Matahari baru saja tergelincir saat adzan dzuhur mulai berkumandang. Aku melangkah gontai menuju mushola kampus yang berjarak sekitar lima puluh meter dari kelas. Sudah lebih dari dua minggu aku tidak mendengar kabar lelaki yang sempat mengutarakan keseriusannya saat kami berada di tepi pantai waktu itu. Tak jarang aku mengkhawatirkan niatnya tak mendapat restu. Namun semampuku untuk berpikir yang baik-baik, berharap akan berbuah berita baik pula. Seperti kali ini. Setiap langkah kaki, bayangan Bang Amar memintaku untuk menikah dengannya kembali menari di kepala, membuatku tak mampu menahan untuk menghubunginya. Namun berkali-kali menelpon pun nomornya tak pernah aktif. Masih sama seperti kemari-kemarin. Ingin kutanyakan pada keluarganya, tapi rasa minder membuatku mengurungkan niatku. Pernah kutanyakan pada Bang Fikri dua hari lalu. Jawabannya pun sama, Bang Amar beberapa hari terakhir tak pernah menghubungi Bang Fikri. Aku tak ingin berpikir buruk tentang kemungkinan rasa di h
"Gak usah banyak gaya, deh. Jadi janda mandul aja belagu," ucapnya dengan tangan terlipat di dada. Semua yang mendengar mengedarkan pandangannya ke arahku. Aku tak sanggup menatap mata mereka satu-persatu. Kurasakan wajahku memerah seiring emosi yang meluap-luap. Tanganku mengepal kuat.Aisyah menarik tanganku untuk kembali berjalan, agar aku tak meladeni perkataan Dinda."Sudah, Na. Mulut Dinda memang begitu. Gak usah diladenin, yang ada cuma jelek-jelekin namamu." Aisyah menyemangatiku. Baru saja aku ingin menurut perkataan Ais. Dinda kembali berucap. "Wajar saja temennya cuma si Ais, udah gembrot, item lagi." Tawa tiga manusia tak punya hati itu pecah. Mereka menertawakan aku dan Aisah yang bagi mereka kami manusia yang tak seberuntung mereka. Ais terdiam. Wajahnya memerah. Sesaat kemudian kakinya melangkah mendekat ke arah Dinda. Meski di hadapannya tiga gadis yang terkenal sadis dalam berucap, tak ada gentar pada wajah Ais. Aku tak menyangka kali ini Ais berani melawan Dinda
Detik berjalan berganti menit, menit berjalan berganti jam, jam pun berjalan berganti hari. Genap dua hari sudah Amar dirawat. Sejak itu pula, mata lelaki itu tak pernah lagi terbuka. Beberapa peralatan medis menempel di tubuhnya, dengan kabel tersambung ke monitor, serta alat bantu pernapasan yang sudah terpasang sejak pertama ia masuk rumah sakit. Mata lelaki itu kerap kali berair meski tetap tak memperlihatkan gerakan apa pun. Beberapa kali bibirnya lirih memanggil nama Zana dalam keadaan tanpa sadar. Ibu Melia selalu setia di sisi sang putra yang kini tengah berjuang melawan maut di ruang ICU. Hatinya terlalu sakit melihat anak sulungnya itu terbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan. Isak kerap kali mewarnai hari-hari perempuan paruh baya itu. Meratapi sikap egois sang anak. Pak Salim setengah putus asa meyakinkan sang istri, jika jodoh adalah rahasia Tuhan. Namun perempuan itu seakan ingin mengaturnya. "Sudah lah, Ma. Hubungi saja, Kak Zana," ucap Karin yang belum gena
"Udah enakan manggil 'Pak'. Khawatir jika aku membiasakan dengan nama, takutnya keceplosan saat sedang di kampus." Belaku. Lelaki itu hanya nyengir. Sesaat kemudian hanya deru mobil yang terdengar. Sedangkan kami, sibuk dengan hati masing-masing. "Kakak sudah punya calon? Maaf kalau pertanyaanku membuat Kakak gak nyaman," ucapnya. Perkataannya membuatku tersentak. Mengapa harus pertanyaan itu yang ke luar. Belum sempat kujawab, kami sudah sampai tempat tujuan. Pak Aidil berhenti tepat di depan rumah Farah. "Aku membuka pintu mobil lalu turun. " Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan," ucapku dengan telapak tangan menyatu terangkat ke dada. "Iya, Kak," ucapnya dengan wajah canggng. "Oh, iya, motor Kakak nanti akan kukabari kalau udah selesai." Lanjutnya lagi. "Iya, Pak. Ya sudah, Zana masuk dulu, ya," ucapku dengan senyum, berusaha seramah mungkin. Lelaki itu membalas hal serupa. Aku membuka gerbang rumah Farah setelah mobil Pak Aidil menghilang dari pandangan. Melangkahkan kaki un
Suara denting jarum jam dinding seakan menyatu dalam isak tangis yang masih ke luar. Hatiku terlalu sakit, mendapati orang yang pernah kuinginkan dulu dan sekarang harus menderita karenaku. Namun kenapa dirinya tak pernah berkata jujur sejak dulu? Andaikan ia katakan sejak awal, mungkin kisahnya tak akan serumit ini. Sesak dada ini memikirkannya. Cinta yang selama enam tahun ia pendam belum cukupkah untuk menyiksanya? Air mataku tak kunjung surut. "Kita ke sana sekarang, Fa!" ujarku, setelah sedikit lebih tenang. "Iya, Na. Bang Fikri sedang dalam perjalanan ke sini. Dia juga baru tahu kondisi Bang Amar dariku," ucap Farah disela tangis. Aku tak menjawab. Ada rasa kecewa menelusup relung hati, mendengar perkataan Farah barusan. Sebegitu teganya Tante Melia, hingga Bang Amar sampai dalam titik ini, baru ia memintaku datang. Bahkan Bang Fikri pun tak mereka beri tahu. Namun segera kutepis. "Kamu yang kuat, Na." Sekali lagi Farah menguatkankj. Lembut ia menggenggam jemariku. "Aku ta
Om Salim, Tante Melia, Karin, bersama seorang perempuan yang kutebak teman karin, tampak menunggu di lorong rumah sakit depan ICU. Om Salim duduk dengan tangan menutupi wajahnya, lelakinitu terlihat frustasi. Tante Melia terlihat masih saja menangis, hingga wajahnya sedikit membengkak. Karin menampakkan wajah tak jauh berbeda dengan sang mama. Sedangkan perempuan itu duduk terpaku sambil merengkuh bahu karin. Tante Melia menghambur ke arahku saat jarak kami semakin dekat. Perempuan cantik paruh baya itu menangis tersedu-sedu sambil memelukku. "Maafkan Tante, Na! Maafkan Tante! Tante mohon, jangan kau membenci tante! Apalagi sampai membenci Abang," ucap Tante Melia di sela isak tangisnya. Farah melepas genggamanku. Aku terpaku ditempat dengan tatapan lurus ke depan, menatap pintu berukuran tinggi besar di hadapanku. Air mata semakin deras mengalir tanpa suara. Tenggorokanku serasa tercekat, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Tante Melia merenggangkan pelukannya. Matanya menat
Kuusap lembut bulir yang mengalir di sudut mata Bang Amar. Meski air mataku lebih deras mengalir membasahi pipi. Aku tergugu cukup lama di samping telinga Bang Amar. Bibirku kelu untuk melanjutkan kata sebagai penyemangat, karena aku pun tak jauh berbeda dengan keadaannya. Sama-sama terluka karena penolakan. "Bangun, Bang! Aku tak ingin melihatmu seperti ini. Aku juga tak ingin semua terluka lebih dalam lagi. Cukup dengan keadaanmu sekarang membuat bumiku terasa luruh.""Tahukah, Abang, jika Allah sama sekali tidak menyukai orang-orang yang berputus asa? Aku yakin Abang tahu itu. Tapi mengapa Abang melakukannya? Zana ingin Abang memperjuangkan Zana dengan gigih, bukan dengan cara begini."Kugenggam tangannya yang masih tertempel selang infus di sana. Menangkupkannya di pipiku."Bangunlah, Bang. Mari kita berjuang merajut mimpi kita menjadi nyata. Aku yakin, saat ini kau mendengar suaraku. Maka bangunlah! Aku menunggumu, akan selalu menunggumu."Aku tersentak ketika melihat mata itu
Ada rasa iba di hatiku, membuat aku tak memiliki alasan untuk menolak permintaan Tante Melia. Apa yang dikatakan Tante Melia memang benar, jika Bang Amar sangat membutuhkanku sekarang. Aku melirik kearah Farah yang duduk di sampingku. Ia hanya mengangguk mengiyakan isyarat dariku. Adzan magrib Baru saja berkumandang. Menyadarkan kami, agar segera berbenah untuk melakukan kewajiban sebagai muslim. Aku meminta izin pada Tante Melia untuk melaksanakan shalat di rumah Zana saja. Karena badan ini terasa begitu lengket oleh keringat. "Zana balik sebentar untuk shalat dan mandi dulu di rumah Farah, Tan. Setelah selesai, Zana akan kembali ke sini," ucapku pada Tante Melia. Perempuan itu mengangguk pelan. "Terima kasih, Na. Hati-hati di jalan." Tutup Tante Melia, saat aku mulai melepas tanganku dari jemarinya. Kuiyakan ucapannya dengan anggukan pelan. *****Dua hari sudah aku menemani Bang Amar di rumah sakit. Hari ini aku meminta izin pada Tante Melia untuk kuliah, karena kemarin sempa