Mungkin, memintaku untuk mengganti posisi Dira sekarang dirinya merasa tak enak hati. Kukeluarkan ponsel dari dalam tas. Menscroll asal beberapa akun sosial media milikku."Yuk, Bang. Makan dulu!" Suara Dira membuat jantungku berdetak lebih kuat. Hatiku tergelitik untuk melihat ekspresi Bang Amar. Namun kuusahakan mataku tetap fokus pada layar ponsel, untuk melihat bagaimana perasaan Bang Amar pada perempuan itu.Jujur, aku cemburu. Bahkan sangat-sangat cemburu melihat kejadian di depan mataku saat ini. Melihat posisi Dira dengan Bang Amar sedekat itu membuat degub jantungku semakin tak beraturan. Beberapa kali hembusan napas panjang keluar masuk bergantian melewati saluran pernapasan di tubuhku. Namun tetap saja tak mampu menghentikan gejolak di dada yang seakan tak berpihak padaku. "Aku bisa sendiri!" Akhirnya Bang Amar bersuara, membuatku spontan menatap pada mereka berdua. Wajah Dira terlihat kesal. Bang Amar meraih piring yang ada di tangan Dira lalu meletakkannya kembali ke m
Ingatanku kembali menerawang saat tengah menguping pembicaraan Dira lewat telpon waktu itu. Mengingat kembali kata-kata menusuk yang keluar dari bibirnya seperti tanpa beban. "Siapa nama panjang Bang Amar, Fa?" tanyaku lagi pada Farah. "Athaya Zaidan Amar."Aku kembali tersentak. Atha, itulah nama yang Dira sebut waktu itu. Potongan nama lelaki yang sama dengan lelaki yang telah memenuhi relung hatiku saat ini. "Pantas saja," ucapku tanpa sengaja. "Maksudmu?" tanya Farah menyadarkanku. "Apakah ada yang memanggil Bang Amar dengan nama lain?" tanyaku ingin tahu. Farah mengangguk. "Beberapa temennya yang kutahu memanggilnya dengan nama Atha, Na," jawab Farah seperti tengah menerawang. Aku terdiam dengan kepala tertunduk. Memejamkan mata beberapa saat, berusaha menata degub jantung yang kian berpacu. Cinta dan cemburu melebur jadi satu. Namun bagaimana bisa aku tidak mengetahui nama panjang Bang Amar."Oh ya, tadi kamu melihat Dira di mana, Na?" tanya Farah seperti berusaha membaca
"Kok ngelamun sih, Bang," ujar Ibu Melia yang sudah mengucap salam, tapi tak kunjung mendapat balasan. Perempuan itu baru saja datang menjenguk sang putra bersama suaminya. "Gak papa, Ma," ucapnya singkat seraya melirik wajah sang Mama sekilas. Ibu Melia tersenyum manis saat melihat keadaan putranya nampak semakin membaik. Pun dengan Pak Salim. Perempuan itu kini duduk di kursi dekat Amar, Ia megusap lembut punggung tangan Amar yang menelungkup di ranjang. sedangkan suaminya duduk tenang di sofa yang menghadap istri dan anak sulungnya itu."Amar mau bicara, Ma!" ucapnya tanpa menoleh pada sang Mama. Ibu Melia menatap Amar dengan tatapan heran, karena melihat ekspresi sang anak yang terlihat serius. "Katakan saja, Bang," ucap Ibu Melia lembut. Tangannya tak berhenti mengusap lembut punggung tangan putra sulungnya itu. "Apakah perjodohan itu belum dibatalkan juga, Ma?" tanya Amar langsung pada pokok permasalahan. Ibu melia menampakkan wajah terkejut. Mendengar pertanyaan Amar memb
Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat. Aku masih setia berbaring di atas tempat tidur kamar Farah sejak habis ashar tadi. Beberapa kali Farah sempat mengajakku ke luar sejak siang tadi untuk sekedar makan, tapi kutolak. Perasaan yang kurang bersahabat membuatku malas untuk melakukan apa-apa. Pun dengan sore ini. Jika bukan karena sudah janji, malas rasanya aku menemui Pak Aidil. Namun untuk membatalkannya rasanya sungkan. Mengingat siapa Pak Aidil. Ponselku berdering. Nada pesan masuk. Aku menekan tombol on, lalu membuka pesan yang baru saja masuk ke aplikasi whatsapp di ponsel milikku. "Aku sudah menunggu di senja cafe, Na." Pesan dari Pak Aidil. Dengan malas aku bangkit berjalan kearah cermin besar pada pintu lemari pakaian Farah. Mengenakan kembali pashmina berwarna mocca yang tadi sempat kulepas dan kuletakkan di senderan sofa. Memoles tipis bedak padat serta menyapu lip tint berwarna natural pada bibirku supaya tak terlihat pucat. Setelah dirasa cukup, aku berja
"I—iya, Pak. Maaf.""Duduk, Na," ucapnya dengan senyuman yang terus menguar. Aku menurut. Menarik kursi yang berada tepat dihadapannya lalu duduk dengan memalingkan wajah keluar ruangan."Jam berapa dari rumah, Na?" tanya Pak Aidil seperti tengah berusaha mencairkan suasana. Aku menatap sekilas lalu kembali menatap objek lain. "Dari rumah udah tadi pagi, Pak. Sekalian jenguk temen," jawabku jujur. Pak Aidil terlihat manggut-manggut. Menjawab pertanyaan Pak Aidil membuatku mengingat kembali kejadian tadi pagi. Di saat posisiku menjadi penonton antara Bang Amar dan Dira.Pak Aidil memanggil pelayan cafe, untuk memesan menu yang akan menemani kami selama di sini. Tanpa menunggumenunggu lama, seorang pelayan berjalan cepat menuju meja nomor lima, dimana kami berada. "Pesan apa, Na?" tanya Pak Aidil, saat seorang pelayan laki-laki yang kutaksir lebih muda dari Pak Aidil sudah berdiri di sisi meja kami. "Samaan aja, Pak," jawabku singkat. Aku memang tengah tak berselera. Pikiranku masi
Pak Aidil menarik napas dalam. "Kau tahu, sejak kapan rasa itu hadir?" Aku menggeleng. Pak Aidil menghela napas dalam. Memberi jeda pada kalimatnya. "Saat aku menjenguk Sinta di rumah sakit. Perempuan itu tengah tersedu dalam pelukan ibunya. Ia menyesali telah menzolimimu, ketika ia tahu bahwa kau yang telah membawanya ke rumah sakit. Darinya-lah aku tahu banyak hal tentangmu." Aku hanya tertunduk dengan jemari sibuk memainkan jemari lainnya di pangkuanku. Keringat dingin tiba-tiba ke luar dari sela-sela jariku. Aku mengerti ke mana pembicaraan Pak Aidil mengarah. Jujur, aku sangat tersanjung, hingga tanpa kusadari ada perasaan lebih yang tiba-tiba saja datang. Namun di sisi lain, aku sudah berjanji, tidak akan membuat Bang Amar bersedih karenaku. Sama sekali aku tak menyangka jika Pak Aidil akan memiliki rasa untukku. Selama ini aku menganggapnya tak lebih dari sebatas dosen dan mahasiswa. Begitu juga dengan kekagumanku. Aku hanya mengaguminya sebatas kagum pada kepribadiannya. Ta
Farah menginjak tuas rem perlahan saat jarak kami semakin dekat dengan lampu merah di pusat kota. Jalanan terlihat merayap, meski tidak menimbulkan macet. Di kota kecil ini kemacetan lalu lintas sangat jarang terjadi. "Sama Pak Aidil," jawabku singkat. Sengaja membuat Farah penasaran. Farah menatap lekat ke arahku setelah mobilnya berhenti sempurna. Aku sendiri pura-pura tak melihat. Kupastikan Farah akan bertanya banyak setelah ini. "Pak Aidil siapa, Na?" Alis Farah bertaut. Wajahnya tepat menghadapku dengan tangan masih memegang setir. "Dosenku di kampus," jawabku seolah tidak terjadi apa-apa. "Trus, tadi ketemuan cuma berdua?" Mata Farah melebar. Aku mengangguk. "Ngomongin apaan, Na, kalo cuma berdua?" Rasa ingin tahu semakin kentara di wajah Farah. Semua pertanyaan Farah kujawab jujur. Namun dengan ekspresi datar. "Ngomongin perasaan." Aku tertawa kecil. "Ngaco kamu, Na?""Udah lampu hijau, Fa." Aku mengingatkan Farah, karena jika telat tancap gas maka dipastikan klakson
Jarum jam di dinding kamar baru saja menunjukkan pukul setengah delapan malam sekitar dua menit lalu. Amar masih setia diatas sajadah setelah selesai munajat selepas shalat isya.Merenung semua yang terjadi hari ini. Menerka perasaan Zana untuknya. Ada rasa bersalah di relung sana, karena telah bersikap dingin pada Zana beberapa puluh menit lalu. Juga ada kecewa, karena beberapa kali menelpon sejak pagi tadi tidak sekalipun terangkat. Namun ia tidak ingin menyalahkan Zana. Dirinya cukup tahu, apa alasan Zana bersikap demikian. Wajar saja rasanya jika Zana cemburu dengan keberadaan Dira. Lebih-lebih sikap Dira yang seolah ingin terlihat lebih peduli atas dirinya. "Ini semua karena Mama," gumam Amar dalam hati. Lekas ia bangkit meski dengan tubuh yang masih agak lemas. Melipat sajadah, meletakkannya di atas lemari bersama perlengkapan shalat lainnya. Amar berbalik, berjalan ke luar dengan langkah perlahan menuruni anak tangga dengan kaki masih sedikit gemetar. Meski mamanya sudah me