Suara denting jarum jam dinding seakan menyatu dalam isak tangis yang masih ke luar. Hatiku terlalu sakit, mendapati orang yang pernah kuinginkan dulu dan sekarang harus menderita karenaku. Namun kenapa dirinya tak pernah berkata jujur sejak dulu? Andaikan ia katakan sejak awal, mungkin kisahnya tak akan serumit ini. Sesak dada ini memikirkannya. Cinta yang selama enam tahun ia pendam belum cukupkah untuk menyiksanya? Air mataku tak kunjung surut. "Kita ke sana sekarang, Fa!" ujarku, setelah sedikit lebih tenang. "Iya, Na. Bang Fikri sedang dalam perjalanan ke sini. Dia juga baru tahu kondisi Bang Amar dariku," ucap Farah disela tangis. Aku tak menjawab. Ada rasa kecewa menelusup relung hati, mendengar perkataan Farah barusan. Sebegitu teganya Tante Melia, hingga Bang Amar sampai dalam titik ini, baru ia memintaku datang. Bahkan Bang Fikri pun tak mereka beri tahu. Namun segera kutepis. "Kamu yang kuat, Na." Sekali lagi Farah menguatkankj. Lembut ia menggenggam jemariku. "Aku ta
Om Salim, Tante Melia, Karin, bersama seorang perempuan yang kutebak teman karin, tampak menunggu di lorong rumah sakit depan ICU. Om Salim duduk dengan tangan menutupi wajahnya, lelakinitu terlihat frustasi. Tante Melia terlihat masih saja menangis, hingga wajahnya sedikit membengkak. Karin menampakkan wajah tak jauh berbeda dengan sang mama. Sedangkan perempuan itu duduk terpaku sambil merengkuh bahu karin. Tante Melia menghambur ke arahku saat jarak kami semakin dekat. Perempuan cantik paruh baya itu menangis tersedu-sedu sambil memelukku. "Maafkan Tante, Na! Maafkan Tante! Tante mohon, jangan kau membenci tante! Apalagi sampai membenci Abang," ucap Tante Melia di sela isak tangisnya. Farah melepas genggamanku. Aku terpaku ditempat dengan tatapan lurus ke depan, menatap pintu berukuran tinggi besar di hadapanku. Air mata semakin deras mengalir tanpa suara. Tenggorokanku serasa tercekat, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Tante Melia merenggangkan pelukannya. Matanya menat
Kuusap lembut bulir yang mengalir di sudut mata Bang Amar. Meski air mataku lebih deras mengalir membasahi pipi. Aku tergugu cukup lama di samping telinga Bang Amar. Bibirku kelu untuk melanjutkan kata sebagai penyemangat, karena aku pun tak jauh berbeda dengan keadaannya. Sama-sama terluka karena penolakan. "Bangun, Bang! Aku tak ingin melihatmu seperti ini. Aku juga tak ingin semua terluka lebih dalam lagi. Cukup dengan keadaanmu sekarang membuat bumiku terasa luruh.""Tahukah, Abang, jika Allah sama sekali tidak menyukai orang-orang yang berputus asa? Aku yakin Abang tahu itu. Tapi mengapa Abang melakukannya? Zana ingin Abang memperjuangkan Zana dengan gigih, bukan dengan cara begini."Kugenggam tangannya yang masih tertempel selang infus di sana. Menangkupkannya di pipiku."Bangunlah, Bang. Mari kita berjuang merajut mimpi kita menjadi nyata. Aku yakin, saat ini kau mendengar suaraku. Maka bangunlah! Aku menunggumu, akan selalu menunggumu."Aku tersentak ketika melihat mata itu
Ada rasa iba di hatiku, membuat aku tak memiliki alasan untuk menolak permintaan Tante Melia. Apa yang dikatakan Tante Melia memang benar, jika Bang Amar sangat membutuhkanku sekarang. Aku melirik kearah Farah yang duduk di sampingku. Ia hanya mengangguk mengiyakan isyarat dariku. Adzan magrib Baru saja berkumandang. Menyadarkan kami, agar segera berbenah untuk melakukan kewajiban sebagai muslim. Aku meminta izin pada Tante Melia untuk melaksanakan shalat di rumah Zana saja. Karena badan ini terasa begitu lengket oleh keringat. "Zana balik sebentar untuk shalat dan mandi dulu di rumah Farah, Tan. Setelah selesai, Zana akan kembali ke sini," ucapku pada Tante Melia. Perempuan itu mengangguk pelan. "Terima kasih, Na. Hati-hati di jalan." Tutup Tante Melia, saat aku mulai melepas tanganku dari jemarinya. Kuiyakan ucapannya dengan anggukan pelan. *****Dua hari sudah aku menemani Bang Amar di rumah sakit. Hari ini aku meminta izin pada Tante Melia untuk kuliah, karena kemarin sempa
Bukankah itu perempuan yang dua hari lalu bersama Karin? Janda mandul? Siapa yang ia maksud janda mandul? Perempuan itu terlihat tengah menelpon di samping mobil persis milik Karin. Posisi tubuhnya membelakangiku membuatku leluasa mendengar percakannya dengan berpura-pura terus merogoh tas mencari kunci motor, meski sebenarnya telah kutemukan sejak tadi. "Iya, Ma. Pokoknya Mama gak usah khawatir, Bang Atha pasti jadi milik Dira."Cepat kusingkirkan prasangka burukku pada perempuan itu, karena sepertinya bukan aku yang tengah dibicarakannya barusan. Segera aku mendekat kearah motorku yang berjarak kurang dari lima meter dari tempatnya berdiri. Lalu bergegas kupacu motorku meninggalkan pelataran rumah sakit menuju kampus. *****Pagi menyapa menggantikan pekatnya malam, menghadirkan hari baru. Haikal baru saja keluar kamar membuka pintu untuk Bik Sum. Semenjak Harry dijemput sang nenek, Bik Sum ditarik Haikal untuk bekerja di rumahnya. Mengerjakan segala keperluan Haikal. Bik Sum ak
Sejak Zana pergi, semua seakan terasa mati. Lebih-lebih sejak Harry pun ikut ikut pergi. Anak itu seakan hilang ditelan bumi. Semenjak hari di mana Haikal menjemput Harry di rumah Zana, Haikal bahkan tak pernah lagi bertemu Harry. Rasa rindu pada anak itu sering kali menghantui Haikal, hingga terkadang sampai terbawa mimpi. Hanya foto-foto Harry yang memenuhi memori ponselnya, yang menjadi pelepas rindu sejenak. Tak jarang ia diam-diam mengunjungi rumah Rania, untuk mencari keberadaan Harry, tapi tak pernah lagi bertemu dengan Harry atau dengan Rania sekali pun."Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Kenapa Rania pun ikut menghilang?" gumam Haikal. Ponsel Haikal berdering. Tertera nama 'Kak Naima' di layar ponsel. Segera ia mengangkat telpon dari sang kakak. "Assalamu'alaikum," ucap Haikal sedikit canggung. Setelah sang ibu meninggal Haikal merasa ada jarak pemisah antara dirinya dan kedua kakaknya. "Wa'alaikumsalaam. Kamu ada di rumah, Dek?" Naima mampu membuat suasana terasa menca
Naima menarik napas dalam, menghembusnya ke luar. Sedih bercampur kesal kini melebur di dadanya. "Sadar, Dek! Apa kau yakin Zana akan menerimamu kembali?" tanya Naima terdengar kesal. Haikal kembali diam. Sebenarnya Haikal sendiri pun tak yakin akan keinginannya, karena ia cukup tahu seberapa dalam luka yang ia toreh di hati perempuan itu. "Bayangkan saja, pengorbanan Zana selama ini. Tiga tahun merawat almarhum Ibu dengan baik, tapi malah kau balas dengan perselingkuhan. Apa kau kira itu luka kecil?" Emosi Naima mulai naik. "Lantas aku harus bagaimana, Kak? Aku terlalu rapuh tanpa Zana. Aku benar-benar menyesal." Air mata akhirnya lolos dari pelupuk mata Haikal. Pagi ini kenangan manis tentang Zana tak ubah seperti kaset yang diputar ulang. Semuanya terekam jelas dalam memori di kepalanya."Ikhlaskan Zana! Semoga kamu diberi pengganti yang ikhlas mendampingimu dalam suka maupun duka." Pinta Naima terdengar memohon. "Aku tak akan rela Zana jadi milik siapa pun!" lirih Haikal hampi
"Ini, Kak. Katakan pada Zana, ntuk tempat usahaku yangbsekarang, aku minta waktu untuk memindahkannya," ucap Haikal dengan wajah lesu. Sebenarnya ia tak merasa keberatan memberikannya pada Zana. Dirinya sangat paham jika itu memang hak Zana. Selama ini surat itu ia tahan, berharap Zana bisa kembali padanya dengan alasan harta. Namun pemikirannya keliru. "Makasih, Dek. Nanti Kakak mampir ke rumah Zana sekalian nganter ini," ucap Naima lega. "Maafkan Kakak, kalau kamu tersinggung dengan sikap Kakak. Kakak hanya ingin yang terbaik untuk kita semua." Naima mengusap bahu Haikal lembut. Meski Haikal bukan anak kecil lagi, tapi Naima tetap menganggap Haikal adik kecilnya yang dulu. *****Semilir angin berhasil mengibarkan pashmina pich yang tengah kukenakan. Aku tengah berada di taman kota bersama Ais dan Rena. Sepulang kuliah aku memang tak langsung pulang seperti biasanya, karena Ais mengajakku untuk mengerjakkan tugas kelompok yang akan dipresentasi minggu depan, mengingat rumahku cuku