Haikal spontan menatap lekat perempuan itu, bibirnya mengatup rapat. Sedangkan Kak Lila menatap tak mengerti. Ada sesuatu yang tak bersahabat yang ia tangkap. Dengan langkah gontai Yuni melangkah mendekat ke arah Haikal. "Di mana anak itu sekarang?"Haikal masih bergeming. Kepalanya sibuk menerka maksud Yuni mencari Harry. "Anak itu sekarang sudah di tempat yang tepat, dirawat oleh orang yang tepat," jawab Haikal datar. "Katakan saja di mana? Aku ingin menemuinya. Rania yang memintaku untuk menemuinya di sini.""Apa aku tak salah dengar?" tanya Haikal heran. Yuni terlihat salah tingkah. Ia merutuki dirinya sendiri. Tidak bertanya lebih banyak pada Rania tentang Harry, membuatnya terlihat bodoh di hadapan Haikal. "Rania baru menyadari kesalahannya sekarang!"Mendengar ucapan Yuni barusan, alis Haikal bertaut. Ia tak habis pikir, apa sebenarnya alasan perempuan ini bertanya tentang Harry? Mungkinkah Rania memang sudah menyadari kekeliruannya selama ini? Tapi kenapa tidak dirinya s
Haikal terdiam. Sepertinya ia kehabisan cara untuk meyakinkan perempuan itu untuk merelakan Harry bersama Zana untuk sementara. "Kumohon, jangan sekarang! Jika sudah waktunya, aku yang akan mengenalkan Harry pada kalian," ujar Haikal memelan.Haikal memilih berbalik dan melangkah masuk. Tak dihiraukannya Yuni yang masih mematung di depan rumah dengan bersimbah air mata. Kak Lila memilih melangkah menuju halaman rumahnya tanpa mau mengganggu Yuni yang masih saja menangis. Bukan tak ingin memberi tau Yuni di mana Harry berada. Namun Haikal tak ingin sesuatu yang buruk kembali terjadi pada Harry, mengingat Harry baru saja bernapas lega. "Meski kau tak mengizinkanku bertemu Harry, setidaknya anggap aku sebagai orang tuamu!" lirih Yuni seraya mengusap sudut matanya. "Jika tidak berhasil membawa Harry untuk Mila, maka cara lain juga tak apa," gumam Yuni. Mila adalah sahabatnya yang menginginkan Harry. Pastinya dengan imbalan yang lumayan. Haikal menghentikan langkahnya, kemudian berbali
Kami tengah berkumpul untuk makan malam di dapur rumah Bang Hamka. Keluarga yang tadi siang berkumpul di rumah Farah, kini kembali berkumpul di sini. Termasuk Ibu dan Ayah, Farah dan Bang Fikri. Mereka semua berhasil memberi kejutan untukku. Kejutan yang aku sendiri tak pernah terpikirkan. Tak pernah terbayangkan jika Bang Fikri akan menikah dengan Farah, karena selama ini mereka tak pernah terlihat memiliki hubungan yang spesial. bahkan aku sempat menebak jika Farah akan menikah dengan Bang Amar. Entahlah, selama ini aku tak mampu menebak rencana mereka. Hingga untuk momen saat ini, mereka sudah jauh-jauh hari mengaturnya. Ibu pun sudah menyiapkan pakaianku dan Harry untuk menginap malam ini. Teras halaman belakang yang dilengkapi dengan kolam ikan, serta saung dan taman kecil itu kini disulap menjadi rumah makan lesehan. Satu buah tikar besar tergelar, dengan menu masakan beraneka ragam. Mulai dari tongkol sarden, nila masak asam manis, gulai ayam, dan beberapa menu lainnya,
"Ih, kamu kayak Mbak Kun aja, Fa. Datang tiba-tiba." Aku memegang dada dengan detak jantung berpacu. "Jahat amat sih, Na. Calon kakak ipar secantik aku dibilang kayak Mbak Kun," sewot Farah, membuatku tertawa geli. "Iya, iya, maaf." Aku menyenderkan kepala pada bahu Farah. Tatapan mata menatap kosong ikan-ikan yang masih saja terjaga. "Apa rencana kamu setelah ini, Na?" Suara Farah terdengar serius. Aku menarik napas dalam mengeluarkannya perlahan. "Ibu menyuruhku kuliah, Fa." "Wah, bagus itu. Kamu setuju?""Sepertinya.""Semangat dong, Na. Kamu masih muda, Na. Cantik lagi." Farah memencet hidungku. Tanganku spontan menampar paha Farah. "Kebiasaan kamu, Fa. Orang lagi serius juga." Gadis itu tertawa ngakak. "Padahal isinya dua biji, tapi hebohnya bisa ngalahin pasar ikan," celetuk Bang Fikri yang berjalan mendekat ke arah kami. "Makanya nyari calon istri jangan yang suka usil kayak gini." Bibirku mencetut. "Kamu gak suka?" tanya Bang Fikri yang duduk di samping Farah. "Suka,
Aku terdiam sibuk menata debar jantung yang tak beraturan. Benarkah yang dikatakan Bang Fikri barusan? Berarti ucapan Bang Amar saat menjemputku waktu itu memang benar. Wajahku serasa menghangat. Pikiranku mengembara jauh sebelum mengenal Bang Haikal. Hati ini lebih dulu tertarik pada kepribadian Bang Amar. Lelaki tampan nan santun yang kukagumi sejak dulu. "Tapi mengapa dia tak pernah mengatakannya padaku? Bahkan dulu tersenyum padaku saja seperti beban baginya."Bang Fikri menatapku lalu tertawa geli. "Kau tahu apa alasan Amar melakukannya?" Aku menggeleng. Bang Fikri menarik napas panjang lalu menghembusnya perlahan. "Jauh sebelum kau dilamar Haikal, ia sudah mempersiapkan mentalnya untuk mengatakannya padamu …," Bang Fikri menjeda kalimatnya. "Hanya saja sebelum ia sempat mengatakannya, kamu membawa Haikal untuk bertemu Ibu, tepat saat Amar menemuiku di rumah Ibu."Yang dikatakan Bang Fikri memang benar. Saat Bang Haikal pertama kali ke rumah menemui orang tuaku, Bang Amar mem
Keduanya terdiam sesaat, mungkin cukup mengerti tentang luka hatiku yang belum kering. "Semoga dipermudah, Na. Kau pasti menemukan kebahagiaanmu sendiri, Na. Percayalah!" Farah merengkuh bahuku. "Makasih, Fa. Aku bersyukur memiliki kalian yang selalu ada untukku."Harry berjalan mendekat ke arah kami. Tangan kanannya memegang ponsel milikku yang tengah berdering. Aku memang meletakkannya di ruang tv sejak tadi. "Ni, Nda." Harry mengulur tangannya yang berisi ponsel padaku."Makasih, Sayang," ucapku dengan tersenyum padanya. Panggilan masuk dari Bang Haikal. Kutekan tombol dial seraya bangkit untuk menjauh dari Farah dan Bang Fikri. "Assalamu'alaikum. Ada apa?" "Wa'alaikumsalaam. Aku mau bicara,Na.""Katakan saja!" ucapku dingin. "Kuharap kamu memikir kembali keputusanmu, Na. Alangkah baiknya jika ikatan antara kita kembali utuh.""Kaca yang telah retak tak akan bisa kembali utuh.""Mengapa kau tak memberiku kesempatan, Na. Bukankah manusia memang tempatnya khilaf." Suara Bang H
"Biarkan Harry di sini dulu, jangan terburu-buru. Aku tak ingin kejadian seperti beberapa waktu lalu terulang lagi." Aku berusaha mengontrol emosi. "Aku bisa saja membujuk neneknya agak membiarkan Harry bersamamu, tapi dengan syarat kita harus kembali seperti dulu."Jika saja lelaki itu ada di hadapanku, ingin rasanya kulempar ponsel yang tengah menempel di telingaku ke wajahnya. Aku benar-benar emosi dibuatnya. Kumatikan sambungan telpon secara sepihak. Benar-benar muak rasanya mendengar perkataannya. Aku kembali ke tempat semula. Hanya tinggal Farah yang masih setia di sana. "Kenapa sih, Na. Wajahmu kusut amat?" "Bang Haikal, Fa.""Emang kenapa lagi?" tanya Farah tak mengerti. Aku terdiam sesaat. Kupejamkan mata untuk sekedar bertenang. "Bang Haikal akan menjemput Harry," ucapku dengan wajah sendu. "Kan emang dari awal kesepakatannya kadang Harry bersamamu, kadang bersama Haikal." Farah mengerutkan dahi. "Bang Haikal mengancamku. Jika aku tetap ingin bercerai, maka Harry a
Aku menatap tajam Bang Haikal yang masih terpaku di depan pintu. Namun lelaki itu menghindari tatapanku. "Ibu mau bertemu Harry?" tanyaku berusaha seramah mungkin. "Aku akan membawa Harry bersamaku. Aku yang akan merawatnya."Detik ini hatiku kembali terluka, karena tak bisa menahan Harry untuk tetap bersamaku. Aku memang bukan siapa-siapanya Harry. Hanya saja, hati ini terlalu berat untuk berpisah dengan dia yang hampir seumur hidupnya dihabiskannya bersamaku. Aku terdiam lama. Menata hati yang kembali terasa nyeri. Berkali-kali Bang Haikal menoreh luka untukku. Mungkin melepas Harry pada keluarganya memang langkah yang tepat, agar aku bisa terbebas dari luka penghianatan Bang Haikal. "Baiklah. Bawalah Harry bersama Ibu. Aku titip Harry untuk Ibu jaga," ucapku dengan mata mengembun. Bang Haikal terlihat kaget dengan kata-kataku barusan. Wajah laki-laki itu berubah gusar. Namun tetap diam. Sepertinya ia tak menyangka jika aku akan sepasrah ini melepas Harry. Aku sangat menyayang
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r