"Jika ingin menangis, menangislah, Na. Jangan sungkan! Aku cukup mengerti keadaanmu," ucap Bang Amar lembut. Aku tertunduk dalam, luka yang masih menganga kini bak tersiram air garam setelah mendengar tuduhan Bang Haikal tadi. Impian untuk menua bersama Bang Haikal kini tenggelam tak bersisa. "Andaikan saja dulu aku berani mengatakannya padamu," lirih Bang Amar hampir tak terdengar, lelaki itu seakan berbicara sendiri. Kuusap cepat air mata yang masih berurai, menarik napas dalam, mencoba untuk bertenang. "Maksud, Abang?" tanyaku pelan tanpa menoleh ke asal suara, Bang Amar tersentak demi mendengar pertanyaan dariku. "Gak papa, Na?" jawabnya, sambil berusaha menetralisir keterkejutannya dengan kembali tersenyum. Aku menerka-nerka apa yang baru saja kudengar. Mungkinkah Bang Amar dulu pernah memiliki rasa yang sama untukku? Ah, sudahlah aku tak ingin lebih sakit lagi, cukuplah Bang Haikal yang telah menoreh luka perih di hatiku, jangan sampai aku kembali terluka karena perasaanku
Aku memilih diam berusaha menenangkan hati yang bergejolak, Bang Amar pun sama. Aku tak ingin bertanya lebih jauh mengenai kalimat yang sudah lolos dari bibirnya. Mobil Bang Amar sudah terparkir sempurna di depan rumah Farah, aku membuka pintu mobil setelah mesin mobil dimatikan. "Abang langsung pulang ya, Na! Kebetulan habis magrib Mama minta temenin ke rumah temennya," ucap Bang Amar seraya menoleh ke arahku dengan tangan yang masih memegang setir. "Iya, Bang. Makasih banyak, ya.""Iya, Na. Maaf kalau kata-kataku tadi membuatmu tak nyaman.""Tak apa, aku masuk dulu, Bang," jawabku berusaha menghilangkan rasa canggung. Bang Amar mengangguk. Akau berjalan memasuki gerbang rumah Farah tanpa menoleh lagi ke arah Bang Amar, hati ini kenapa semakin berharap jika Bang Amar memiliki rasa yang sama untukku, padahal kutahu jika Farah memang lebih tepat untuknya. *****Haikal baru saja masuk ke rumahnya, lebih tepatnya rumah peninggalan orang tuanya. Amarah yang sejak tadi tertahan kini ia
Sendi-sendi di tubuhnya terasa begitu lemas, Haikal terduduk dengan tangan menangkup wajahnya. Sempat terpikir olehnya untuk meminta bantuan pada kedua kakaknya, tapi sesaat kemudian ia mengurungkan niatnya, rasanya tak mungkin kakak-kakaknya itu akan mendukung niatnya untuk membujuk Zana. Asik menikmati penyesalannya Haikal sampai lupa menjemput Harry dari rumah Bik Sum, bergegas ia mengusap air mata yang tadi sempat membasahi wajahnya, lalu bangkit berjalan keluar. Hari sudah beranjak malam, azan magrib mulai berkumandang, Haikal berjalan tergesa menuju rumah Bik Sum yang berjarak dua rumah dari rumahnya. Ia tak ingin terlalu lama menjemput Harry karena khawatir akan merepotkan Bik Sum. Tok! Tok! Tok! "Assalamu'alaikum," ucap Haikal setelah mengetuk pintu. "Wa'alaikumsalaam."Pintu terbuka, tergopoh janda paruh baya itu keluar setelah melihat Haikal berdiri di ambang pintu. "Masuk dulu, Nak! Harry sejak habis ashar mengalami demam tinggi, bibi beberapa kali menelpon tapi nomor
"Assalamu'alaikum," Suara salam dari seberang sana khas laki-laki dewasa, membuat Haikal tersentak. Ia memijat dahinya yang tiba-tiba berdenyut. Di saat ia ingin memperbaiki kesalahan mengapa keadaan terasa semakin sulit. "Kamu siapa?" tanya Haikal tanpa menjawab salam, ia merasa asing dengan suara lelaki di seberang sana. "Amar. Katakan saja apa keperluanmu menelpon Zana?" jawab Amar datar. Haikal sempat tersulut emosi, tapi sebisa mungkin ia kontrol demi Harry. Ia tak ingin keegoisannya membuat Harry kembali gagal bertemu Zana. "Bisakah aku berbicara dengannya?" tanya Haikal. "Zana tak di sini!" "Zana di mana? Kenapa ponsel Zana ada padamu?" "Di rumah Farah. Ponselnya tertinggal di mobilku."Haikal terdiam. Bagaimana caranya ia mengabari Zana jika ponselnya tengah di tangan laki-laki itu. Untuk berbicara panjang lebar pada Amar rasanya tak mungkin, karena sejak awal suara Amar terdengar sangat cuek padanya. "Tolong katakan pada Zana jika Harry sakit dan ingin bertemu dengann
"Dulu, aku sangat menyayangi Harry, bahkan meski dia anak angkat rasa sayangku cukup dalam untuknya," ujar Zana dengan tatapan menerawang. Bik Imah menatap sendu pada Zana. Farah terdiam. "Setelah semuanya berubah rasa itu masih ada, meski tak sekuat dulu, aku hanya tak ingin Bang Haikal memanfaatkan rasa sayangku pada Harry." Lanjut Zana. "Lantas, apa yang akan kau lakukan?" tanya Farah sambil mengunyah makanan yang tiba-tiba berubah hambar, seiring selera makan yang berubah. "Entahlah!" Zana terdengar pasrah. "Jangan menyiksa perasaanmu sendiri! Aku cukup kenal dirimu, Na. Ya sudah, kapan kau akan menemui Harry?" Farah berusaha menghibur. "Mungkin besok, Fa," jawab Zana pelan. "Aku akan menemanimu."Zana menatap lekat wajah Farah yang duduk di hadapannya kini tersenyum manis ke arahnya. "Makasih, Fa." jawab Zana. Farah mengangguk pelan. "Sekarang makan dulu." Perintah Farah. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu depan membuat Bik Imah Bangkit, berjalan ke luar untuk meliha
Harry tiba-tiba menangis histeris, memeluk lututku yang menyentuh lantai. Kuraih tubuh mungil Harry untuk kupeluk, hingga kami larut dalam rindu yang tak terucap. "Bunda di sini, Nak. Jangan nangis lagi, ya! Bunda sayang, Harry," lirihku di sela isak yang membuat dada sesak. Harry tak dapat berkata apa-apa, tangisnya tak juga reda, membuat suhu tubuhnya terasa semakin panas. Aku berusaha merenggang pelukan pada Harry, tapi seolah ia enggan melepas pelukanku. Farah mengusap lembut punggung Harry yang tengah berada dalam dekapanku, air matanya menetes tanpa suara. Pun dengan Bik Sum. Wanita paruh baya itu berkali-kali mengelap sudut matanya dengan lengan daster motif batik yang tengah ia pakai. Ada rasa sesal karena dulu aku pernah membenci Harry karena perbuatan orang tuanya. Hati kecilku mengatakan Harry tak salah sedikit pun, tapi rasa sakit membuatku abai dengan hal itu. "Harry, dengerin Bunda, Sayang. Setelah ini Bunda akan sering-sering mengunjungi Harry di sini, Bunda janji,
Kutarik napas dalam, mengeluarkannya perlahan. Memikirkan Harry membuat dada ini terasa sesak. "Aku pun tak tahu, Fa!""Kau tahu kenapa Harry begitu, Na?" tanya Farah masih dengan tanpa menatapku. "Entahlah!" "Itu karena kau orang baik! Aku merasakan itu. Ketahuilah, Na, anak sekecil Harry belum bisa akting, jika kau tak baik menurutnya, mana ada anak itu sampai begitu menyayangimu," ucap Farah terdengar sendu. Suasana kembali hening. Kami berdua sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri, meski sepertinya isi pikiran kami adalah permasalahn yang sama. "Jika kau tak keberatan, bawalah Harry bersamamu untuk beberapa hari dalam setiap pekan, Na. Bicaralah pada Haikal. Jangan biarkan Harry terluka lebih parah lagi. Maaf, aku bukan mengajarimu, aku hanya tak tega melihat anak itu. Bahkan jika mau, kau bisa tinggal bersamaku, dan bekerja padaku dan Harry bisa tinggal bersama kita."Lelehan air mata semakin deras membanjiri pipi mulus Farah. Baru kali ini aku melihat Farah sesedih ini. Bahka
Kuhapus air mata yang sempat merembes ke luar, lalu beranjak untuk menyiapkan perlengkapan Harry. Lemari pakaian Harry ada di kamar Bang Haikal—kamar kami dulu. Saat baru saja kaki ini melangkah masuk, sudut bibirku terangkat saat melihat sesuatu di atas tempat tidur Bang Haikal. Pigura foto pernikahan kami yang biasanya menempel di dinding kamar, kini tergeletak di atas kasur. Mungkinkah … ah, sudahlah. Biarkan saja ia meratapi penyesalannya. Kubereskan beberapa perlengkapan Harry yang mungkin diperlukan nanti, setelahnya aku langsung mengajak Farah keluar dari rumah itu, sesak dadaku berlama-lama di sini. Rumah ini memiliki sejuta kenangan di hatiku. *****"Untung punya istri kayak Zana, kalau aku yang jadi istrinya udah aku benyek tuh laki," ucap Bik Mirna saat tengah memilah sayur di warung Mak Suti. Aku yang datang dari arah samping warung membuat mereka tak menyadari kehadiranku. Langkahku terhenti saat telingaku mendengar namaku menjadi topik bahasan. "Iya, laki gak ada o