"Wah, Zana gak bawa pakaian ganti, Kak. Kenapa gak bilang dari kemaren?“ tanyaku, setelah mata menatap perempuan beranak dua itu. "Bang Hamka juga barusan ngasih tau Kakak. Gak papa, kan bisa pake baju Kakak." Aku menatapnya dengan alis bertaut. "Mana bisa Zana pake baju Kakak. Yang ada malah cingkrang, Kak," ucapku terkikik geli. Kak Cindy nyengir kuda. Kak Cindy memang agak berisi, tapi tinggi badannya jauh di bawahku. "Kan gak papa, Na, kalo cuma daster atau baju tidur. Nanti baju yang ini biar langsung dicuci. Harry bisa pake baju punya Alif," saran Kak Cindy. "Iya, iya, Zana ngalah." Bibirku mengerucut. Kak Cindy tersenyum menang. "Iya, giliran. Minggu depan nginep di rumah kakak ya, Na." Kali ini Kak Ana nyeletuk. "Ih, kok Zana jadi kayak apa, gitu, asal maen giliran aja." Sewotku. "Lah, kok, gak adil, Na?" "Iya, iya. Bulan depan ya, Kak." Akhirnya aku menyerah. *****Haikal baru saja memutar gagang pintu untuk masuk rumah, ketika seorang laki-laki seumurannya datang me
Haikal spontan menatap lekat perempuan itu, bibirnya mengatup rapat. Sedangkan Kak Lila menatap tak mengerti. Ada sesuatu yang tak bersahabat yang ia tangkap. Dengan langkah gontai Yuni melangkah mendekat ke arah Haikal. "Di mana anak itu sekarang?"Haikal masih bergeming. Kepalanya sibuk menerka maksud Yuni mencari Harry. "Anak itu sekarang sudah di tempat yang tepat, dirawat oleh orang yang tepat," jawab Haikal datar. "Katakan saja di mana? Aku ingin menemuinya. Rania yang memintaku untuk menemuinya di sini.""Apa aku tak salah dengar?" tanya Haikal heran. Yuni terlihat salah tingkah. Ia merutuki dirinya sendiri. Tidak bertanya lebih banyak pada Rania tentang Harry, membuatnya terlihat bodoh di hadapan Haikal. "Rania baru menyadari kesalahannya sekarang!"Mendengar ucapan Yuni barusan, alis Haikal bertaut. Ia tak habis pikir, apa sebenarnya alasan perempuan ini bertanya tentang Harry? Mungkinkah Rania memang sudah menyadari kekeliruannya selama ini? Tapi kenapa tidak dirinya s
Haikal terdiam. Sepertinya ia kehabisan cara untuk meyakinkan perempuan itu untuk merelakan Harry bersama Zana untuk sementara. "Kumohon, jangan sekarang! Jika sudah waktunya, aku yang akan mengenalkan Harry pada kalian," ujar Haikal memelan.Haikal memilih berbalik dan melangkah masuk. Tak dihiraukannya Yuni yang masih mematung di depan rumah dengan bersimbah air mata. Kak Lila memilih melangkah menuju halaman rumahnya tanpa mau mengganggu Yuni yang masih saja menangis. Bukan tak ingin memberi tau Yuni di mana Harry berada. Namun Haikal tak ingin sesuatu yang buruk kembali terjadi pada Harry, mengingat Harry baru saja bernapas lega. "Meski kau tak mengizinkanku bertemu Harry, setidaknya anggap aku sebagai orang tuamu!" lirih Yuni seraya mengusap sudut matanya. "Jika tidak berhasil membawa Harry untuk Mila, maka cara lain juga tak apa," gumam Yuni. Mila adalah sahabatnya yang menginginkan Harry. Pastinya dengan imbalan yang lumayan. Haikal menghentikan langkahnya, kemudian berbali
Kami tengah berkumpul untuk makan malam di dapur rumah Bang Hamka. Keluarga yang tadi siang berkumpul di rumah Farah, kini kembali berkumpul di sini. Termasuk Ibu dan Ayah, Farah dan Bang Fikri. Mereka semua berhasil memberi kejutan untukku. Kejutan yang aku sendiri tak pernah terpikirkan. Tak pernah terbayangkan jika Bang Fikri akan menikah dengan Farah, karena selama ini mereka tak pernah terlihat memiliki hubungan yang spesial. bahkan aku sempat menebak jika Farah akan menikah dengan Bang Amar. Entahlah, selama ini aku tak mampu menebak rencana mereka. Hingga untuk momen saat ini, mereka sudah jauh-jauh hari mengaturnya. Ibu pun sudah menyiapkan pakaianku dan Harry untuk menginap malam ini. Teras halaman belakang yang dilengkapi dengan kolam ikan, serta saung dan taman kecil itu kini disulap menjadi rumah makan lesehan. Satu buah tikar besar tergelar, dengan menu masakan beraneka ragam. Mulai dari tongkol sarden, nila masak asam manis, gulai ayam, dan beberapa menu lainnya,
"Ih, kamu kayak Mbak Kun aja, Fa. Datang tiba-tiba." Aku memegang dada dengan detak jantung berpacu. "Jahat amat sih, Na. Calon kakak ipar secantik aku dibilang kayak Mbak Kun," sewot Farah, membuatku tertawa geli. "Iya, iya, maaf." Aku menyenderkan kepala pada bahu Farah. Tatapan mata menatap kosong ikan-ikan yang masih saja terjaga. "Apa rencana kamu setelah ini, Na?" Suara Farah terdengar serius. Aku menarik napas dalam mengeluarkannya perlahan. "Ibu menyuruhku kuliah, Fa." "Wah, bagus itu. Kamu setuju?""Sepertinya.""Semangat dong, Na. Kamu masih muda, Na. Cantik lagi." Farah memencet hidungku. Tanganku spontan menampar paha Farah. "Kebiasaan kamu, Fa. Orang lagi serius juga." Gadis itu tertawa ngakak. "Padahal isinya dua biji, tapi hebohnya bisa ngalahin pasar ikan," celetuk Bang Fikri yang berjalan mendekat ke arah kami. "Makanya nyari calon istri jangan yang suka usil kayak gini." Bibirku mencetut. "Kamu gak suka?" tanya Bang Fikri yang duduk di samping Farah. "Suka,
Aku terdiam sibuk menata debar jantung yang tak beraturan. Benarkah yang dikatakan Bang Fikri barusan? Berarti ucapan Bang Amar saat menjemputku waktu itu memang benar. Wajahku serasa menghangat. Pikiranku mengembara jauh sebelum mengenal Bang Haikal. Hati ini lebih dulu tertarik pada kepribadian Bang Amar. Lelaki tampan nan santun yang kukagumi sejak dulu. "Tapi mengapa dia tak pernah mengatakannya padaku? Bahkan dulu tersenyum padaku saja seperti beban baginya."Bang Fikri menatapku lalu tertawa geli. "Kau tahu apa alasan Amar melakukannya?" Aku menggeleng. Bang Fikri menarik napas panjang lalu menghembusnya perlahan. "Jauh sebelum kau dilamar Haikal, ia sudah mempersiapkan mentalnya untuk mengatakannya padamu …," Bang Fikri menjeda kalimatnya. "Hanya saja sebelum ia sempat mengatakannya, kamu membawa Haikal untuk bertemu Ibu, tepat saat Amar menemuiku di rumah Ibu."Yang dikatakan Bang Fikri memang benar. Saat Bang Haikal pertama kali ke rumah menemui orang tuaku, Bang Amar mem
Keduanya terdiam sesaat, mungkin cukup mengerti tentang luka hatiku yang belum kering. "Semoga dipermudah, Na. Kau pasti menemukan kebahagiaanmu sendiri, Na. Percayalah!" Farah merengkuh bahuku. "Makasih, Fa. Aku bersyukur memiliki kalian yang selalu ada untukku."Harry berjalan mendekat ke arah kami. Tangan kanannya memegang ponsel milikku yang tengah berdering. Aku memang meletakkannya di ruang tv sejak tadi. "Ni, Nda." Harry mengulur tangannya yang berisi ponsel padaku."Makasih, Sayang," ucapku dengan tersenyum padanya. Panggilan masuk dari Bang Haikal. Kutekan tombol dial seraya bangkit untuk menjauh dari Farah dan Bang Fikri. "Assalamu'alaikum. Ada apa?" "Wa'alaikumsalaam. Aku mau bicara,Na.""Katakan saja!" ucapku dingin. "Kuharap kamu memikir kembali keputusanmu, Na. Alangkah baiknya jika ikatan antara kita kembali utuh.""Kaca yang telah retak tak akan bisa kembali utuh.""Mengapa kau tak memberiku kesempatan, Na. Bukankah manusia memang tempatnya khilaf." Suara Bang H
"Biarkan Harry di sini dulu, jangan terburu-buru. Aku tak ingin kejadian seperti beberapa waktu lalu terulang lagi." Aku berusaha mengontrol emosi. "Aku bisa saja membujuk neneknya agak membiarkan Harry bersamamu, tapi dengan syarat kita harus kembali seperti dulu."Jika saja lelaki itu ada di hadapanku, ingin rasanya kulempar ponsel yang tengah menempel di telingaku ke wajahnya. Aku benar-benar emosi dibuatnya. Kumatikan sambungan telpon secara sepihak. Benar-benar muak rasanya mendengar perkataannya. Aku kembali ke tempat semula. Hanya tinggal Farah yang masih setia di sana. "Kenapa sih, Na. Wajahmu kusut amat?" "Bang Haikal, Fa.""Emang kenapa lagi?" tanya Farah tak mengerti. Aku terdiam sesaat. Kupejamkan mata untuk sekedar bertenang. "Bang Haikal akan menjemput Harry," ucapku dengan wajah sendu. "Kan emang dari awal kesepakatannya kadang Harry bersamamu, kadang bersama Haikal." Farah mengerutkan dahi. "Bang Haikal mengancamku. Jika aku tetap ingin bercerai, maka Harry a