“Kamu mau nggak nikah sama saya?”
“Ya!?”
“Sorry ralat, maksudnya kawin kontrak sama saya. Kita pakai jangka waktu yang sudah saya tentukan.”
“Hah?”
“Saya butuh jawaban kamu bukan malah hah-heh saja. Jawab!”
“Gila!”
“Kamu!?”
Ini siapa yang tidak mau bereaksi seperti itu jika secara tiba-tiba diajak kawin, kontrak pula. Kinar Dewi mana pernah membayangkan hidupnya akan menemui ujian seperti ini.
CEO penerbitan di mana buku-buku karyanya dicetak, mungkin ada kesalahan di otaknya sewaktu menyettingnya. Ini pertemuan pertama keduanya dan ada adegan lamaran yang tidak romantis sama sekali. Lamaran romantis yang selalu Kinar tulis di dalam novel-novelnya faktanya tidak terjadi di kehidupan nyatanya. Yang benar saja!
“Saya serius.”
Perkataannya membuat Kinar tertegun. Maksudnya apa, sih? Kinar benar-benar tidak mengerti dengan cara pikir manusia ganteng yang ada di hadapannya saat ini.
“Saya tidak punya pilihan lain selain kamu.”
“Maksud Bapak apa, ya? Saya pilihan terakhir Bapak? Why?”
Kedua bahunya mengedik dengan wajah super datar. Tapi sorot matanya melukiskan sejuta harapan terlebih jawaban dari Kinar.
“Kita kawin kontrak sesuai persetujuan saya. Kamu hanya perlu mengikuti alurnya.”
“Tunggu!” Kinar berteriak meski tidak kencang. “Saya belum memberi jawaban untuk menerima atau pun menolak.”
“Dan saya tidak menerima penolakan!”
Tegas dan lugas. Kinar ingin mengamuk tapi ditahannya. Ini tempat umum dan lagi pula bukan gayanya untuk marah-marah di muka umum. Urat malu Kinar masih berfungsi. Tidak seperti pria yang saat ini tengah menatapnya penuh minat ini. Risih, sih tapi perasaan semakin tertantang justru bangkit tanpa bisa Kinar ketahui apa sebabnya. Sial!
“Saya berhak menerima dan menolak karena ini menyangkut kehidupan saya.” Kinar mencoba bernegosiasi. “Kenapa saya harus menerima Bapak di saat saya bahkan belum pernah bertemu dengan Bapak atau kita mengenal secara personal. Ini aneh.”
“Kita tidak perlu saling mengenal dan kamu tidak perlu khawatir soal hidup kamu. Berapa yang kamu mau?”
Wajah Kinar menunjukkan ekspresi konyol dengan alis menukik ke atas. Pria di hadapannya sungguh aneh. Dan helaan napas Kinar memberat. Perjalanan hidup yang 27 tahun dirinya jalani mendadak menjadi sebuah drama bak di film-film dan novel yang dirinya tulis. Tidak bisa Kinar jelaskan, otaknya macet persis seperti kondisi lalu lintas Kota Bandung di pagi hari.
“Kamu bisa menyebutkan berapa pun nominalnya tapi saya tidak menerima penolakan. Kamu harus menikah dengan saya, kawin kontrak lebih tepatnya.”
Ya, dan kalimat kawin kontrak terus terucap dari bibirnya yang semakin membuat Kinar geram namun tidak ada daya untuk melawannya. Benar-benar dramatis sekali hidup Kinar ini.
“Tujuan Bapak apa?” tanya Kinar pelan. Bahkan kepribadian Kinar yang terlalu mencintai uang saat di tanya berapa nominal yang dirinya mau pun seketika menguap entah ke mana.
“Nanti akan saya jelaskan. Sekarang kamu hanya perlu menerima dan menyebutkan berapa jumlah uang yang kamu mau atau ada sesuatu lain yang kamu mau? Bilang, akan saya turuti asal kamu mau menikah dengan saya.”
“Gila!”
Kedua kalinya dan kepala Kinar menggeleng disertai senyuman penuh ejekan.
“Ya saya gila dan saya tidak punya waktu untuk dibuang sia-sia seperti ini. Jadi apa jawaban kamu?”
“Tidak!” Kinar menolak dengan tegas. “Saya tidak mau menikah dengan Bapak apa lagi kawin kontrak. Setahu saya, Bapak sudah menikah—“
“Saya sudah menikah atau belum, itu bukan urusan kamu. Kamu dilarang keras melibatkan perasaan bahkan kamu dilarang jatuh cinta ke saya.”
“Wah, saya kagum dengan kepercayaan diri Bapak. Tapi maaf, saya tetap menolak. Saya di sini dan duduk di hadapan Bapak hanya sekadar bisnis. Barangkali Bapak salah atau lupa bahwa kontrak yang kita maksud adalah mengenai perjanjian kerja sama kita dan saya menerbitkan buku-buku saya di perusahaan Bapak. Bukan kontrak dalam konsep perkawinan. Permisi.”
“Jika kamu menolak saya ...” Langkah Kinar sempat limbung mendengar vokal si pemilik penerbitan. Terdengar dingin dengan kesan kehampaan. “Saya tarik kembali semua karya kamu dan kamu membayar pinalti yang sudah kita sepakati.”
“Kenapa?” Kinar diserang frustrasi. Rasa panik dan cemas bercampur jadi satu.
“Sudah saya katakan bahwa saya tidak menerima penolakan.”
“Bapak ...”
“Pradipta. Anan Pradipta.”
Kinar sudah sering mendengar nama si pemilik penerbitan namun ini adalah pertemuan pertama keduanya yang berkesan tidak manis sama sekali.
“Bapak Anan Pradipta yang terhormat, ini bukan sesuatu yang bisa Bapak kehendaki sesuka hati—“
“Kenapa tidak bisa jika perusahaan ini adalah milik saya dan saya bebas memiliki apa yang saya mau termasuk kamu.”
“Hidup saya milik saya—“
“Dan saya membeli kamu.”
Kasar sekali tidak, sih?
Kinar terbengong di tempatnya berdiri. Kedua tangannya mendadak tremor padahal ini bukan sesuatu yang rumit. Hanya butuh jawaban ya atau tidak. Dan menolak bukan sesuatu yang bagus untuk Kinar jadikan jalan. Keberlangsungan hidupnya hanya berasal dari menulis dan saat semua kontraknya tercabut, Kinar akan kehilangan sumber penghasilannya.
Kembali duduk adalah satu-satunya cara yang Kinar lalukan. Menyeruput es kopinya yang mulai tidak dingin. Kerongkongan Kinar kering kerontang seolah dirinya sedang berdiri di padang pasir. Dan tatapan sang CEO tidak lepas barang sedetik pun. Terlalu intens dan Kinar mulai membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi antara dirinya dan sang CEO.
Wah, dampak terlalu lama menjomblo membuat Kinar bergairah hanya karena sebuah tatapan. Ayolah otak, tolong kerja samanya.
“Kenapa saya?” tanya Kinar entah kenapa.
“Karena saya mau.” Dan jawaban Anan Pradipta benar-benar di luar nalar. Manusia normal takkan mau memberikan jawaban yang sederhana.
“Kenapa?” ulang Kinar karena memang belum mengerti kenapa harus dirinya di saat sang CEO sudah menikah.
Apakah kehidupan rumah tangganya tidak bahagia?
Tidak mungkin!
Kinar tahu persis desas-desus yang beredar. Sang CEO terlalu mencintai istrinya dan begitu pun sebaliknya. Kalau jawaban ‘karena saya suka’ semua orang juga bisa, ‘kan?
“Kamu berisik!”
“Apa?”
“Kamu harusnya tinggal bilang ya dan semuanya selesai. Kamu tidak perlu tanya ini dan itu yang buang-buang waktu.”
“Kalau begitu, tidak seharusnya Bapak berada di sini dan membeli saya.” Kinar menekankan dengan wajah sinis. “Saya juga bukan barang yang bisa seenaknya Bapak tawar.”
“Saya rasa itu adalah hak saya karena saya mampu. Kinar ...” panggil Anan dengan suaranya yang serak-serak basah. “Apa pun itu kamu harus mau kawin kontrak dengan saya. Saya butuh kamu.”
“Kenapa?”
“Kamu cerewet dan terlalu banyak tanya!” Anan berdecak kesal. Kaum wanita memang dari dulu selalu ribet. Tidak bisa diajak kerja sama guna memangkas waktu.
“Ini menyangkut hidup saya.”
“Dan saya menjamin kehidupan kamu. Ke depannya kamu bahkan tidak perlu khawatir soal keuangan. Segala kebutuhan kamu saya menanggungnya. Bahkan keluarga kamu juga.”
“Tunggu—“
“Saya tidak bisa menunggu lagi. Jawab ya dan semuanya akan selesai detik ini juga. Saya berjanji dan menjamin semuanya.”
Kinar diam. Otaknya kosong seakan membeku mendengar jawaban Anan. Tawaran yang Anan ajukan sungguh menggiurkan. Tidak ada wanita yang tidak terlena. Tapi untuk Kinar yang keras kepala, menjadi sangat mandiri sudah sejak dulu dirinya lakukan. Dan menjalani kawin kontrak terlebih menjadi istri kedua bukan hal yang Kinar bayangkan.
“Bisa tidak, sih Bapak jangan membuat hidup saya sulit? Saya sudah sangat kesulitan dalam berbagai hal bukan hanya ekonomi. Ada banyak beban dan tanggung jawab yang harus saya pikul. Dan lagi pula, Bapak konyol.”
“Bagian mana yang konyol?”
“Bapak sudah menikah, kenapa masih harus—“
“Itu bukan urusan kamu!”
“Ini hidup saya!” Kinar terengah-engah.
“Oke ini hidup kamu. Menikah dengan saya dan kamu masih bisa menikmati kehidupan kamu yang sesungguhnya.”
Ya Tuhan!
Kinar tidak tahu—kurang memahami—antara nikah siri dan kawin kontrak. Hanya sekadar secara garis besarnya saja. Nikah siri adalah di mana pernikahan tersebut sah secara agama namun tidak tercatat secara negara. Sedangkan kawin kontrak adalah pernikahan terikat waktu yang mana ada tenggang waktunya. Dan dari yang pernah Kinar temui, beberapa pasangan pernah melakukan perkawinan kontrak entah atas dasar alasan apa.Yang sedang Kinar alami saat ini adalah buntu. Sepulangnya bertemu dengan CEO di mana buku barunya harus sudah selesai penandatangan guna segera terbit, nyatanya ngadat lantaran perilaku si pemilik.Tidak banyak yang bisa Kinar lakukan selain diam di pojok kamar kostnya dan merenung. Helaan napasnya memberat. Kepalanya penuh dan rasa sakit menghampiri seketika. Kedua mata Kinar juga memberat namun enggan diajak terpejam.“Saya akan menjamin kehidupan kamu. Kalau kamu setuju, kita tanda tangani perjanjian yang sudah saya tentukan.”Ucapan Anan Pradipta terus terngiang di
Pagi-pagi buta sebelum matahari menyapa bumi Pasundan, Kinar dipaksa membuka kelopak matanya. Melirik jam di nakas samping ranjangnya, pukul enam lebih sedikit. Artinya Kinar baru terlelap sekitar tiga jam. Malam adalah waktu paling aktif bagi Kinar untuk membelai setiap naskah di dalam laptopnya. Dan ketukan di pintu kamar kostnya amatlah mengganggu.“Siapa?” Kinar berteriak lalu menenggak minuman dinginnya langsung dari botol.Berjalan gentoyoran menuju arah pintu dan membukanya. Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilat kian mengerutkan dahi dan mata Kinar . Seingatnya Kinar tidak punya janji temu dengan siapa pun. Kinar juga tidak ada niatan untuk keluar dari kostnya. Jadi ini siapa, ya?“Cari siapa, ya?” tanya Kinar dengan kepala celingak-celinguk melihat kondisi sekitar.Masih sepi. Beberapa penghuni kost masih ada yang terlelap. Tidak semua pekerja di sini akan masuk di jam yang sama. Tergantung dari kebijakan perusahaan masing-masing.“Bu Kinar?”Kedua alis Kinar mengerut s
Seharian fokus Anan terpecah. Berbagai masalah yang silih berganti berebut di dalam pikirannya mencari celah untuk bisa mengambil alih atensinya. Tidak ada yang bisa Anan lakukan selain diam dan memendamnya. Mendebat dirinya sendiri atau lebih parahnya mendebat Ivana bukan jalan terbaik. Ivana tetaplah Ivana dengan cara dan jalannya sendiri. Siapa Anan hingga bisa merubahnya saat cinta yang Anan berikan saja dianggap sepele?Senyum Anan kecut. Menertawai dirinya sendiri yang menyesal telah melangkah sejauh ini bersama Ivana. Andai tidak dipertemukan dengan Ivana tidak akan ada kerumitan dalam hidupnya. Andai tidak menikah dengan Ivana tidak akan ada kawin kontrak bersama wanita yang tidak Anan kenal.Nalar Ivana lain daripada yang lain sehingga Anan harus rela menanggungnya.“Pak?”Panggilan dari arah belakang tubuhnya menyeret Anan dari lamunnya. Kelopak mata Anan berkedip setelah sekian menit menatapi lampu kerlap-kerlip di Kota Bandung.“Apartemen yang Bapak minta sudah siap.” Teg
Apa aku harus peduli?Begitu gerutuan dalam benak Kinar. Sampai keluar dari gedung di mana Anan berada, kedongkolan itu masih merajai hatinya. Tidak hanya itu, aduan Anan perihal istrinya yang mandul seolah-olah menjadi jerat agar Kinar luluh dan menerima kawin kontrak ini.Benar-benar nggak berotak!Kinar mendengkus lantaran kesal. Perasaannya campur aduk dan tak bisa dijabarkan dengan mudah. Mengingat dirinya yang sulit untuk berekspresi, perihal marah pun Kinar hanya bisa diam.Sial!Sengatan panas hadir dikedua matanya tanpa izin. Sudah lama sejak kedua orang tuanya meninggal dan Kinar selalu memendam keinginan untuk menangis itu seorang diri.Tapi sore ini, saat matahari belum sepenuhnya beradu di ufuk barat dan jalanan Kota Bandung macet total, Kinar ingin menangis hingga tersedu-sedu. Ingin meratapi nasib hidupnya yang tak seberuntung anak-anak lainnya. Yang hidup mewah dalam naungan orang tua dengan ekonomi yang tercukupi. Mereka tidak harus bersusah payah bekerja karena f
Anan langsung duduk tanpa dipersilakan. Membuat Kinar bengong ditempat. Maksudnya ini kostnya, Anan itu bak tamu tak diundang. Ujug-ujug masuk dan duduk dengan santai. Dengan kesal, Kinar tutup pintunya. Tidak enak sama penghuni kost lain. Walaupun kost bebas, Kinar sungkan."Kamu tidak mau duduk?" Anan keluarkan ponsel dari sakunya. "Mau makan?" Anan perlihatkan aplikasi yang sedang dibukanya. "Duduk, kebetulan saya belum makan.""Memangnya saya bertanya?" Hanya deheman yang Anan jawabkan. "Bapak keluar deh, pulang saja!""Kenapa? Tempat saya di sini, anggaplah saya sedang belajar menyesuaikan diri ditempat tinggal kamu.""Bapak gabut, ya? Maksudnya Bapak punya rumah, punya istri untuk apa ke tempat saya?""Kamu juga calon istri saya. Gimana? Mau pesan sesuatu?"Anan terpaksa berdiri dari duduknya dan menarik tangan Kinar untuk duduk di sampingnya."Benar, saya tidak tahu arti cinta yang sesungguhnya. Saya tidak tahu apa itu cinta. Benar, di mata orang lain saya ini sempurna. Saya k
Tahu BulatUjungnya masih di situ-situ saja. Sekitar pernikahan bak tahu bulat digoreng lima ratusan. Orang kaya ketika mengajak nikah seperti membeli permen recehan di warung: dua ribu dapat tiga.Kinar mendengkus saking kesalnya. Anan ganteng-ganteng budek! Di suruh menikahi wanita lain yang diuber-uber malah dirinya. Mau bilang bosan kok mubadzir. Entar Kinar disangka tidak bersyukur di kasih yang cakep. Tapi asli bikin empet!"Bapak mendingan besok periksa deh." Anggukan yang Kinar terima sebagai jawaban dari perkataannya. "Tidak bertanya untuk apa gitu, Pak?""Asal itu kamu, saya tidak keberatan.""Gendeng!"Anan santai seperti di pantai. Ganyem ayam krispinya dengan kunyahan keras-keras. Kress kress gitu seperti sedang memotong sesuatu."Saya tuh keberatan, Pak dan jawaban saya tidak pernah berubah.""Saya siap menunggu.""Makanya saya minta Bapak periksa ke THT. Ada masalah dengan pendengaran Bapak sepertinya.""Yang saya dengar cuma suara kamu. Dijamin, dokternya tidak bakal n
"Kinar, Kinar! Kamu tinggal ngomong tidak mau menikah saja sulit sekali! Asal kamu tahu, menikah tidak semudah kamu menang lotre.”Jika semudah itu, sudah pasti Kinar akan ngomong tanpa ada hambatan. Kinar sudah menolak halus-halus saja kena pepet apa lagi menolak secara blak-blakan. Anan tidak marah dan memperkosa Kinar ditempat saja sudah syukur."Aku sudah ngomong," jawaban Kinar sejak sejam yang lalu tetap seperti itu. Membuat Ima dongkol setengah mati. "Baru kali ini aku menemui pasangan gila. Istrinya minta suaminya menikah lagi dan disetujui tanpa ada penolakan sama sekali. Gendeng!”Ima seruput es kopinya. Sudah gelas kedua dan solusi untuk masalah Kinar belum ketemu. Jalannya buntu, seolah-olah memang harus menikah dengan pria beristri itu."Sepertinya dia memang jodoh kamu." Ima terlanjur kesal. Daripada di pendam lebih baik dikeluarkan. “Dan kamu tidak punya pilihan.”"Pasti ada.""Iya, menikah dengannya. Aku yakin, hidup kamu terjamin dan entah kenapa aku merasa dia bukan
Setiap harinya dalam hidup Kinar, tidak ada kata santai. Setiap detik yang berharga akan Kinar pergunakan sebaik mungkin dalam merangkai tiap kata menjadi kalimat di atas keyboard laptopnya. Sadar jika hanya menulis sebagai sumber penghasilannya, maka Kinar benar-benar mencurahkan hidupnya untuk berkarya.Itu tidak mudah walau terlihat sepele. Beberapa temannya sering menganggap remeh pekerjaan yang Kinar lakoni karena sebagian orang hanya memanfaatkanya sebagai hobi. Ada juga yang melontarkan kalimat-kalimat pedas bahwa seperti: percuma kuliah kalau ujungnya cuma jadi penulis. Percuma prestasi dibidang akademik oke tapi kerja cuma nyusun kalimat doang. Beruntungnya tidak sampai kalimat beban keluarga dikeluarkan. Walaupun yatim piatu, membawa serta orang tua ke dalam ranah pergaulan merupakan tindakan yang tak bisa Kinar toleransi. Itu orang lain bukan Kinar yang betul-betul serius menekuninya. Dan apa pun pendapat mereka, Kinar tidak mau ambil pusing. Kinar hanya membalas dengan