Kuhapus air mata yang sempat merembes ke luar, lalu beranjak untuk menyiapkan perlengkapan Harry. Lemari pakaian Harry ada di kamar Bang Haikal—kamar kami dulu. Saat baru saja kaki ini melangkah masuk, sudut bibirku terangkat saat melihat sesuatu di atas tempat tidur Bang Haikal. Pigura foto pernikahan kami yang biasanya menempel di dinding kamar, kini tergeletak di atas kasur. Mungkinkah … ah, sudahlah. Biarkan saja ia meratapi penyesalannya. Kubereskan beberapa perlengkapan Harry yang mungkin diperlukan nanti, setelahnya aku langsung mengajak Farah keluar dari rumah itu, sesak dadaku berlama-lama di sini. Rumah ini memiliki sejuta kenangan di hatiku. *****"Untung punya istri kayak Zana, kalau aku yang jadi istrinya udah aku benyek tuh laki," ucap Bik Mirna saat tengah memilah sayur di warung Mak Suti. Aku yang datang dari arah samping warung membuat mereka tak menyadari kehadiranku. Langkahku terhenti saat telingaku mendengar namaku menjadi topik bahasan. "Iya, laki gak ada o
"Zana akan memikirkannya nanti, Bu, setelah Harry benar-benar pulih.""Ibu cukup tau perasaanmu, tapi apakah kau tak ingin memikirkan masa depanmu juga?" "Mungkin tak lama lagi, Bu. Setelah kondisi Harry benar-benar stabil, sepertinya Zana akan menerima tawaran Farah."Ibu menoleh dan mendekat ke arahku. Menarik kursi makan yang ada di hadapanki untuk ia duduki. "Maksudmu gimana, Na?"Kudongakkan kepala menatap sekilas Ibu yang duduk tak sejajar denganku. "Farah nawarin Zana untuk kerja di tempatnya, Bu. Sekalian bisa bawa Harry juga ke sana, jadi kan tiap hari bisa sama-sama Harry. Sekalian kalo Zana nyambi kuliah juga bisa, Harry bisa dititipin."Ibu terdiam, seperti tengah merenung apa yang baru saja kukatakan. "Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu, Na. Ibu tak bisa berbuat banyak, meski nyatanya Ibu tak ingin kau terikat dengan masa lalumu."Kurasakan ada beban pada kalimat yang meluncur dari bibir Ibu. Namun, aku sangat sadar jika itu merupakan bentuk kasih sayang
Aku mengernyitkan dahi. Demi menuntaskan rasa penasaran aku segera keluar, Harry mengkor di belakangku. Kepalaku dipenuhi tanya ketika melihat siapa yang datang menemuiku. "Sinta!" ucapku dengan kening mengerut. Sinta membalikkan badannya saat mendengar suaraku. Bik Sarmi—ibunya Sinta pun melakukan hal yang sama. "Maaf, Kak, pagi-pagi aku udah datang ke sini," ucap Sinta sendu. Dahinya masih terdapat bekas luka yang belum sembuh, setelah kecelakaan dua minggu yang lalu. "Gak papa kok, Sin." Aku berusaha seramah mungkin, meski sakit itu masih membekas. Tak mungkin aku bersikap tak baik sedangkan Sinta datang bersama ibunya. "Ada perlu apa, ya?" tanyaku masih dengan mimik tak mengerti. "Makasih banyak, Na, udah mau nganterin Sinta ke rumah sakit tempo hari." Bik Sarmi yang berdiri di hadapanku bicara. Kulihat Sinta hanya terdiam dengan menunduk dalam. "Masuk dulu aja, Bik. Biar lebih enak ngobrolnya." Tawarku. Aku membuka pintu lebih lebar untuk memudahkan mereka masuk. Bik Sarmi
"Dalam keadaan frustasi, aku bertemu pada Ibu Rania. Saat itu hampir saja aku bunuh diri dengan melompat dari gedung lantai lima. Ibu Rania yang telah membuatku membatalkan niatku."Aku terdiam, pun dengan Bik Sarmi. Meski terlihat emosinya memuncak, kali ini wanita paruh baya itu mampu mengontrol emosinya. "Ibu Rania bercerita banyak tentang kisah kelamnya, bahkan kurasa aku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketegaran Ibu Rania." Lanjut Sinta. Aku mengernyitkan dahi. Tanda tak mengerti. "Maksudmu?"Tatapan Sinta menerawang, seakan mencari penggalan kalimat yang tepat untuk diucapkannya. "Masa lalu Ibu Rania sangat kelam, Kak. Sejak SMA dia sudah rutin mendapat perlakuan tak senonoh dari ayah tirinya, hingga kegadisan yang selalu ia jaga harus terenggut oleh suami ibunya itu. Berkali-kali ia mengadu pada ibunya, tapi ia seakan tak pernah mendapat pembelaan dari ibunya. Ibunya lebih percaya pada suaminya, hingga membuat Ibu Rania pergi dari rumah, terjun ke dunia malam sebagai pel
Sinta menarik napas dalam, bulir bening lebih deras mengalir di pipinya. "Bayi merah yang kemarin di antar seseorang ke rumah Ibu, itu anakku. Darah daging Bang Ilman."Wajah wanita paruh baya itu merah padam. Malu bercampur marah melebur jadi satu. Matanya terhunus menatap tajam seakan siap menguliti Sinta. Meski tau Sinta memang pernah hamil, aku pun tak kalah terkejut. Jadi ini arti percakapan Ilman lewat telpon saat aku baru pulang dari rumah sakit waktu merawat Ibu dulu. Mengapa dengan mudahnya seorang perempuan mengorbankan mahkotanya dengan lelaki yang belum halal baginya. Miris. "Mengapa kau tega membohongi kami, Sin? Mengapa kau tak mengatakannya sejak awal?" Bik Sarmi terlihat geram. "Aku bukan ingin membahas anak itu, Bu. Jika Ibu tak menginginkannya aku akan memberikannya pada siapa saja yang menginginkannya," ujar Sinta terdengar frustasi. Bik Sarmi terdiam sambil menggigit bibirnya. Sedih dan kecewa bercampur jadi satu. Untuk kedua kalinya aku tercengang mendengar
"Udah sampai, Kak?" Aku menoleh ke asal suara. Nanda dan Tante Nadia berjalan menghampiriku. Tak kutemukan Om Hartono bersama mereka. "Baru aja, Nan," jawabku, seraya menghulurkan tangan untuk bersalaman. Nanda terlihat begitu cantik kali ini. Terlihat jelas jika gadis 23 tahun ini semakin terlihat dewasa. Wajah Nanda sangat mirip dengan sang Ibu, berkulit putih dengan tinggi semampai, berambut lurus dan hidung mancung. Dagu tirus menambah sempurna kecantikan Nanda. Farah pun tak kalah cantik dengan Nanda. Wajah mereka begitu dekat, hingga waktu SMA aku sempat mengira jika Nanda yang baru kelas 6 SD adalah adik Farah. "Bagaimana kabarmu, Na?" Kali ini Tante Nadia yang bertanya. "Alhamdulillah, Tan. Seperti yang Tante lihat," ucapku dengan tersenyum manis. "Kamu makin cantik, Na.""Yah, Tante, kalo muji jangan nanggung dong." Candaku, membuat Tante Nadia tertawa. "Cuma berdua?" Aku bertanya sambil melirik ke arah keduanya dengan jari tengah dan jari telunjuk terangkat. "Iya, Na
Tertulis, Fikri dan Farah. Aku membekap mulut dengan tanganku, agar suara yang tak sengaja keluar bisa sedikit teredam. Mataku membulat sempurna. Duduk di sana Bang Fikri dan Farah. Dua orang tersayangku yang akan segera menyatu dalam ikatan suci.Rasanya, aku ingin berteriak, menangis dan tersenyum, hingga tertawa. Tapi mengapa selama ini Bang Amar terlihat begitu dekat dengan Farah? "Kenapa, Na? tanya Kak Ana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Kenapa gak ada yang bilang, kalau Bang Fikri akan melamar Farah," tanyaku manyun. Kak Cindy dan Kak Ana kompak tertawa kecil, pun dengan Bang Farhan dan Bang Hamka. Dua kakak beradik itu tersenyum geli menatapku. "Sengaja, Na. Farah yang minta," jawab Kak Cindy seakan tanpa beban. Air mataku menetes. Bukan … bukan karena benci, tapi kuyakin Farah hanya ingin membuat bahagiaku berlipat ganda."Kok malah nangis adik kecil?" Kali ini Bang Hamka meledekku. Membuat air mata semakin deras mengalir. Dadaku bergemuruh, gemuruh bahagia. H
"Wah, Zana gak bawa pakaian ganti, Kak. Kenapa gak bilang dari kemaren?“ tanyaku, setelah mata menatap perempuan beranak dua itu. "Bang Hamka juga barusan ngasih tau Kakak. Gak papa, kan bisa pake baju Kakak." Aku menatapnya dengan alis bertaut. "Mana bisa Zana pake baju Kakak. Yang ada malah cingkrang, Kak," ucapku terkikik geli. Kak Cindy nyengir kuda. Kak Cindy memang agak berisi, tapi tinggi badannya jauh di bawahku. "Kan gak papa, Na, kalo cuma daster atau baju tidur. Nanti baju yang ini biar langsung dicuci. Harry bisa pake baju punya Alif," saran Kak Cindy. "Iya, iya, Zana ngalah." Bibirku mengerucut. Kak Cindy tersenyum menang. "Iya, giliran. Minggu depan nginep di rumah kakak ya, Na." Kali ini Kak Ana nyeletuk. "Ih, kok Zana jadi kayak apa, gitu, asal maen giliran aja." Sewotku. "Lah, kok, gak adil, Na?" "Iya, iya. Bulan depan ya, Kak." Akhirnya aku menyerah. *****Haikal baru saja memutar gagang pintu untuk masuk rumah, ketika seorang laki-laki seumurannya datang me