Belum sempat kujawab pertanyaan Ais. Mataku tertuju pada dua orang yang kukenal. Keduanya baru saja keluar dari sebuah cafe yang tak jauh dari kami berdiri. "Ai, itu bukannya Dinda, ya?" tanyaku pada Ais dengan mata membulat. Telunjuk mengarah pada dua wanita yang tengah berjalan menuju mobil warna hitam yang terparkir di pinggir jalan tepat di depan cafe. "Iya, Na. Liat Dinda aja udah kayak liat apa kamu, Na," seloroh Ais."Itu satunya lagi kamu kenal, Ai?" tanyaku penasaran."Itu Kakaknya, Na. Namanya Dira. Kok kamu berubah jadi kepo sih, Na?" Kali ini Ais berbalik meledekku. Aku tak terlalu menghiraukan ucapan Ais. Aku masih fokus pada dua perempuan yang kini sudah masuk mobil. Aku tak menyangka jika dua gadis itu kakak adik, karena mereka berdua tak mirip sama sekali meski sama-sama cantik. Mobil yang membawa kakak adik itu perlahan menghilang dari penglihatanku. Dari cara berpakaian serta kendaraan yang mereka pakai terlihat jika mereka anak orang berada. "Liatin apa sih, Na
"Kenapa gak telpon Zana, Bu?" "Gak kepikiran."Aku merubah posisi menjadi duduk tegak. Tanganku meraih uluran map dari Ibu. Membukanya perlahan. "Bukannya surat cerai kamu udah ke luar ya, Na?" tanya Ibu. Mungkin beliau mengira map yang tengah berada di tanganku sekarang berisi surat cerai. "Udah, Bu. Akta cerai Zana udah lama ke luar," jelasku. "Lalu, itu apa isinya?""Surat tanah, Bu. Emang tadi belum dibuka?" Aku balik bertanya. Ibu hanya menggeleng. "Kak Naima juga gak cerita?" tanyaku lagi. Ibu kembali menggeleng. "Naima cuma bilang, kalau punya waktu senggang sering-sering mampir ke rumahnya ataupun rumah Farida. Anggap mereka seperti dulu, jangan karena kau sudah berpisah dengan Haikal lantas mereka dilupakan. Menurut Ibu itu bagus. Jangan putus silaturrahmi dengan mereka." Tambah Ibu. "Iya, Bu. Nanti kalau kuliah agak senggang, Zana juga pengen ke rumah Kak Naima sama Kak Farida." Tak kusangka, dua mantan kakak iparku itu seperhatian ini padaku. Aku benar-benar merasa
Aku terdiam beberapa saat sambil memandangi layar ponsel yang masih terus menyala karena panggilan yang tak kunjung kuangkat. Kepalaku sibuk menerka, ada perlu apa Pak Aidil menelponku, sampai ponsel berhenti berdering. Aku berbalik untuk melangkah ke luar, tapi ponsel yang kugeletakkan di atas kasur kembali berdering. Panggilan dari nomor yang sama. "Assalamu'alaikum. Iya, Pak. Maaf, ada yang bisa saya bantu?" cerocosku saat telpon sudah tersambung. Hening. Tak ada jawaban dari seberang sana. Aku mengerutkan dahi, melihat layar ponsel yang masih berasa dalam panggilan. Kembali kutempelkan layar ponsel ke telinga. "Maaf, apa ada orang di sana?" tanyaku meyakinkan. "I—iya, Zana. Eh, maaf! Kak," jawab suara diseberang sana dengan tergagap.Aku kembali menautkan alis. Heran dengan apa yang baru saja kudengar. "Iya, Pak. Maaf, ada apa ya, Pak?" Terdengar tarikan napas pelan dari seberang sana. "Di luar kampus, panggil nama saja, Kak! Biar lebih akrab," ucapnya diiringi tawa kecil
"Na!" panggil Ibu dari luar membuatku tersadar. Aku meletakkan kembali ponsel dan berjalan ke luar. "Iy, Bu.""Nih, mau di letakin di mana?" tanya Ibu, sambil mengulur kembali map maroon yang tadi dibawanya. "Ibu aja yang simpen.""Ya udah, nanti kalau ada perlu, minta ke Ibu ya," jawab Ibu. Aku hanya mengangguk sambil mendudukkan bobotku disamping Ayah. Kami kembali sibuk dengan teyangan berita di channel tv kesukaan Ayah. Meski berbeda selera, jika malam hari kami memang sering mengikuti selera tontonan Ayah. "Oh ya, Na. Apa kabar Amar?" tanya Ibu sambil menoleh ke arahku. "Udah baikan, Bu.""Bilang sama Amar, kami belum bisa lagi ke sana, karena belum sempat."Ayah memang tengah sibuk di toko kelontong yang beliau buka beberapa bulan lalu. Ibu kerap kali ikut membantu karena memang belum mempekerjakan karyawan. "Gak papa, Bu. Kan kemaren udah sempet dateng."Beliau berdua memang sempat menjenguk Bang Amar dua hari yang lalu. Aku tak tahu mereka dapat kabar dari siapa, yang pas
Mungkin, memintaku untuk mengganti posisi Dira sekarang dirinya merasa tak enak hati. Kukeluarkan ponsel dari dalam tas. Menscroll asal beberapa akun sosial media milikku."Yuk, Bang. Makan dulu!" Suara Dira membuat jantungku berdetak lebih kuat. Hatiku tergelitik untuk melihat ekspresi Bang Amar. Namun kuusahakan mataku tetap fokus pada layar ponsel, untuk melihat bagaimana perasaan Bang Amar pada perempuan itu.Jujur, aku cemburu. Bahkan sangat-sangat cemburu melihat kejadian di depan mataku saat ini. Melihat posisi Dira dengan Bang Amar sedekat itu membuat degub jantungku semakin tak beraturan. Beberapa kali hembusan napas panjang keluar masuk bergantian melewati saluran pernapasan di tubuhku. Namun tetap saja tak mampu menghentikan gejolak di dada yang seakan tak berpihak padaku. "Aku bisa sendiri!" Akhirnya Bang Amar bersuara, membuatku spontan menatap pada mereka berdua. Wajah Dira terlihat kesal. Bang Amar meraih piring yang ada di tangan Dira lalu meletakkannya kembali ke m
Ingatanku kembali menerawang saat tengah menguping pembicaraan Dira lewat telpon waktu itu. Mengingat kembali kata-kata menusuk yang keluar dari bibirnya seperti tanpa beban. "Siapa nama panjang Bang Amar, Fa?" tanyaku lagi pada Farah. "Athaya Zaidan Amar."Aku kembali tersentak. Atha, itulah nama yang Dira sebut waktu itu. Potongan nama lelaki yang sama dengan lelaki yang telah memenuhi relung hatiku saat ini. "Pantas saja," ucapku tanpa sengaja. "Maksudmu?" tanya Farah menyadarkanku. "Apakah ada yang memanggil Bang Amar dengan nama lain?" tanyaku ingin tahu. Farah mengangguk. "Beberapa temennya yang kutahu memanggilnya dengan nama Atha, Na," jawab Farah seperti tengah menerawang. Aku terdiam dengan kepala tertunduk. Memejamkan mata beberapa saat, berusaha menata degub jantung yang kian berpacu. Cinta dan cemburu melebur jadi satu. Namun bagaimana bisa aku tidak mengetahui nama panjang Bang Amar."Oh ya, tadi kamu melihat Dira di mana, Na?" tanya Farah seperti berusaha membaca
"Kok ngelamun sih, Bang," ujar Ibu Melia yang sudah mengucap salam, tapi tak kunjung mendapat balasan. Perempuan itu baru saja datang menjenguk sang putra bersama suaminya. "Gak papa, Ma," ucapnya singkat seraya melirik wajah sang Mama sekilas. Ibu Melia tersenyum manis saat melihat keadaan putranya nampak semakin membaik. Pun dengan Pak Salim. Perempuan itu kini duduk di kursi dekat Amar, Ia megusap lembut punggung tangan Amar yang menelungkup di ranjang. sedangkan suaminya duduk tenang di sofa yang menghadap istri dan anak sulungnya itu."Amar mau bicara, Ma!" ucapnya tanpa menoleh pada sang Mama. Ibu Melia menatap Amar dengan tatapan heran, karena melihat ekspresi sang anak yang terlihat serius. "Katakan saja, Bang," ucap Ibu Melia lembut. Tangannya tak berhenti mengusap lembut punggung tangan putra sulungnya itu. "Apakah perjodohan itu belum dibatalkan juga, Ma?" tanya Amar langsung pada pokok permasalahan. Ibu melia menampakkan wajah terkejut. Mendengar pertanyaan Amar memb
Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat. Aku masih setia berbaring di atas tempat tidur kamar Farah sejak habis ashar tadi. Beberapa kali Farah sempat mengajakku ke luar sejak siang tadi untuk sekedar makan, tapi kutolak. Perasaan yang kurang bersahabat membuatku malas untuk melakukan apa-apa. Pun dengan sore ini. Jika bukan karena sudah janji, malas rasanya aku menemui Pak Aidil. Namun untuk membatalkannya rasanya sungkan. Mengingat siapa Pak Aidil. Ponselku berdering. Nada pesan masuk. Aku menekan tombol on, lalu membuka pesan yang baru saja masuk ke aplikasi whatsapp di ponsel milikku. "Aku sudah menunggu di senja cafe, Na." Pesan dari Pak Aidil. Dengan malas aku bangkit berjalan kearah cermin besar pada pintu lemari pakaian Farah. Mengenakan kembali pashmina berwarna mocca yang tadi sempat kulepas dan kuletakkan di senderan sofa. Memoles tipis bedak padat serta menyapu lip tint berwarna natural pada bibirku supaya tak terlihat pucat. Setelah dirasa cukup, aku berja