Sarapan pagi itu benar-benar terjadi. Tanpa undangan, Anan datang ke kost Kinar di pukul enam pagi. Saat semua orang belum terbangun dari mimpinya dan bahkan jalanan Bandung masih sedikit lengang. Anan dengan rambut klimis dengan kemeja serta celananya kerjanya telah rapi. Wangi dari tubuhnya menguar. Saat berjalan meninggalkan jejak maskulin yang seandainya banyak wanita di lorong kost menuju kamar Kinar akan membuat para wanita itu berteriak heboh.“Really?” Kinar terkejut meski tidak sepenuhnya. Dari sini Kinar mengenal sosok Anan Pradipta secara dekat bahwa pria ini tidak bisa diberi janji. Lihat saja bagaimana ucapan Kinar yang semalam memberi dampak untuk Anan berdiri di hadapannya dengan cengiran. “Aku tidak menyangka.” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut Kinar.“Aku menunggu hingga sulit terlelap. Lihat!” Langkah Kinar dihentikan secara paksa dan kedua bahunya diregup untuk menghadap ke tubuh Anan. “Lingkaran hitam di bawah mataku terlihat dengan jelas—““Dan maksud
Ivana Wijaya ingat saat dirinya kembali dari pesta bersama teman-temannya di jam tiga subuh. Masih ada tubuh Anan Pradipta—suaminya—yang berada di sisinya. Memberi Ivana selimut sesaat setelah tubuhnya yang mabuk berat bersatu dengan kasur empuknya. Yang Ivana lakukan hanyalah bergumam tidak jelas dengan senyuman yang terselip. Anan tidak banyak bersuara apa lagi menggerutu seperti yang biasanya pria itu lakukan. Kali ini, yang Anan lakukan cukup cekatan dengan mencopot sepatu Ivana lalu menyelimuti tubuh istrinya. Itu saja Ivana merasa berhalusinasi untuk kemudian terlelap bersama mimpi-mimpinya di alam bawah sadarnya.Dan saat terbangun. Matahari sudah meninggi. Cahayanya menembus sela-sela gorden tipis yang tidak sepenuhnya tersibak. Silau, itu saja kesan pertama yang Ivana dapati sebagai reaksi. Kemudian menghela napasnya dan berusaha mendudukkan tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Tangan kanan Ivana memegang kepalanya yang pusing. Rasa pengar akibat alkohol menyerang tanpa ampu
Banyu Himawan tidak akan menjadi manusia munafik namun juga tidak mau berpusing ria perihal dosa. Pikirnya, biarkan Tuhan yang menilainya. Manusia yang sama-sama makan nasi dan masih memiliki napsu seperti dirinya, tidak perlu berkomentar panjang lebar. Banyu mencintai apa yang ada di dalam dirinya dan menikmati setiap perjalanan dari proses kehidupannya. Yang saat ini sedang terjadi, maka biarkan saja seperti itu. Banyu tidak ingin merubah apa lagi menghentikan takdir yang sedang dilakoninya.“Sudah aku kirim ke rekening kamu, ya.”Ucapan Ivana Wijaya usai kegiatan panas keduanya di siang hari yang lumayan panas mengembangkan senyum di bibir Banyu. Lagi pula siapa yang tidak akan bahagia mendapat nominal uang berjuta-juta tanpa perlu menunggu gaji dari tempatnya bekerja turun.“Makasih, Sayang.” Banyu peluk Ivana dari belakang. Sebentar kemudian melepaskannya. “Kamu yang paling mengerti aku.” Itu adalah kalimat yang biasa Banyu katakan kepada setiap wanita yang selalu memberikannya p
Bertemu dengan Banyu Himawan adalah suatu anugerah bagi Zahra Amira. Wanita berusia 26 tahun yang satu tahun lebih muda dari Banyu itu memiliki budi pekerti dan akhlak yang bagus. Semua pria mengejarnya. Menginginkan Zahra untuk dijadikan pendamping hidup bukan hanya karena cantik namun juga tutur bahasanya yang menenangkan.Setiap lawan jenis yang pernah bertegur sapa dengan Zahra akan melayang hingga ke awan. Wanita ini sungguh idaman semua pria dan Banyu seharusnya beruntung mendapatkan Zahra. Sayang, manusia tidak pernah bisa merasa cukup.Ya, inilah Zahra Amira yang akan hadir menjadi pelengkap dalam cerita ini. Setiap orang punya porsi dalam menjalani hidupnya masing-masing. Setiap manusia yang terlahir ke muka bumi ini mempunyai kelebihan yang diiringi dengan kekurangan. Yang mana tak semua kesempurnaan bisa diraih di diri manusia tersebut.Terlahir dari keluarga yang harmonis dan berada—kaya raya—tak menjadikan Zahra wanita yang sombong. Sikapnya yang rendah hati telah terdidi
Sudah maju, sudah kepalang basah, tidak ada waktu untuk mundur apa lagi kembali ke barisan belakang. Itu yang sedang Kinar Dewi rasakan. Setelah berbincang banyak bersama Anan Pradipta mengenai rencana keduanya untuk menikah secara resmi, kini kedua tubuh dua manusia berbeda jenis kelamin itu tengah berdiri di hadapan sebuah apartemen mewah yang ada di kota Bandung.Seumur-umur hidup Kinar, hanya pernah melihat bangunan mewah ini dari luar saja—maksudnya hanya saja kedua kakinya menyusuri jalanan di hadapan gedung ini. Namun sekarang, siapa yang sangka jika salah satu unit di dalamnya adalah miliknya bahkan atas namanya. Kinar hebat sekali bukan?“Kamu merasa ada yang kurang?”Pertanyaan yang Anan ajukan membuat kepala Kinar yang sedari tadi menatapi gedung mewah itu lekat-lekat terpaksa harus menoleh dengan mata menyipit. Ada tanya di dalam benak Kinar kala Anan melempar pertanyaan tanpa maksud tersebut.“Wanita dan pikirannya yang selalu negatif,” cibir Anan disertai dengkusan. “Mak
Ivana Wijaya tidak pernah mempunyai rencana apa pun dalam hidupnya. Yang seringnya Ivana lakukan adalah mengikuti apa yang ada di depan matanya. Menyiapkan rencana untuk menjalani kehidupannya, Ivana tidak menyukai gagasan tersebut. Karena apa, karena Ivana pernah merasakan kegagalan atas rencana dalam hidupnya dan sesal yang Ivana rasakan tak berujung.Awalnya, menikah dengan Anan Pradipta menjadi rencana paling apik yang pernah Ivana siapkan. Segala persiapan telah matang dan tidak ada hambatan apa pun selama acara resepsi berlangsung. Satu bulan pertama di pernikahan mereka, Ivana masih merasakan getaran cinta hingga bulan berganti menjadi tahun. Namun semuanya berubah saat Ivana terus di desak untuk segera memiliki anak. Memang tidak meluncur dari mulut Anan dan suaminya itu tidak ambil pusing perihal belum hadirnya momongan dalam pernikahan keduanya.Karena hidup terlalu sempurna untuk Ivana, rasa bosan itu hadir tanpa di duga-duga. Anan yang monoton dan terlalu baik untuk Ivana
Malam menjadi waktu paling tenang untuk Kinar menulis. Kali ini bertema tentang pernikahan. Di mana yang sejauh ini Kinar temukan adalah teman-temannya yang menjanda di usia muda. Umur pernikahannya berjalan paling lama lima tahun dan paling pendek adalah tiga tahun.Kinar tidak tahu apa yang memutuskan mereka untuk cepat-cepat menikah selain sudah ada calonnya dan siap secara mental. Kinar tidak berani berkomentar panjang lebar karena dirinya saja belum memantapkan niatnya untuk menapaki dunia pernikahan. Membina rumah tangga bukan sesuatu yang mudah. Bukan sekadar menyoal cinta; dua hati yang menjadi satu. Menikah dalam benak Kinar yang sejauh ini tercanang ialah teman mengobrol. Partner kerja sama di dalam rumah yang menjalankan tugasnya tidak berdasarkan gender.Hanya karena kamu seorang suami, maka urusan anak, kamu menjadi abai. Hanya karena kamu kelelahan bekerja, kamu enggan dikeluhkan oleh rasa lelah istrimu menjaga dan mengurusi pekerjaan rumah tangga. Kinar tidak melihatnya
Kabur menjadi pilihan Kinar pagi itu. Merasa tertekan dengan kunjungan yang Anan lakukan, Kinar lebih baik menghindari sementara waktu ini. Di samping sebagai solusi dalam mencari jawaban atas keputusannya, Kinar ingin lebih fokus menggarap novelnya yang akan naik cetak sebentar lagi.Jakarta menjadi tujuan Kinar. Karena tidak mungkin dirinya tetap berada di Bandung di saat Anan bisa mengerahkan anak buahnya untuk mencari keberadaannya. Kinar benar-benar butuh waktu untuk sendiri dan mencari tahu kebenaran atas pilihannya ini.Sempat ragu sesaat kala hendak menaiki eskalator menuju peronnya. Kinar diam bak patung di depan eskalator yang untungnya sepi. Tidak banyak orang yang akan bepergian membuat pikiran Kinar tenang sejenak. Namun detik berikutnya Kinar mendapatkan kesadarannya kembali. Sudah berada di sini, tidak mungkin harus kembali dengan sia-sia. Anan hanya akan merecoki pikirannya dan emosinya akan terus membuncah. Maka dengan kepala yang menggeleng, Kinar melanjutkan langkah