Tahu BulatUjungnya masih di situ-situ saja. Sekitar pernikahan bak tahu bulat digoreng lima ratusan. Orang kaya ketika mengajak nikah seperti membeli permen recehan di warung: dua ribu dapat tiga.Kinar mendengkus saking kesalnya. Anan ganteng-ganteng budek! Di suruh menikahi wanita lain yang diuber-uber malah dirinya. Mau bilang bosan kok mubadzir. Entar Kinar disangka tidak bersyukur di kasih yang cakep. Tapi asli bikin empet!"Bapak mendingan besok periksa deh." Anggukan yang Kinar terima sebagai jawaban dari perkataannya. "Tidak bertanya untuk apa gitu, Pak?""Asal itu kamu, saya tidak keberatan.""Gendeng!"Anan santai seperti di pantai. Ganyem ayam krispinya dengan kunyahan keras-keras. Kress kress gitu seperti sedang memotong sesuatu."Saya tuh keberatan, Pak dan jawaban saya tidak pernah berubah.""Saya siap menunggu.""Makanya saya minta Bapak periksa ke THT. Ada masalah dengan pendengaran Bapak sepertinya.""Yang saya dengar cuma suara kamu. Dijamin, dokternya tidak bakal n
"Kinar, Kinar! Kamu tinggal ngomong tidak mau menikah saja sulit sekali! Asal kamu tahu, menikah tidak semudah kamu menang lotre.”Jika semudah itu, sudah pasti Kinar akan ngomong tanpa ada hambatan. Kinar sudah menolak halus-halus saja kena pepet apa lagi menolak secara blak-blakan. Anan tidak marah dan memperkosa Kinar ditempat saja sudah syukur."Aku sudah ngomong," jawaban Kinar sejak sejam yang lalu tetap seperti itu. Membuat Ima dongkol setengah mati. "Baru kali ini aku menemui pasangan gila. Istrinya minta suaminya menikah lagi dan disetujui tanpa ada penolakan sama sekali. Gendeng!”Ima seruput es kopinya. Sudah gelas kedua dan solusi untuk masalah Kinar belum ketemu. Jalannya buntu, seolah-olah memang harus menikah dengan pria beristri itu."Sepertinya dia memang jodoh kamu." Ima terlanjur kesal. Daripada di pendam lebih baik dikeluarkan. “Dan kamu tidak punya pilihan.”"Pasti ada.""Iya, menikah dengannya. Aku yakin, hidup kamu terjamin dan entah kenapa aku merasa dia bukan
Setiap harinya dalam hidup Kinar, tidak ada kata santai. Setiap detik yang berharga akan Kinar pergunakan sebaik mungkin dalam merangkai tiap kata menjadi kalimat di atas keyboard laptopnya. Sadar jika hanya menulis sebagai sumber penghasilannya, maka Kinar benar-benar mencurahkan hidupnya untuk berkarya.Itu tidak mudah walau terlihat sepele. Beberapa temannya sering menganggap remeh pekerjaan yang Kinar lakoni karena sebagian orang hanya memanfaatkanya sebagai hobi. Ada juga yang melontarkan kalimat-kalimat pedas bahwa seperti: percuma kuliah kalau ujungnya cuma jadi penulis. Percuma prestasi dibidang akademik oke tapi kerja cuma nyusun kalimat doang. Beruntungnya tidak sampai kalimat beban keluarga dikeluarkan. Walaupun yatim piatu, membawa serta orang tua ke dalam ranah pergaulan merupakan tindakan yang tak bisa Kinar toleransi. Itu orang lain bukan Kinar yang betul-betul serius menekuninya. Dan apa pun pendapat mereka, Kinar tidak mau ambil pusing. Kinar hanya membalas dengan
Ivana kesal. Anan sejak semalam terlihat abai kepadanya. Sudah berbagai cara Ivana lakukan agar Anan mau bersikap seperti biasanya. Tapi entah apa yang sedang terjadi pada suaminya itu, sejak pulang dari kantornya, Anan lebih asik menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Seharusnya Anan memberitahu Ivana jika ada masalah. Bukankah suami dan istri harus saling membicarakan apa-apa saja masalah yang sedang dihadapinya?"Mau ikut?" Ivana suntuk dan Anan masih betah dengan laptop di hadapannya. "Aku mau clubbing.""Tidak. Pekerjaan aku masih banyak." Anan hanya melempar senyum dan kembali pada layar laptopnya. Benar-benar mengabaikan Ivana."Oke, jangan telat makan. Aku sudah siapkan makanan buat kamu." Dan hanya anggukan yang Ivana dapati sebagai respons.Terserah sajalah maunya Anan bagaimana. Ivana tidak mau ambil pusing, lebih baik dirinya bersenang-senang."Di mana?" Telepon diseberang sana diangkat pada deringan ketiga. "Aku tunggu di sana."Ivana masukkan ponselnya ke dalam tas dan me
Sarapan pagi itu benar-benar terjadi. Tanpa undangan, Anan datang ke kost Kinar di pukul enam pagi. Saat semua orang belum terbangun dari mimpinya dan bahkan jalanan Bandung masih sedikit lengang. Anan dengan rambut klimis dengan kemeja serta celananya kerjanya telah rapi. Wangi dari tubuhnya menguar. Saat berjalan meninggalkan jejak maskulin yang seandainya banyak wanita di lorong kost menuju kamar Kinar akan membuat para wanita itu berteriak heboh.“Really?” Kinar terkejut meski tidak sepenuhnya. Dari sini Kinar mengenal sosok Anan Pradipta secara dekat bahwa pria ini tidak bisa diberi janji. Lihat saja bagaimana ucapan Kinar yang semalam memberi dampak untuk Anan berdiri di hadapannya dengan cengiran. “Aku tidak menyangka.” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut Kinar.“Aku menunggu hingga sulit terlelap. Lihat!” Langkah Kinar dihentikan secara paksa dan kedua bahunya diregup untuk menghadap ke tubuh Anan. “Lingkaran hitam di bawah mataku terlihat dengan jelas—““Dan maksud
Ivana Wijaya ingat saat dirinya kembali dari pesta bersama teman-temannya di jam tiga subuh. Masih ada tubuh Anan Pradipta—suaminya—yang berada di sisinya. Memberi Ivana selimut sesaat setelah tubuhnya yang mabuk berat bersatu dengan kasur empuknya. Yang Ivana lakukan hanyalah bergumam tidak jelas dengan senyuman yang terselip. Anan tidak banyak bersuara apa lagi menggerutu seperti yang biasanya pria itu lakukan. Kali ini, yang Anan lakukan cukup cekatan dengan mencopot sepatu Ivana lalu menyelimuti tubuh istrinya. Itu saja Ivana merasa berhalusinasi untuk kemudian terlelap bersama mimpi-mimpinya di alam bawah sadarnya.Dan saat terbangun. Matahari sudah meninggi. Cahayanya menembus sela-sela gorden tipis yang tidak sepenuhnya tersibak. Silau, itu saja kesan pertama yang Ivana dapati sebagai reaksi. Kemudian menghela napasnya dan berusaha mendudukkan tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Tangan kanan Ivana memegang kepalanya yang pusing. Rasa pengar akibat alkohol menyerang tanpa ampu
Banyu Himawan tidak akan menjadi manusia munafik namun juga tidak mau berpusing ria perihal dosa. Pikirnya, biarkan Tuhan yang menilainya. Manusia yang sama-sama makan nasi dan masih memiliki napsu seperti dirinya, tidak perlu berkomentar panjang lebar. Banyu mencintai apa yang ada di dalam dirinya dan menikmati setiap perjalanan dari proses kehidupannya. Yang saat ini sedang terjadi, maka biarkan saja seperti itu. Banyu tidak ingin merubah apa lagi menghentikan takdir yang sedang dilakoninya.“Sudah aku kirim ke rekening kamu, ya.”Ucapan Ivana Wijaya usai kegiatan panas keduanya di siang hari yang lumayan panas mengembangkan senyum di bibir Banyu. Lagi pula siapa yang tidak akan bahagia mendapat nominal uang berjuta-juta tanpa perlu menunggu gaji dari tempatnya bekerja turun.“Makasih, Sayang.” Banyu peluk Ivana dari belakang. Sebentar kemudian melepaskannya. “Kamu yang paling mengerti aku.” Itu adalah kalimat yang biasa Banyu katakan kepada setiap wanita yang selalu memberikannya p
Bertemu dengan Banyu Himawan adalah suatu anugerah bagi Zahra Amira. Wanita berusia 26 tahun yang satu tahun lebih muda dari Banyu itu memiliki budi pekerti dan akhlak yang bagus. Semua pria mengejarnya. Menginginkan Zahra untuk dijadikan pendamping hidup bukan hanya karena cantik namun juga tutur bahasanya yang menenangkan.Setiap lawan jenis yang pernah bertegur sapa dengan Zahra akan melayang hingga ke awan. Wanita ini sungguh idaman semua pria dan Banyu seharusnya beruntung mendapatkan Zahra. Sayang, manusia tidak pernah bisa merasa cukup.Ya, inilah Zahra Amira yang akan hadir menjadi pelengkap dalam cerita ini. Setiap orang punya porsi dalam menjalani hidupnya masing-masing. Setiap manusia yang terlahir ke muka bumi ini mempunyai kelebihan yang diiringi dengan kekurangan. Yang mana tak semua kesempurnaan bisa diraih di diri manusia tersebut.Terlahir dari keluarga yang harmonis dan berada—kaya raya—tak menjadikan Zahra wanita yang sombong. Sikapnya yang rendah hati telah terdidi