Bukankah itu perempuan yang dua hari lalu bersama Karin? Janda mandul? Siapa yang ia maksud janda mandul? Perempuan itu terlihat tengah menelpon di samping mobil persis milik Karin. Posisi tubuhnya membelakangiku membuatku leluasa mendengar percakannya dengan berpura-pura terus merogoh tas mencari kunci motor, meski sebenarnya telah kutemukan sejak tadi. "Iya, Ma. Pokoknya Mama gak usah khawatir, Bang Atha pasti jadi milik Dira."Cepat kusingkirkan prasangka burukku pada perempuan itu, karena sepertinya bukan aku yang tengah dibicarakannya barusan. Segera aku mendekat kearah motorku yang berjarak kurang dari lima meter dari tempatnya berdiri. Lalu bergegas kupacu motorku meninggalkan pelataran rumah sakit menuju kampus. *****Pagi menyapa menggantikan pekatnya malam, menghadirkan hari baru. Haikal baru saja keluar kamar membuka pintu untuk Bik Sum. Semenjak Harry dijemput sang nenek, Bik Sum ditarik Haikal untuk bekerja di rumahnya. Mengerjakan segala keperluan Haikal. Bik Sum ak
Sejak Zana pergi, semua seakan terasa mati. Lebih-lebih sejak Harry pun ikut ikut pergi. Anak itu seakan hilang ditelan bumi. Semenjak hari di mana Haikal menjemput Harry di rumah Zana, Haikal bahkan tak pernah lagi bertemu Harry. Rasa rindu pada anak itu sering kali menghantui Haikal, hingga terkadang sampai terbawa mimpi. Hanya foto-foto Harry yang memenuhi memori ponselnya, yang menjadi pelepas rindu sejenak. Tak jarang ia diam-diam mengunjungi rumah Rania, untuk mencari keberadaan Harry, tapi tak pernah lagi bertemu dengan Harry atau dengan Rania sekali pun."Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Kenapa Rania pun ikut menghilang?" gumam Haikal. Ponsel Haikal berdering. Tertera nama 'Kak Naima' di layar ponsel. Segera ia mengangkat telpon dari sang kakak. "Assalamu'alaikum," ucap Haikal sedikit canggung. Setelah sang ibu meninggal Haikal merasa ada jarak pemisah antara dirinya dan kedua kakaknya. "Wa'alaikumsalaam. Kamu ada di rumah, Dek?" Naima mampu membuat suasana terasa menca
Naima menarik napas dalam, menghembusnya ke luar. Sedih bercampur kesal kini melebur di dadanya. "Sadar, Dek! Apa kau yakin Zana akan menerimamu kembali?" tanya Naima terdengar kesal. Haikal kembali diam. Sebenarnya Haikal sendiri pun tak yakin akan keinginannya, karena ia cukup tahu seberapa dalam luka yang ia toreh di hati perempuan itu. "Bayangkan saja, pengorbanan Zana selama ini. Tiga tahun merawat almarhum Ibu dengan baik, tapi malah kau balas dengan perselingkuhan. Apa kau kira itu luka kecil?" Emosi Naima mulai naik. "Lantas aku harus bagaimana, Kak? Aku terlalu rapuh tanpa Zana. Aku benar-benar menyesal." Air mata akhirnya lolos dari pelupuk mata Haikal. Pagi ini kenangan manis tentang Zana tak ubah seperti kaset yang diputar ulang. Semuanya terekam jelas dalam memori di kepalanya."Ikhlaskan Zana! Semoga kamu diberi pengganti yang ikhlas mendampingimu dalam suka maupun duka." Pinta Naima terdengar memohon. "Aku tak akan rela Zana jadi milik siapa pun!" lirih Haikal hampi
"Ini, Kak. Katakan pada Zana, ntuk tempat usahaku yangbsekarang, aku minta waktu untuk memindahkannya," ucap Haikal dengan wajah lesu. Sebenarnya ia tak merasa keberatan memberikannya pada Zana. Dirinya sangat paham jika itu memang hak Zana. Selama ini surat itu ia tahan, berharap Zana bisa kembali padanya dengan alasan harta. Namun pemikirannya keliru. "Makasih, Dek. Nanti Kakak mampir ke rumah Zana sekalian nganter ini," ucap Naima lega. "Maafkan Kakak, kalau kamu tersinggung dengan sikap Kakak. Kakak hanya ingin yang terbaik untuk kita semua." Naima mengusap bahu Haikal lembut. Meski Haikal bukan anak kecil lagi, tapi Naima tetap menganggap Haikal adik kecilnya yang dulu. *****Semilir angin berhasil mengibarkan pashmina pich yang tengah kukenakan. Aku tengah berada di taman kota bersama Ais dan Rena. Sepulang kuliah aku memang tak langsung pulang seperti biasanya, karena Ais mengajakku untuk mengerjakkan tugas kelompok yang akan dipresentasi minggu depan, mengingat rumahku cuku
Belum sempat kujawab pertanyaan Ais. Mataku tertuju pada dua orang yang kukenal. Keduanya baru saja keluar dari sebuah cafe yang tak jauh dari kami berdiri. "Ai, itu bukannya Dinda, ya?" tanyaku pada Ais dengan mata membulat. Telunjuk mengarah pada dua wanita yang tengah berjalan menuju mobil warna hitam yang terparkir di pinggir jalan tepat di depan cafe. "Iya, Na. Liat Dinda aja udah kayak liat apa kamu, Na," seloroh Ais."Itu satunya lagi kamu kenal, Ai?" tanyaku penasaran."Itu Kakaknya, Na. Namanya Dira. Kok kamu berubah jadi kepo sih, Na?" Kali ini Ais berbalik meledekku. Aku tak terlalu menghiraukan ucapan Ais. Aku masih fokus pada dua perempuan yang kini sudah masuk mobil. Aku tak menyangka jika dua gadis itu kakak adik, karena mereka berdua tak mirip sama sekali meski sama-sama cantik. Mobil yang membawa kakak adik itu perlahan menghilang dari penglihatanku. Dari cara berpakaian serta kendaraan yang mereka pakai terlihat jika mereka anak orang berada. "Liatin apa sih, Na
"Kenapa gak telpon Zana, Bu?" "Gak kepikiran."Aku merubah posisi menjadi duduk tegak. Tanganku meraih uluran map dari Ibu. Membukanya perlahan. "Bukannya surat cerai kamu udah ke luar ya, Na?" tanya Ibu. Mungkin beliau mengira map yang tengah berada di tanganku sekarang berisi surat cerai. "Udah, Bu. Akta cerai Zana udah lama ke luar," jelasku. "Lalu, itu apa isinya?""Surat tanah, Bu. Emang tadi belum dibuka?" Aku balik bertanya. Ibu hanya menggeleng. "Kak Naima juga gak cerita?" tanyaku lagi. Ibu kembali menggeleng. "Naima cuma bilang, kalau punya waktu senggang sering-sering mampir ke rumahnya ataupun rumah Farida. Anggap mereka seperti dulu, jangan karena kau sudah berpisah dengan Haikal lantas mereka dilupakan. Menurut Ibu itu bagus. Jangan putus silaturrahmi dengan mereka." Tambah Ibu. "Iya, Bu. Nanti kalau kuliah agak senggang, Zana juga pengen ke rumah Kak Naima sama Kak Farida." Tak kusangka, dua mantan kakak iparku itu seperhatian ini padaku. Aku benar-benar merasa
Aku terdiam beberapa saat sambil memandangi layar ponsel yang masih terus menyala karena panggilan yang tak kunjung kuangkat. Kepalaku sibuk menerka, ada perlu apa Pak Aidil menelponku, sampai ponsel berhenti berdering. Aku berbalik untuk melangkah ke luar, tapi ponsel yang kugeletakkan di atas kasur kembali berdering. Panggilan dari nomor yang sama. "Assalamu'alaikum. Iya, Pak. Maaf, ada yang bisa saya bantu?" cerocosku saat telpon sudah tersambung. Hening. Tak ada jawaban dari seberang sana. Aku mengerutkan dahi, melihat layar ponsel yang masih berasa dalam panggilan. Kembali kutempelkan layar ponsel ke telinga. "Maaf, apa ada orang di sana?" tanyaku meyakinkan. "I—iya, Zana. Eh, maaf! Kak," jawab suara diseberang sana dengan tergagap.Aku kembali menautkan alis. Heran dengan apa yang baru saja kudengar. "Iya, Pak. Maaf, ada apa ya, Pak?" Terdengar tarikan napas pelan dari seberang sana. "Di luar kampus, panggil nama saja, Kak! Biar lebih akrab," ucapnya diiringi tawa kecil
"Na!" panggil Ibu dari luar membuatku tersadar. Aku meletakkan kembali ponsel dan berjalan ke luar. "Iy, Bu.""Nih, mau di letakin di mana?" tanya Ibu, sambil mengulur kembali map maroon yang tadi dibawanya. "Ibu aja yang simpen.""Ya udah, nanti kalau ada perlu, minta ke Ibu ya," jawab Ibu. Aku hanya mengangguk sambil mendudukkan bobotku disamping Ayah. Kami kembali sibuk dengan teyangan berita di channel tv kesukaan Ayah. Meski berbeda selera, jika malam hari kami memang sering mengikuti selera tontonan Ayah. "Oh ya, Na. Apa kabar Amar?" tanya Ibu sambil menoleh ke arahku. "Udah baikan, Bu.""Bilang sama Amar, kami belum bisa lagi ke sana, karena belum sempat."Ayah memang tengah sibuk di toko kelontong yang beliau buka beberapa bulan lalu. Ibu kerap kali ikut membantu karena memang belum mempekerjakan karyawan. "Gak papa, Bu. Kan kemaren udah sempet dateng."Beliau berdua memang sempat menjenguk Bang Amar dua hari yang lalu. Aku tak tahu mereka dapat kabar dari siapa, yang pas