"Gak—gak papa, Bang." Aku tergagap. "Seperti pernah lihat ya, Na," ucap Bang Amar sambil memicingkan matanya, untuk memperjelas tatapannya. "Siapa?" "Itu, bapak sama ibu itu." Tangan Bang Amar menunjuk pada Mang Gani yang kini terduduk di tepi jalan, juga Bik Novi yang masih sibuk meluapkan amarahnya pada selingkuhan suaminya. Bang Amar terdiam, seperti merenung. Wajar saja ia pernah melihat Bik Novi ataupun Mang Gani, karena rumah mereka hanya berjarak lima puluh meter dari rumah Ibu. "Mau bantu?" tanya Bang Amar dengan senyum meledek. "Apanya?" Alisku bertaut. "Bantu menghajar perempuan yang bersama suaminya tadi." Senyum manisnya merekah. Aku tertawa geli mendengar ucapan Bang Amar. Ternyata asik juga kalau sudah cukup dekat dengan lelaki ini. "Mau lanjut?" tanya Bang Amar meminta persetujuanku. "Boleh," ucapku dengan sekali anggukan. Aku pun tak ingin berlama-lama menatap ulah Bik Novi yang kesetanan. Aku pun tak berniat untuk keluar, karena rasa akit atas ucapannya beb
Debur ombak yang menghantam bebatuan tak mampu mereda detak jantung yang semakin kencang berdegub. Penyataan macam apa yang baru saja kudengar? Apakah ini tidak terlalu cepat? Aku berusaha menata hati, mencari jawaban apa yang akan kuutarakan. Tak kupungkiri jika rasa itu begitu kuat, hanya saja luka yang belum sempurna mengering membuat rasa takut itu lembali muncul. Takut luka serupa akan kembali tercipta. "Abang yakin?" tanyaku. Ingin kulihat seberapa seriusnya perasaan Bang Amar padaku. Sebenarnya aku begitu tersanjung dengan lamaran langsung yang Bang Amar utarakan, karena memang aku tak suka berpacaran terlalu lama. Dengan Bang Haikal pun kami hanya melewati masa kenalan selama dua bulan, setelahnya aku memintanya datang pada Ibu dan Ayah jika memang berniat serius padaku. Namun kali ini terasa berbeda, karena luka penghianatan itu masih terasa begitu perih. "Apa kau masih tak yakin?" jawab Bang Amar dengan balik bertanya. Tatapan mata yang begitu dalam seakan menusuk jantu
"Sampai Abang dan keluarga Abang bisa menerimaku, meski andaikan aku memang benar-benar tidak bisa memiliki anak kelak."Aku sangat paham, jika syarat itu terlalu berat. Namun itulah yang kuinginkan. Aku butuh seorang suami beserta keluarganya yang bisa menerimaku meski dalam keadaan mandul. "Bukankah, aku yang akan menikahimu, Na. Sebegitu pentingkah keluargaku tahu tentang itu?" Ada rasa kecewa dari kalimat Bang Amar yang kudengar. Keluarganya memang begitu dekat dengan keluargaku, karena memang papanya Bang Amar adalah teman lama Ayah saat masih SMA dulu. Namun, aku tak ingin berpikir syarat yang kuajukan akan mudah terlaksana. "Zana ingin diterima dengan baik dalam keluarga suami Zana, Bang. Karena ketika Zana menikah dengan Abang, berarti Zana juga menikahi keluarga Abang. Jadi restu itu sangat penting bagi Zana." Luka itu kembali terasa perih, saat kalimat barusan terucap. "Jika keluarga Abang tak menyukaiku, anggap saja kita tak berjodoh." Lanjutku, membuat Bang Amar tersent
Semua terdiam. Pun dengan Ibu Melia. Ia tak menyangka Amar akan menyentaknya dengan pertanyaan yang begitu sulit ia jawab. Bagaimana pun ia sangat menginginkan anaknya bahagia dengan pasangannya, tapi bukan dengan perempuan yang telah gagal berumah tangga seperti Zana yang ia inginkan. Selain itu, ia juga tak ingin nama baiknya terhapus gara-gara memiliki menantu seorang janda. Selama ini seluruh penghuni rumah selalu tunduk pada titahnya, begitu juga dengan Amar. Anak sulungnya itu selama ini ia kenal penurut, tak pernah ia dengar anak yang ia lahirkan tiga puluh tahun lalu itu melawannya. "Pastinya Mama ingin kau bahagia tanpa mencoreng wajah Mama," jawab Ibu Melia dengan suara memelan. "Aku hanya menginginkan Zana untuk menjadi istriku, bukan perempuan lain. Tolong beri restu kalian untukku." Amar memohon, kepalanya tertunduk. Pak salim membenarkan posisi duduknya, menghadap Amar yang sejak tadi duduk di sampingnya. Cukup lama lelaki itu terdiam, matanya menatap dalam anak lak
Tok! Tok! Tok! Diseberang pintu kamar, Ibu Melia tengah berdiri dengan wajah khawatir. Di tangannya terdapat nampan berisi makanan serta segelas susu yang ia buat sendiri untuk anak sulungnya itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu itu, tapi tak kunjung ada tanda-tanda jika pintu kayu itu akan terbuka. "Bang, tolong bukain pintunya sebentar," ucap sang Mama lembut.Hening. Tak ada suara yang timbul dari dalam kamar. Yang terdengar hanyalah deru napas Ibu Melia yang memburu. Perempuan itu terlihat tak tega melihat buah hatinya itu menderita. Namun ia juga tak mungkin mengizinkan Amar menikahi Zana. "Nak, Mama sudah bawakan rendang tongkol sama oseng brokoli kesukaanmu. Makan dulu, ya. Biar gak sakit."Masih sama. Tak ada tanda-tanda Amar akan membukakan pintu untuk perempuan itu. Akhirnya Ibu Melia memutuskan untuk turun dengan wajah kecewa sekaligus khawatir, setelah usahanya tidak membuahkan hasil. "Gimana ini, Pa? Amar masih juga tak ingin makan," ucap Ibu Melia pada sang suami
Matahari baru saja tergelincir saat adzan dzuhur mulai berkumandang. Aku melangkah gontai menuju mushola kampus yang berjarak sekitar lima puluh meter dari kelas. Sudah lebih dari dua minggu aku tidak mendengar kabar lelaki yang sempat mengutarakan keseriusannya saat kami berada di tepi pantai waktu itu. Tak jarang aku mengkhawatirkan niatnya tak mendapat restu. Namun semampuku untuk berpikir yang baik-baik, berharap akan berbuah berita baik pula. Seperti kali ini. Setiap langkah kaki, bayangan Bang Amar memintaku untuk menikah dengannya kembali menari di kepala, membuatku tak mampu menahan untuk menghubunginya. Namun berkali-kali menelpon pun nomornya tak pernah aktif. Masih sama seperti kemari-kemarin. Ingin kutanyakan pada keluarganya, tapi rasa minder membuatku mengurungkan niatku. Pernah kutanyakan pada Bang Fikri dua hari lalu. Jawabannya pun sama, Bang Amar beberapa hari terakhir tak pernah menghubungi Bang Fikri. Aku tak ingin berpikir buruk tentang kemungkinan rasa di h
"Gak usah banyak gaya, deh. Jadi janda mandul aja belagu," ucapnya dengan tangan terlipat di dada. Semua yang mendengar mengedarkan pandangannya ke arahku. Aku tak sanggup menatap mata mereka satu-persatu. Kurasakan wajahku memerah seiring emosi yang meluap-luap. Tanganku mengepal kuat.Aisyah menarik tanganku untuk kembali berjalan, agar aku tak meladeni perkataan Dinda."Sudah, Na. Mulut Dinda memang begitu. Gak usah diladenin, yang ada cuma jelek-jelekin namamu." Aisyah menyemangatiku. Baru saja aku ingin menurut perkataan Ais. Dinda kembali berucap. "Wajar saja temennya cuma si Ais, udah gembrot, item lagi." Tawa tiga manusia tak punya hati itu pecah. Mereka menertawakan aku dan Aisah yang bagi mereka kami manusia yang tak seberuntung mereka. Ais terdiam. Wajahnya memerah. Sesaat kemudian kakinya melangkah mendekat ke arah Dinda. Meski di hadapannya tiga gadis yang terkenal sadis dalam berucap, tak ada gentar pada wajah Ais. Aku tak menyangka kali ini Ais berani melawan Dinda
Detik berjalan berganti menit, menit berjalan berganti jam, jam pun berjalan berganti hari. Genap dua hari sudah Amar dirawat. Sejak itu pula, mata lelaki itu tak pernah lagi terbuka. Beberapa peralatan medis menempel di tubuhnya, dengan kabel tersambung ke monitor, serta alat bantu pernapasan yang sudah terpasang sejak pertama ia masuk rumah sakit. Mata lelaki itu kerap kali berair meski tetap tak memperlihatkan gerakan apa pun. Beberapa kali bibirnya lirih memanggil nama Zana dalam keadaan tanpa sadar. Ibu Melia selalu setia di sisi sang putra yang kini tengah berjuang melawan maut di ruang ICU. Hatinya terlalu sakit melihat anak sulungnya itu terbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan. Isak kerap kali mewarnai hari-hari perempuan paruh baya itu. Meratapi sikap egois sang anak. Pak Salim setengah putus asa meyakinkan sang istri, jika jodoh adalah rahasia Tuhan. Namun perempuan itu seakan ingin mengaturnya. "Sudah lah, Ma. Hubungi saja, Kak Zana," ucap Karin yang belum gena