"Tadi pas aku tengah berjalan ke parkiran, aku lihat kamu lagi sama Pak Aidil. Jiwa kepo-ku meronta-ronta pas liat kalian. Jadi deh sampai sekarang gak pulang-pulang," jelas Aisyah membuat aku tertawa geli. "Makanya, kurangin dikit-dikit jiwa kepo-mu, Ai, biar gak sengsara." Ledekku. Aisya memonyongkan bibirnya. Aku baru saja mengabiskan makananku, ketika ponselku berdering. Pesan masuk dari Bang Amar. [Abang tunggu di depan, Na.]Tanpa membalas pesannya, aku bangkit untuk membayar makanan yang tadi kupesan. "Ini Bu, sekalian yang itu." Tunjukku pada Aisyah yang masih menghabiskan bakso porsi jumbo miliknya. "Ai, aku duluan ya, temen yang mau jemput dah sampai," ucapku setelah kembali mendekat ke arah Ais, untuk mengambil ranselku yang masih tergeletak di kursi yang tadi kududuki. "Oke, Na. Hati-hati, ya. Satu lagi, makasih udah dibayarin," jawab Aisyah dengan mulut penuhnya. "Sama-sama. Lain kali diet dikit, ya, biar aku gak kemahalan bayar makananmu." Candaku pada Ais. Gadis i
Bik Novi? Apa yang perempuan itu lakukan di sini? Dengan wajah penuh amarah perempuan itu memukul kaca mobil yang tertutup rapat dengan membabi buta. Pipinya basah oleh air mata.Seorang pria dewasa yang kutaksir berumur sekitar 40 tahun berusaha menenangkan. Namun tak digubris Bik Novi. Berkali-kali pula laki-laki paruh baya di sampingnya menggedor kuat pintu mobil, tapi tak juga memberi tanda-tanda pemilik mobil akan membuka pintu mobilnya. "Keluar! Keluar kau bajing*n!" teriak Bik Novi tanpa peduli kerumunan manusia yang menatapnya dengan bermacam sudut pandang. Samar kulihat di dalam mobil, dua orang berbeda jenis kukuh tetap berada di dalam, meski mereka sudah dikepung bak maling yang siap diamuk massa. Perempuan itu terjun dari kap mobil, berputar-putar di sekitarnya. Tatapannya jatuh pada sebatang balok pendek, sisa pembangunan gedung di sisi jalan. "Keluar kau, Gani! Atau akan kupecahkan kaca mobilmu! Tega-teganya kau main gila dengan wanita murahan itu, sampai kau lupa d
"Gak—gak papa, Bang." Aku tergagap. "Seperti pernah lihat ya, Na," ucap Bang Amar sambil memicingkan matanya, untuk memperjelas tatapannya. "Siapa?" "Itu, bapak sama ibu itu." Tangan Bang Amar menunjuk pada Mang Gani yang kini terduduk di tepi jalan, juga Bik Novi yang masih sibuk meluapkan amarahnya pada selingkuhan suaminya. Bang Amar terdiam, seperti merenung. Wajar saja ia pernah melihat Bik Novi ataupun Mang Gani, karena rumah mereka hanya berjarak lima puluh meter dari rumah Ibu. "Mau bantu?" tanya Bang Amar dengan senyum meledek. "Apanya?" Alisku bertaut. "Bantu menghajar perempuan yang bersama suaminya tadi." Senyum manisnya merekah. Aku tertawa geli mendengar ucapan Bang Amar. Ternyata asik juga kalau sudah cukup dekat dengan lelaki ini. "Mau lanjut?" tanya Bang Amar meminta persetujuanku. "Boleh," ucapku dengan sekali anggukan. Aku pun tak ingin berlama-lama menatap ulah Bik Novi yang kesetanan. Aku pun tak berniat untuk keluar, karena rasa akit atas ucapannya beb
Debur ombak yang menghantam bebatuan tak mampu mereda detak jantung yang semakin kencang berdegub. Penyataan macam apa yang baru saja kudengar? Apakah ini tidak terlalu cepat? Aku berusaha menata hati, mencari jawaban apa yang akan kuutarakan. Tak kupungkiri jika rasa itu begitu kuat, hanya saja luka yang belum sempurna mengering membuat rasa takut itu lembali muncul. Takut luka serupa akan kembali tercipta. "Abang yakin?" tanyaku. Ingin kulihat seberapa seriusnya perasaan Bang Amar padaku. Sebenarnya aku begitu tersanjung dengan lamaran langsung yang Bang Amar utarakan, karena memang aku tak suka berpacaran terlalu lama. Dengan Bang Haikal pun kami hanya melewati masa kenalan selama dua bulan, setelahnya aku memintanya datang pada Ibu dan Ayah jika memang berniat serius padaku. Namun kali ini terasa berbeda, karena luka penghianatan itu masih terasa begitu perih. "Apa kau masih tak yakin?" jawab Bang Amar dengan balik bertanya. Tatapan mata yang begitu dalam seakan menusuk jantu
"Sampai Abang dan keluarga Abang bisa menerimaku, meski andaikan aku memang benar-benar tidak bisa memiliki anak kelak."Aku sangat paham, jika syarat itu terlalu berat. Namun itulah yang kuinginkan. Aku butuh seorang suami beserta keluarganya yang bisa menerimaku meski dalam keadaan mandul. "Bukankah, aku yang akan menikahimu, Na. Sebegitu pentingkah keluargaku tahu tentang itu?" Ada rasa kecewa dari kalimat Bang Amar yang kudengar. Keluarganya memang begitu dekat dengan keluargaku, karena memang papanya Bang Amar adalah teman lama Ayah saat masih SMA dulu. Namun, aku tak ingin berpikir syarat yang kuajukan akan mudah terlaksana. "Zana ingin diterima dengan baik dalam keluarga suami Zana, Bang. Karena ketika Zana menikah dengan Abang, berarti Zana juga menikahi keluarga Abang. Jadi restu itu sangat penting bagi Zana." Luka itu kembali terasa perih, saat kalimat barusan terucap. "Jika keluarga Abang tak menyukaiku, anggap saja kita tak berjodoh." Lanjutku, membuat Bang Amar tersent
Semua terdiam. Pun dengan Ibu Melia. Ia tak menyangka Amar akan menyentaknya dengan pertanyaan yang begitu sulit ia jawab. Bagaimana pun ia sangat menginginkan anaknya bahagia dengan pasangannya, tapi bukan dengan perempuan yang telah gagal berumah tangga seperti Zana yang ia inginkan. Selain itu, ia juga tak ingin nama baiknya terhapus gara-gara memiliki menantu seorang janda. Selama ini seluruh penghuni rumah selalu tunduk pada titahnya, begitu juga dengan Amar. Anak sulungnya itu selama ini ia kenal penurut, tak pernah ia dengar anak yang ia lahirkan tiga puluh tahun lalu itu melawannya. "Pastinya Mama ingin kau bahagia tanpa mencoreng wajah Mama," jawab Ibu Melia dengan suara memelan. "Aku hanya menginginkan Zana untuk menjadi istriku, bukan perempuan lain. Tolong beri restu kalian untukku." Amar memohon, kepalanya tertunduk. Pak salim membenarkan posisi duduknya, menghadap Amar yang sejak tadi duduk di sampingnya. Cukup lama lelaki itu terdiam, matanya menatap dalam anak lak
Tok! Tok! Tok! Diseberang pintu kamar, Ibu Melia tengah berdiri dengan wajah khawatir. Di tangannya terdapat nampan berisi makanan serta segelas susu yang ia buat sendiri untuk anak sulungnya itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu itu, tapi tak kunjung ada tanda-tanda jika pintu kayu itu akan terbuka. "Bang, tolong bukain pintunya sebentar," ucap sang Mama lembut.Hening. Tak ada suara yang timbul dari dalam kamar. Yang terdengar hanyalah deru napas Ibu Melia yang memburu. Perempuan itu terlihat tak tega melihat buah hatinya itu menderita. Namun ia juga tak mungkin mengizinkan Amar menikahi Zana. "Nak, Mama sudah bawakan rendang tongkol sama oseng brokoli kesukaanmu. Makan dulu, ya. Biar gak sakit."Masih sama. Tak ada tanda-tanda Amar akan membukakan pintu untuk perempuan itu. Akhirnya Ibu Melia memutuskan untuk turun dengan wajah kecewa sekaligus khawatir, setelah usahanya tidak membuahkan hasil. "Gimana ini, Pa? Amar masih juga tak ingin makan," ucap Ibu Melia pada sang suami
Matahari baru saja tergelincir saat adzan dzuhur mulai berkumandang. Aku melangkah gontai menuju mushola kampus yang berjarak sekitar lima puluh meter dari kelas. Sudah lebih dari dua minggu aku tidak mendengar kabar lelaki yang sempat mengutarakan keseriusannya saat kami berada di tepi pantai waktu itu. Tak jarang aku mengkhawatirkan niatnya tak mendapat restu. Namun semampuku untuk berpikir yang baik-baik, berharap akan berbuah berita baik pula. Seperti kali ini. Setiap langkah kaki, bayangan Bang Amar memintaku untuk menikah dengannya kembali menari di kepala, membuatku tak mampu menahan untuk menghubunginya. Namun berkali-kali menelpon pun nomornya tak pernah aktif. Masih sama seperti kemari-kemarin. Ingin kutanyakan pada keluarganya, tapi rasa minder membuatku mengurungkan niatku. Pernah kutanyakan pada Bang Fikri dua hari lalu. Jawabannya pun sama, Bang Amar beberapa hari terakhir tak pernah menghubungi Bang Fikri. Aku tak ingin berpikir buruk tentang kemungkinan rasa di h