"Bi—bisa, Bang," jawabku tergagap, membuat Bang Amar tertawa geli. "Makasih, Na. Nanti Abang jemput kalo udah pulang, ya."Aku hanya mengangguk. Mobil Bang Amar berhenti tepat di depan gerbang kampus. Aku membuka pintu mobil dan turun setelah mobil berhenti sempurna. "Makasih, Bang," ucapku dengan wajah merona. Bang Amar membalas senyumku sambil mengangguk. "Iya, Na." Aku berdiri di pinggir jalan, menatap mobil Bang Amar hingga menghilang. Saat hendak melangkah masuk gerbang, mataku tak sengaja melihat Rossi teman sekelasku diantar lelaki paruh baya yang sangat kukenal. Mang Gani—suami bik Novi. Lelaki itu mencium kening Rossi setelah gadis itu membuka pintu untuk ke luar, membuat mata ini menatap tak percaya pemandangan di depan mataku. Aku menepis pikiran burukku tentang Rossi. Mungkin saja Mang Gani keluarga dekat Rossi. Kulanjutkan kaki, tanpa peduli dengan mereka berdua. Aku tak ingin kepalaku semakin sibuk memikirkan mereka. "Cieee, yang di anter cowok keren nan mapan.“
Kepalaku yang sejak tadi tertunduk karena memainkan ponsel, seketika mendongak. Pak Aidil sudah berdiri di depanku dengan tersenyum ramah. "Iya, Pak," jawabku singkat sambil membalas senyumnya. "Terima kasih, Kak, karena sudah menolongku waktu itu," ucapnya masih dengan posisi berdiri menghadap jalan raya. Sama sepertiku. "Sama-sama, Pak."Hening. Kali ini aku merasa sedikit canggung, setelah mengetahui Aidil adalah dosenku.Lucu sekali rasanya. Beberapa bulan lalu aku bahkan memanggilnya dengan sebutan 'kamu', karena memang usia Aidil tiga tahun dibawahku. Namun sekarang aku harus memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. "Sekarang udah mau pulang?" tanyanya berusaha mencairkan suasana. "Iya, Pak. Lagi nunggu dijemput temen," jawabku jujur. Di ujung sana, Ais terpaku di tempat dengan mata membulat menatap ke arah kami."Rumah Kakak di mana? Mau sekalian?" Tawarnya "Gak—gak usah, Pak. Kasian temen kalo tau-tau Zana ikut Bapak." Tolakku halus. Namun dengan alasan sebenarnya. "Ya suda
"Tadi pas aku tengah berjalan ke parkiran, aku lihat kamu lagi sama Pak Aidil. Jiwa kepo-ku meronta-ronta pas liat kalian. Jadi deh sampai sekarang gak pulang-pulang," jelas Aisyah membuat aku tertawa geli. "Makanya, kurangin dikit-dikit jiwa kepo-mu, Ai, biar gak sengsara." Ledekku. Aisya memonyongkan bibirnya. Aku baru saja mengabiskan makananku, ketika ponselku berdering. Pesan masuk dari Bang Amar. [Abang tunggu di depan, Na.]Tanpa membalas pesannya, aku bangkit untuk membayar makanan yang tadi kupesan. "Ini Bu, sekalian yang itu." Tunjukku pada Aisyah yang masih menghabiskan bakso porsi jumbo miliknya. "Ai, aku duluan ya, temen yang mau jemput dah sampai," ucapku setelah kembali mendekat ke arah Ais, untuk mengambil ranselku yang masih tergeletak di kursi yang tadi kududuki. "Oke, Na. Hati-hati, ya. Satu lagi, makasih udah dibayarin," jawab Aisyah dengan mulut penuhnya. "Sama-sama. Lain kali diet dikit, ya, biar aku gak kemahalan bayar makananmu." Candaku pada Ais. Gadis i
Bik Novi? Apa yang perempuan itu lakukan di sini? Dengan wajah penuh amarah perempuan itu memukul kaca mobil yang tertutup rapat dengan membabi buta. Pipinya basah oleh air mata.Seorang pria dewasa yang kutaksir berumur sekitar 40 tahun berusaha menenangkan. Namun tak digubris Bik Novi. Berkali-kali pula laki-laki paruh baya di sampingnya menggedor kuat pintu mobil, tapi tak juga memberi tanda-tanda pemilik mobil akan membuka pintu mobilnya. "Keluar! Keluar kau bajing*n!" teriak Bik Novi tanpa peduli kerumunan manusia yang menatapnya dengan bermacam sudut pandang. Samar kulihat di dalam mobil, dua orang berbeda jenis kukuh tetap berada di dalam, meski mereka sudah dikepung bak maling yang siap diamuk massa. Perempuan itu terjun dari kap mobil, berputar-putar di sekitarnya. Tatapannya jatuh pada sebatang balok pendek, sisa pembangunan gedung di sisi jalan. "Keluar kau, Gani! Atau akan kupecahkan kaca mobilmu! Tega-teganya kau main gila dengan wanita murahan itu, sampai kau lupa d
"Gak—gak papa, Bang." Aku tergagap. "Seperti pernah lihat ya, Na," ucap Bang Amar sambil memicingkan matanya, untuk memperjelas tatapannya. "Siapa?" "Itu, bapak sama ibu itu." Tangan Bang Amar menunjuk pada Mang Gani yang kini terduduk di tepi jalan, juga Bik Novi yang masih sibuk meluapkan amarahnya pada selingkuhan suaminya. Bang Amar terdiam, seperti merenung. Wajar saja ia pernah melihat Bik Novi ataupun Mang Gani, karena rumah mereka hanya berjarak lima puluh meter dari rumah Ibu. "Mau bantu?" tanya Bang Amar dengan senyum meledek. "Apanya?" Alisku bertaut. "Bantu menghajar perempuan yang bersama suaminya tadi." Senyum manisnya merekah. Aku tertawa geli mendengar ucapan Bang Amar. Ternyata asik juga kalau sudah cukup dekat dengan lelaki ini. "Mau lanjut?" tanya Bang Amar meminta persetujuanku. "Boleh," ucapku dengan sekali anggukan. Aku pun tak ingin berlama-lama menatap ulah Bik Novi yang kesetanan. Aku pun tak berniat untuk keluar, karena rasa akit atas ucapannya beb
Debur ombak yang menghantam bebatuan tak mampu mereda detak jantung yang semakin kencang berdegub. Penyataan macam apa yang baru saja kudengar? Apakah ini tidak terlalu cepat? Aku berusaha menata hati, mencari jawaban apa yang akan kuutarakan. Tak kupungkiri jika rasa itu begitu kuat, hanya saja luka yang belum sempurna mengering membuat rasa takut itu lembali muncul. Takut luka serupa akan kembali tercipta. "Abang yakin?" tanyaku. Ingin kulihat seberapa seriusnya perasaan Bang Amar padaku. Sebenarnya aku begitu tersanjung dengan lamaran langsung yang Bang Amar utarakan, karena memang aku tak suka berpacaran terlalu lama. Dengan Bang Haikal pun kami hanya melewati masa kenalan selama dua bulan, setelahnya aku memintanya datang pada Ibu dan Ayah jika memang berniat serius padaku. Namun kali ini terasa berbeda, karena luka penghianatan itu masih terasa begitu perih. "Apa kau masih tak yakin?" jawab Bang Amar dengan balik bertanya. Tatapan mata yang begitu dalam seakan menusuk jantu
"Sampai Abang dan keluarga Abang bisa menerimaku, meski andaikan aku memang benar-benar tidak bisa memiliki anak kelak."Aku sangat paham, jika syarat itu terlalu berat. Namun itulah yang kuinginkan. Aku butuh seorang suami beserta keluarganya yang bisa menerimaku meski dalam keadaan mandul. "Bukankah, aku yang akan menikahimu, Na. Sebegitu pentingkah keluargaku tahu tentang itu?" Ada rasa kecewa dari kalimat Bang Amar yang kudengar. Keluarganya memang begitu dekat dengan keluargaku, karena memang papanya Bang Amar adalah teman lama Ayah saat masih SMA dulu. Namun, aku tak ingin berpikir syarat yang kuajukan akan mudah terlaksana. "Zana ingin diterima dengan baik dalam keluarga suami Zana, Bang. Karena ketika Zana menikah dengan Abang, berarti Zana juga menikahi keluarga Abang. Jadi restu itu sangat penting bagi Zana." Luka itu kembali terasa perih, saat kalimat barusan terucap. "Jika keluarga Abang tak menyukaiku, anggap saja kita tak berjodoh." Lanjutku, membuat Bang Amar tersent
Semua terdiam. Pun dengan Ibu Melia. Ia tak menyangka Amar akan menyentaknya dengan pertanyaan yang begitu sulit ia jawab. Bagaimana pun ia sangat menginginkan anaknya bahagia dengan pasangannya, tapi bukan dengan perempuan yang telah gagal berumah tangga seperti Zana yang ia inginkan. Selain itu, ia juga tak ingin nama baiknya terhapus gara-gara memiliki menantu seorang janda. Selama ini seluruh penghuni rumah selalu tunduk pada titahnya, begitu juga dengan Amar. Anak sulungnya itu selama ini ia kenal penurut, tak pernah ia dengar anak yang ia lahirkan tiga puluh tahun lalu itu melawannya. "Pastinya Mama ingin kau bahagia tanpa mencoreng wajah Mama," jawab Ibu Melia dengan suara memelan. "Aku hanya menginginkan Zana untuk menjadi istriku, bukan perempuan lain. Tolong beri restu kalian untukku." Amar memohon, kepalanya tertunduk. Pak salim membenarkan posisi duduknya, menghadap Amar yang sejak tadi duduk di sampingnya. Cukup lama lelaki itu terdiam, matanya menatap dalam anak lak
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r