Kami tengah berkumpul untuk makan malam di dapur rumah Bang Hamka. Keluarga yang tadi siang berkumpul di rumah Farah, kini kembali berkumpul di sini. Termasuk Ibu dan Ayah, Farah dan Bang Fikri. Mereka semua berhasil memberi kejutan untukku. Kejutan yang aku sendiri tak pernah terpikirkan. Tak pernah terbayangkan jika Bang Fikri akan menikah dengan Farah, karena selama ini mereka tak pernah terlihat memiliki hubungan yang spesial. bahkan aku sempat menebak jika Farah akan menikah dengan Bang Amar. Entahlah, selama ini aku tak mampu menebak rencana mereka. Hingga untuk momen saat ini, mereka sudah jauh-jauh hari mengaturnya. Ibu pun sudah menyiapkan pakaianku dan Harry untuk menginap malam ini. Teras halaman belakang yang dilengkapi dengan kolam ikan, serta saung dan taman kecil itu kini disulap menjadi rumah makan lesehan. Satu buah tikar besar tergelar, dengan menu masakan beraneka ragam. Mulai dari tongkol sarden, nila masak asam manis, gulai ayam, dan beberapa menu lainnya,
"Ih, kamu kayak Mbak Kun aja, Fa. Datang tiba-tiba." Aku memegang dada dengan detak jantung berpacu. "Jahat amat sih, Na. Calon kakak ipar secantik aku dibilang kayak Mbak Kun," sewot Farah, membuatku tertawa geli. "Iya, iya, maaf." Aku menyenderkan kepala pada bahu Farah. Tatapan mata menatap kosong ikan-ikan yang masih saja terjaga. "Apa rencana kamu setelah ini, Na?" Suara Farah terdengar serius. Aku menarik napas dalam mengeluarkannya perlahan. "Ibu menyuruhku kuliah, Fa." "Wah, bagus itu. Kamu setuju?""Sepertinya.""Semangat dong, Na. Kamu masih muda, Na. Cantik lagi." Farah memencet hidungku. Tanganku spontan menampar paha Farah. "Kebiasaan kamu, Fa. Orang lagi serius juga." Gadis itu tertawa ngakak. "Padahal isinya dua biji, tapi hebohnya bisa ngalahin pasar ikan," celetuk Bang Fikri yang berjalan mendekat ke arah kami. "Makanya nyari calon istri jangan yang suka usil kayak gini." Bibirku mencetut. "Kamu gak suka?" tanya Bang Fikri yang duduk di samping Farah. "Suka,
Aku terdiam sibuk menata debar jantung yang tak beraturan. Benarkah yang dikatakan Bang Fikri barusan? Berarti ucapan Bang Amar saat menjemputku waktu itu memang benar. Wajahku serasa menghangat. Pikiranku mengembara jauh sebelum mengenal Bang Haikal. Hati ini lebih dulu tertarik pada kepribadian Bang Amar. Lelaki tampan nan santun yang kukagumi sejak dulu. "Tapi mengapa dia tak pernah mengatakannya padaku? Bahkan dulu tersenyum padaku saja seperti beban baginya."Bang Fikri menatapku lalu tertawa geli. "Kau tahu apa alasan Amar melakukannya?" Aku menggeleng. Bang Fikri menarik napas panjang lalu menghembusnya perlahan. "Jauh sebelum kau dilamar Haikal, ia sudah mempersiapkan mentalnya untuk mengatakannya padamu …," Bang Fikri menjeda kalimatnya. "Hanya saja sebelum ia sempat mengatakannya, kamu membawa Haikal untuk bertemu Ibu, tepat saat Amar menemuiku di rumah Ibu."Yang dikatakan Bang Fikri memang benar. Saat Bang Haikal pertama kali ke rumah menemui orang tuaku, Bang Amar mem
Keduanya terdiam sesaat, mungkin cukup mengerti tentang luka hatiku yang belum kering. "Semoga dipermudah, Na. Kau pasti menemukan kebahagiaanmu sendiri, Na. Percayalah!" Farah merengkuh bahuku. "Makasih, Fa. Aku bersyukur memiliki kalian yang selalu ada untukku."Harry berjalan mendekat ke arah kami. Tangan kanannya memegang ponsel milikku yang tengah berdering. Aku memang meletakkannya di ruang tv sejak tadi. "Ni, Nda." Harry mengulur tangannya yang berisi ponsel padaku."Makasih, Sayang," ucapku dengan tersenyum padanya. Panggilan masuk dari Bang Haikal. Kutekan tombol dial seraya bangkit untuk menjauh dari Farah dan Bang Fikri. "Assalamu'alaikum. Ada apa?" "Wa'alaikumsalaam. Aku mau bicara,Na.""Katakan saja!" ucapku dingin. "Kuharap kamu memikir kembali keputusanmu, Na. Alangkah baiknya jika ikatan antara kita kembali utuh.""Kaca yang telah retak tak akan bisa kembali utuh.""Mengapa kau tak memberiku kesempatan, Na. Bukankah manusia memang tempatnya khilaf." Suara Bang H
"Biarkan Harry di sini dulu, jangan terburu-buru. Aku tak ingin kejadian seperti beberapa waktu lalu terulang lagi." Aku berusaha mengontrol emosi. "Aku bisa saja membujuk neneknya agak membiarkan Harry bersamamu, tapi dengan syarat kita harus kembali seperti dulu."Jika saja lelaki itu ada di hadapanku, ingin rasanya kulempar ponsel yang tengah menempel di telingaku ke wajahnya. Aku benar-benar emosi dibuatnya. Kumatikan sambungan telpon secara sepihak. Benar-benar muak rasanya mendengar perkataannya. Aku kembali ke tempat semula. Hanya tinggal Farah yang masih setia di sana. "Kenapa sih, Na. Wajahmu kusut amat?" "Bang Haikal, Fa.""Emang kenapa lagi?" tanya Farah tak mengerti. Aku terdiam sesaat. Kupejamkan mata untuk sekedar bertenang. "Bang Haikal akan menjemput Harry," ucapku dengan wajah sendu. "Kan emang dari awal kesepakatannya kadang Harry bersamamu, kadang bersama Haikal." Farah mengerutkan dahi. "Bang Haikal mengancamku. Jika aku tetap ingin bercerai, maka Harry a
Aku menatap tajam Bang Haikal yang masih terpaku di depan pintu. Namun lelaki itu menghindari tatapanku. "Ibu mau bertemu Harry?" tanyaku berusaha seramah mungkin. "Aku akan membawa Harry bersamaku. Aku yang akan merawatnya."Detik ini hatiku kembali terluka, karena tak bisa menahan Harry untuk tetap bersamaku. Aku memang bukan siapa-siapanya Harry. Hanya saja, hati ini terlalu berat untuk berpisah dengan dia yang hampir seumur hidupnya dihabiskannya bersamaku. Aku terdiam lama. Menata hati yang kembali terasa nyeri. Berkali-kali Bang Haikal menoreh luka untukku. Mungkin melepas Harry pada keluarganya memang langkah yang tepat, agar aku bisa terbebas dari luka penghianatan Bang Haikal. "Baiklah. Bawalah Harry bersama Ibu. Aku titip Harry untuk Ibu jaga," ucapku dengan mata mengembun. Bang Haikal terlihat kaget dengan kata-kataku barusan. Wajah laki-laki itu berubah gusar. Namun tetap diam. Sepertinya ia tak menyangka jika aku akan sepasrah ini melepas Harry. Aku sangat menyayang
Empat bulan sudah waktuku berlalu tanpa Harry. Kini aku mulai terbiasa tanpanya. Meski awalnya terasa begitu berat, saat bayangan Harry kerap kali tergambar di kepalaku. Bahkan minggu pertama aku sering tiba-tiba melongo ke kamar, karena masih mengira Harry tidur di sana. Sejak hari kepergian Harry hingga kini aku tak pernah lagi bertemu anak itu. Pernah aku mencoba menghubungi Bang Haikal untuk menanyakan kabar Harry, sayangnya ia pun tak pernah tahu di mana Harry berada. Rasa ingin bertemu sering kali menggelitik hatiku. Hanya saja aku tak tahu kemana harus mencari. Minggu lalu aku mengunjungi rumah Rania, berharap aku bisa berjumpa Harry di sana, tapi rumah itu pun sudah dijual sejak sebulan lalu. Lagi-lagi hanya do'a yang mampu kulantunkan untuk kebaikan Harry saat rindu menyapa. Aku pun pernah meminta Bang Haikal menghubungi Rania, tapi nomor telpon Rania bahkan tak pernah aktif lagi. Entah apa yang terjadi, semenjak kepergian Harry, keluarga itu seakan hilang bak ditelan bumi
"Bi—bisa, Bang," jawabku tergagap, membuat Bang Amar tertawa geli. "Makasih, Na. Nanti Abang jemput kalo udah pulang, ya."Aku hanya mengangguk. Mobil Bang Amar berhenti tepat di depan gerbang kampus. Aku membuka pintu mobil dan turun setelah mobil berhenti sempurna. "Makasih, Bang," ucapku dengan wajah merona. Bang Amar membalas senyumku sambil mengangguk. "Iya, Na." Aku berdiri di pinggir jalan, menatap mobil Bang Amar hingga menghilang. Saat hendak melangkah masuk gerbang, mataku tak sengaja melihat Rossi teman sekelasku diantar lelaki paruh baya yang sangat kukenal. Mang Gani—suami bik Novi. Lelaki itu mencium kening Rossi setelah gadis itu membuka pintu untuk ke luar, membuat mata ini menatap tak percaya pemandangan di depan mataku. Aku menepis pikiran burukku tentang Rossi. Mungkin saja Mang Gani keluarga dekat Rossi. Kulanjutkan kaki, tanpa peduli dengan mereka berdua. Aku tak ingin kepalaku semakin sibuk memikirkan mereka. "Cieee, yang di anter cowok keren nan mapan.“