sial!
Sengatan panas hadir dikedua matanya tanpa izin. Sudah lama sejak kedua orang tuanya meninggal dan Kinar selalu memendam keinginan untuk menangis itu seorang diri.
Tapi sore ini, saat matahari belum sepenuhnya beradu di ufuk barat dan jalanan Kota Bandung macet total, Kinar ingin menangis hingga tersedu-sedu. Ingin meratapi nasib hidupnya yang tak seberuntung anak-anak lainnya. Yang hidup mewah dalam naungan orang tua dengan ekonomi yang tercukupi. Mereka tidak harus bersusah payah bekerja karena fasilitas yang diinginkannya tersedia dalam sekedip mata.
Terdengar lucu, ya karena terkesan Kinar nggak mensyukuri hidupnya. Padahal tanpa dilahirkan dari keluarga berduwit pun Kinar bisa memenuhi semua kebutuhannya seorang diri. Penghasilannya dari menulis tidak tanggung-tanggung. Jadi seharusnya tidak ada alasan bagi Kinar untuk iri kepada mereka yang hidup di bawah naungan orang tuanya.
Ah, aku merasa tertekan!
Kinar turun dari metro. Penghentian terakhir di Alun-alun Bandung dan suasana yang ramai padahal bukan akhir pekan. Sedikit banyak mengalihkan kesedihan Kinar. Liquid bening yang hendak menetes pun tertahan. Tungkainya segera berjalan menuju jajaran pedagang kaki lima dan duduk di bangku keramik kosong yang ada di sana.
“Yakin satu?” tanya pedangan es krim contong memastikan. “Tumben jam segini masih ngeluyur? Biasanya juga bertelur di kost.”
Kinar terima es krim pesanannya dan memakannya rakus. Menara es krim yang tinggi tersisa setengah. Arif—si pedagang—hanya geleng-geleng kepala. Tidak lagi heran dengan tingkah Kinar.
“Lagi.” Kinar sodorkan tangannya meminta pesanannya.
“Sabar atuh. Baru juga ngomong masa kudu langsung jadi. Kan aing bukan goblin yang bisa main sihir.”
Cuma di sini Kinar bisa menghibur dirinya. Di antara kerumunan banyak orang, kesedihan dan kebimbangan yang membelenggunya akan luruh. Tidak seketika hilang namun bisa sedikit meringankan bebannya.
Kinar sedih tapi tidak mau menunjukkan kesedihannya. Kinar bingung namun tidak ingin ling-lung. Kinar butuh sandaran tapi teringat jika dirinya seorang diri. Jadi hanya embusan napasnya yang berkali-kali terhela.
“Mang?” panggil Kinar saat Arif sibuk menghitung berapa jumlah pendapatan hari ini. “Misalnya Mamang di paksa kawin lagi sama istri Mamang dengan alasan mandul. Mamang mau?”
“Istri saya nggak mandul. Kan Mamang sudah ada 3 anak di rumah. Ferhan, Faidz sama Faza. Ngapain kawin lagi?”
“Misalnya Mamang!”
Salahnya Kinar juga menanyakan hal sepenting ini kepada Arif. Pria berusia 35 tahun itu doyannya ndagel alias nganggap segala sesuatunya lucu. Serius tapi santai atau santai tapi serius. Pokoknya begitulah.
“Ini kembali ke masing-masing orangnya gimana. Mandul juga nggak selamanya mandul. Ada yang setelah beberapa tahun menikah di vonis mandul eh di tahun ke 20 pernikahannya bisa hamil. Ada yang benar-benar mandul dan milih adopsi anak. Memutuskan menikah lagi atau nyuruh suami nikah lagi juga mesti konsisten. Jangan asal nyuruh tapi ujungnya berakhir tragis. Dunia pernikahan bagi saya yang sudah 16 tahun menikah itu kejam. Nggak enak tapi kudu kita jalani dan enak pun wajib kita syukuri.”
Dalam hidup nggak ada yang kemudahan. Menginginkan apa yang kita mau harus ada perjuangan dalam meraihnya.
Kinar manggut-manggut mengerti. Jawaban Arif bisa dirinya jadikan pertimbangan namun masih ada gundah di hatinya.
“Mau nikah?”
“Iya—eh maksudnya tidak. Itu teman mau nikah tapi bingung.”
“Benar. Sebelum nikah memang wajib bingung dulu. Kudu memikirkan betul-betul. Jangan sembarangan menerima dengan dalih cinta dan bahagia. Bukan mustahil kalau ujung dari sebuah kehidupan adalah kebahagiaan. Tapi kita realistis. Nggak ada yang gampang kayak kita balikin tangan.”
Es krim contong Kinar meleleh mengenai telapak tangannya. Sensasi dinginnya mengulas senyum di bibir Kinar.
“Aku pulang ya, Mang.”
Kinar tinggalkan uang 50 ribuan di samping kotak es krim dan berlalu tanpa menghiraukan panggilan Arif. Kinar lambaikan tangannya santai.
Entah benar, entah tidak girangnya Kinar kali ini. Belum ada ketentuan yang bisa diambilnya. Lain halnya dengan Teguh yang masih tertahan di kantor bersama atasannya. Anan bukan sembarang orang yang dengan mudah melepaskan seseorang ketika keinginannya tidak terwujud.
“Tidak ada di kostnya, kamu yakin?”
Itu pertanyaan yang diajukan kepada Teguh lebih dari tiga kali. Bayangkan wahai para betina. Bukankah itu artinya Anantarius sedang berbunga-bunga alias jatuh cinta?
Apa hubungannya? Kan wajar saja melontarkan tanya seperti itu. Anggaplah sebuah kekhawatiran. Lalu siapa Kinar baginya sampai harus khawatir?
Benar, siapa?
“Saya yakin, Pak.” Teguh embuskan napasnya. Tidak sopan kalau mau mendengkus di hadapan atasannya.
“Kamu tahu dia di mana?” Teguh langsung menggeleng. “Kamu bagaimana, sih!? Memberi informasi tidak jelas sama sekali. Kan saya mintanya sejelas-jelasnya, Teguh. Artinya sampai ke mana dia pergi dan di mana dia biasa menghabiskan waktu kamu harus tahu dong. Bukan setengah-setengah seperti ini!”
“Kenapa bukan Bapak saja yang mencari. Eh maaf, maksud saya—“
“Kamu memerintah saya? Kamu berani?”
Teguh jadi manusia serba salah padahal nggak mau ada di tengah-tengah kisah mereka bertiga. Hubungan percintaan memang selalu rumit.
“Saya mau ke apartemen.”
Kesunyian yang melingkupi ruangan Anan mendadak semakin mencekam.
“Yang biasa atau yang baru, Pak?”
“Yang baru—eh tapi tidak, deh!”
Teguh elus dadanya terang-terangan.
“Kamu boleh pulang!”
“Bapak bagaimana?”
“Saya bisa pulang sendiri.”
Lebih daripada itu, Anan tidak ingin pulang. Anan tidak ingin bertegur sapa dengan Ivana dan mengikuti kerumitan yang istrinya buat. Dan di antara semua masalah yang telah tercipta, Anan ingin sekali mengucapkan kata talak agar bisa terbebas dari Ivana.
Sudah cukup Anan menjadi bodoh untuk mencintai Ivana. Anan bukan anjing yang diberi tali kekang sehingga dengan sesuka hati bisa di jerat kencang-kencang.
Pada dasarnya Anan hanyalah seorang pria normal yang ingin kehidupan rumah tangganya berjalan tanpa kerikil tajam. Sayangnya mustahil, bukan?
Tekad Anan sudah bulat.
Entahlah, keyakinan itu muncul secara mendadak dan tenggelam bak jalanan yang tergenang banjir. Tapi jika tidak Anan turuti kemauannya akan ada sesal yang hadir.
Anan ingin tetap bersama Ivana tapi Kinar lebih membuatnya tergoda. Dan di perjumpaan awal dengan Kinar, Anan tahu ada sesuatu lain yang hidup dengan letupan tak terduga. Sesuatu yang terbangun tanpa sebuah sentuhan dan Anan tahu dirinya sudah sangat murahan di awal pertemuannya dengan Kinar.
Tapi siapa yang bisa menyangka?
Benar kata orang kalau jatuh cinta bukan tindak kekerasan. Sekarang Anan mengalaminya sendiri.
Anan ketuk pintu kamar kost Kinar dikala sudah yakin dengan keputusannya. Pikir belakangan soal Kinar yang menolak.
"Ya Tuhan!"
Kinar kentara frustrasi. Anan memberikannya cengiran.
"Apa kabar?"
Bodoh! Pertanyaan macam apa itu?
"Sialan!"
"Ya. Saya kangen kamu."
Jujur tanpa tedeng aling-aling.
"Dasar tidak waras!"
"Tapi saya benar-benar serius ingin bersama kamu.”
"Kamu tahu apa artinya cinta?"
Anan diam. Berdiri mematung bak kerbau dicucuk. Kinar berdecih.
"Orang kaya seperti kamu tahu apa tentang cinta, selain duwit dan saham!?"
Agaknya Anan merasa tersinggung dengan ucapan Kinar. Tapi diam menjadi tindakan yang dirinya tempuh. Nanti jika sudah tepat waktunya akan Anan katakan yang sebenarnya apa arti cinta di matanya.
Anan langsung duduk tanpa dipersilakan. Membuat Kinar bengong ditempat. Maksudnya ini kostnya, Anan itu bak tamu tak diundang. Ujug-ujug masuk dan duduk dengan santai. Dengan kesal, Kinar tutup pintunya. Tidak enak sama penghuni kost lain. Walaupun kost bebas, Kinar sungkan."Kamu tidak mau duduk?" Anan keluarkan ponsel dari sakunya. "Mau makan?" Anan perlihatkan aplikasi yang sedang dibukanya. "Duduk, kebetulan saya belum makan.""Memangnya saya bertanya?" Hanya deheman yang Anan jawabkan. "Bapak keluar deh, pulang saja!""Kenapa? Tempat saya di sini, anggaplah saya sedang belajar menyesuaikan diri ditempat tinggal kamu.""Bapak gabut, ya? Maksudnya Bapak punya rumah, punya istri untuk apa ke tempat saya?""Kamu juga calon istri saya. Gimana? Mau pesan sesuatu?"Anan terpaksa berdiri dari duduknya dan menarik tangan Kinar untuk duduk di sampingnya."Benar, saya tidak tahu arti cinta yang sesungguhnya. Saya tidak tahu apa itu cinta. Benar, di mata orang lain saya ini sempurna. Saya k
Tahu BulatUjungnya masih di situ-situ saja. Sekitar pernikahan bak tahu bulat digoreng lima ratusan. Orang kaya ketika mengajak nikah seperti membeli permen recehan di warung: dua ribu dapat tiga.Kinar mendengkus saking kesalnya. Anan ganteng-ganteng budek! Di suruh menikahi wanita lain yang diuber-uber malah dirinya. Mau bilang bosan kok mubadzir. Entar Kinar disangka tidak bersyukur di kasih yang cakep. Tapi asli bikin empet!"Bapak mendingan besok periksa deh." Anggukan yang Kinar terima sebagai jawaban dari perkataannya. "Tidak bertanya untuk apa gitu, Pak?""Asal itu kamu, saya tidak keberatan.""Gendeng!"Anan santai seperti di pantai. Ganyem ayam krispinya dengan kunyahan keras-keras. Kress kress gitu seperti sedang memotong sesuatu."Saya tuh keberatan, Pak dan jawaban saya tidak pernah berubah.""Saya siap menunggu.""Makanya saya minta Bapak periksa ke THT. Ada masalah dengan pendengaran Bapak sepertinya.""Yang saya dengar cuma suara kamu. Dijamin, dokternya tidak bakal n
"Kinar, Kinar! Kamu tinggal ngomong tidak mau menikah saja sulit sekali! Asal kamu tahu, menikah tidak semudah kamu menang lotre.”Jika semudah itu, sudah pasti Kinar akan ngomong tanpa ada hambatan. Kinar sudah menolak halus-halus saja kena pepet apa lagi menolak secara blak-blakan. Anan tidak marah dan memperkosa Kinar ditempat saja sudah syukur."Aku sudah ngomong," jawaban Kinar sejak sejam yang lalu tetap seperti itu. Membuat Ima dongkol setengah mati. "Baru kali ini aku menemui pasangan gila. Istrinya minta suaminya menikah lagi dan disetujui tanpa ada penolakan sama sekali. Gendeng!”Ima seruput es kopinya. Sudah gelas kedua dan solusi untuk masalah Kinar belum ketemu. Jalannya buntu, seolah-olah memang harus menikah dengan pria beristri itu."Sepertinya dia memang jodoh kamu." Ima terlanjur kesal. Daripada di pendam lebih baik dikeluarkan. “Dan kamu tidak punya pilihan.”"Pasti ada.""Iya, menikah dengannya. Aku yakin, hidup kamu terjamin dan entah kenapa aku merasa dia bukan
Setiap harinya dalam hidup Kinar, tidak ada kata santai. Setiap detik yang berharga akan Kinar pergunakan sebaik mungkin dalam merangkai tiap kata menjadi kalimat di atas keyboard laptopnya. Sadar jika hanya menulis sebagai sumber penghasilannya, maka Kinar benar-benar mencurahkan hidupnya untuk berkarya.Itu tidak mudah walau terlihat sepele. Beberapa temannya sering menganggap remeh pekerjaan yang Kinar lakoni karena sebagian orang hanya memanfaatkanya sebagai hobi. Ada juga yang melontarkan kalimat-kalimat pedas bahwa seperti: percuma kuliah kalau ujungnya cuma jadi penulis. Percuma prestasi dibidang akademik oke tapi kerja cuma nyusun kalimat doang. Beruntungnya tidak sampai kalimat beban keluarga dikeluarkan. Walaupun yatim piatu, membawa serta orang tua ke dalam ranah pergaulan merupakan tindakan yang tak bisa Kinar toleransi. Itu orang lain bukan Kinar yang betul-betul serius menekuninya. Dan apa pun pendapat mereka, Kinar tidak mau ambil pusing. Kinar hanya membalas dengan
Ivana kesal. Anan sejak semalam terlihat abai kepadanya. Sudah berbagai cara Ivana lakukan agar Anan mau bersikap seperti biasanya. Tapi entah apa yang sedang terjadi pada suaminya itu, sejak pulang dari kantornya, Anan lebih asik menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Seharusnya Anan memberitahu Ivana jika ada masalah. Bukankah suami dan istri harus saling membicarakan apa-apa saja masalah yang sedang dihadapinya?"Mau ikut?" Ivana suntuk dan Anan masih betah dengan laptop di hadapannya. "Aku mau clubbing.""Tidak. Pekerjaan aku masih banyak." Anan hanya melempar senyum dan kembali pada layar laptopnya. Benar-benar mengabaikan Ivana."Oke, jangan telat makan. Aku sudah siapkan makanan buat kamu." Dan hanya anggukan yang Ivana dapati sebagai respons.Terserah sajalah maunya Anan bagaimana. Ivana tidak mau ambil pusing, lebih baik dirinya bersenang-senang."Di mana?" Telepon diseberang sana diangkat pada deringan ketiga. "Aku tunggu di sana."Ivana masukkan ponselnya ke dalam tas dan me
Sarapan pagi itu benar-benar terjadi. Tanpa undangan, Anan datang ke kost Kinar di pukul enam pagi. Saat semua orang belum terbangun dari mimpinya dan bahkan jalanan Bandung masih sedikit lengang. Anan dengan rambut klimis dengan kemeja serta celananya kerjanya telah rapi. Wangi dari tubuhnya menguar. Saat berjalan meninggalkan jejak maskulin yang seandainya banyak wanita di lorong kost menuju kamar Kinar akan membuat para wanita itu berteriak heboh.“Really?” Kinar terkejut meski tidak sepenuhnya. Dari sini Kinar mengenal sosok Anan Pradipta secara dekat bahwa pria ini tidak bisa diberi janji. Lihat saja bagaimana ucapan Kinar yang semalam memberi dampak untuk Anan berdiri di hadapannya dengan cengiran. “Aku tidak menyangka.” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut Kinar.“Aku menunggu hingga sulit terlelap. Lihat!” Langkah Kinar dihentikan secara paksa dan kedua bahunya diregup untuk menghadap ke tubuh Anan. “Lingkaran hitam di bawah mataku terlihat dengan jelas—““Dan maksud
Ivana Wijaya ingat saat dirinya kembali dari pesta bersama teman-temannya di jam tiga subuh. Masih ada tubuh Anan Pradipta—suaminya—yang berada di sisinya. Memberi Ivana selimut sesaat setelah tubuhnya yang mabuk berat bersatu dengan kasur empuknya. Yang Ivana lakukan hanyalah bergumam tidak jelas dengan senyuman yang terselip. Anan tidak banyak bersuara apa lagi menggerutu seperti yang biasanya pria itu lakukan. Kali ini, yang Anan lakukan cukup cekatan dengan mencopot sepatu Ivana lalu menyelimuti tubuh istrinya. Itu saja Ivana merasa berhalusinasi untuk kemudian terlelap bersama mimpi-mimpinya di alam bawah sadarnya.Dan saat terbangun. Matahari sudah meninggi. Cahayanya menembus sela-sela gorden tipis yang tidak sepenuhnya tersibak. Silau, itu saja kesan pertama yang Ivana dapati sebagai reaksi. Kemudian menghela napasnya dan berusaha mendudukkan tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Tangan kanan Ivana memegang kepalanya yang pusing. Rasa pengar akibat alkohol menyerang tanpa ampu
Banyu Himawan tidak akan menjadi manusia munafik namun juga tidak mau berpusing ria perihal dosa. Pikirnya, biarkan Tuhan yang menilainya. Manusia yang sama-sama makan nasi dan masih memiliki napsu seperti dirinya, tidak perlu berkomentar panjang lebar. Banyu mencintai apa yang ada di dalam dirinya dan menikmati setiap perjalanan dari proses kehidupannya. Yang saat ini sedang terjadi, maka biarkan saja seperti itu. Banyu tidak ingin merubah apa lagi menghentikan takdir yang sedang dilakoninya.“Sudah aku kirim ke rekening kamu, ya.”Ucapan Ivana Wijaya usai kegiatan panas keduanya di siang hari yang lumayan panas mengembangkan senyum di bibir Banyu. Lagi pula siapa yang tidak akan bahagia mendapat nominal uang berjuta-juta tanpa perlu menunggu gaji dari tempatnya bekerja turun.“Makasih, Sayang.” Banyu peluk Ivana dari belakang. Sebentar kemudian melepaskannya. “Kamu yang paling mengerti aku.” Itu adalah kalimat yang biasa Banyu katakan kepada setiap wanita yang selalu memberikannya p