"Kok ngelamun sih, Bang," ujar Ibu Melia yang sudah mengucap salam, tapi tak kunjung mendapat balasan. Perempuan itu baru saja datang menjenguk sang putra bersama suaminya. "Gak papa, Ma," ucapnya singkat seraya melirik wajah sang Mama sekilas. Ibu Melia tersenyum manis saat melihat keadaan putranya nampak semakin membaik. Pun dengan Pak Salim. Perempuan itu kini duduk di kursi dekat Amar, Ia megusap lembut punggung tangan Amar yang menelungkup di ranjang. sedangkan suaminya duduk tenang di sofa yang menghadap istri dan anak sulungnya itu."Amar mau bicara, Ma!" ucapnya tanpa menoleh pada sang Mama. Ibu Melia menatap Amar dengan tatapan heran, karena melihat ekspresi sang anak yang terlihat serius. "Katakan saja, Bang," ucap Ibu Melia lembut. Tangannya tak berhenti mengusap lembut punggung tangan putra sulungnya itu. "Apakah perjodohan itu belum dibatalkan juga, Ma?" tanya Amar langsung pada pokok permasalahan. Ibu melia menampakkan wajah terkejut. Mendengar pertanyaan Amar memb
Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat. Aku masih setia berbaring di atas tempat tidur kamar Farah sejak habis ashar tadi. Beberapa kali Farah sempat mengajakku ke luar sejak siang tadi untuk sekedar makan, tapi kutolak. Perasaan yang kurang bersahabat membuatku malas untuk melakukan apa-apa. Pun dengan sore ini. Jika bukan karena sudah janji, malas rasanya aku menemui Pak Aidil. Namun untuk membatalkannya rasanya sungkan. Mengingat siapa Pak Aidil. Ponselku berdering. Nada pesan masuk. Aku menekan tombol on, lalu membuka pesan yang baru saja masuk ke aplikasi whatsapp di ponsel milikku. "Aku sudah menunggu di senja cafe, Na." Pesan dari Pak Aidil. Dengan malas aku bangkit berjalan kearah cermin besar pada pintu lemari pakaian Farah. Mengenakan kembali pashmina berwarna mocca yang tadi sempat kulepas dan kuletakkan di senderan sofa. Memoles tipis bedak padat serta menyapu lip tint berwarna natural pada bibirku supaya tak terlihat pucat. Setelah dirasa cukup, aku berja
"I—iya, Pak. Maaf.""Duduk, Na," ucapnya dengan senyuman yang terus menguar. Aku menurut. Menarik kursi yang berada tepat dihadapannya lalu duduk dengan memalingkan wajah keluar ruangan."Jam berapa dari rumah, Na?" tanya Pak Aidil seperti tengah berusaha mencairkan suasana. Aku menatap sekilas lalu kembali menatap objek lain. "Dari rumah udah tadi pagi, Pak. Sekalian jenguk temen," jawabku jujur. Pak Aidil terlihat manggut-manggut. Menjawab pertanyaan Pak Aidil membuatku mengingat kembali kejadian tadi pagi. Di saat posisiku menjadi penonton antara Bang Amar dan Dira.Pak Aidil memanggil pelayan cafe, untuk memesan menu yang akan menemani kami selama di sini. Tanpa menunggumenunggu lama, seorang pelayan berjalan cepat menuju meja nomor lima, dimana kami berada. "Pesan apa, Na?" tanya Pak Aidil, saat seorang pelayan laki-laki yang kutaksir lebih muda dari Pak Aidil sudah berdiri di sisi meja kami. "Samaan aja, Pak," jawabku singkat. Aku memang tengah tak berselera. Pikiranku masi
Pak Aidil menarik napas dalam. "Kau tahu, sejak kapan rasa itu hadir?" Aku menggeleng. Pak Aidil menghela napas dalam. Memberi jeda pada kalimatnya. "Saat aku menjenguk Sinta di rumah sakit. Perempuan itu tengah tersedu dalam pelukan ibunya. Ia menyesali telah menzolimimu, ketika ia tahu bahwa kau yang telah membawanya ke rumah sakit. Darinya-lah aku tahu banyak hal tentangmu." Aku hanya tertunduk dengan jemari sibuk memainkan jemari lainnya di pangkuanku. Keringat dingin tiba-tiba ke luar dari sela-sela jariku. Aku mengerti ke mana pembicaraan Pak Aidil mengarah. Jujur, aku sangat tersanjung, hingga tanpa kusadari ada perasaan lebih yang tiba-tiba saja datang. Namun di sisi lain, aku sudah berjanji, tidak akan membuat Bang Amar bersedih karenaku. Sama sekali aku tak menyangka jika Pak Aidil akan memiliki rasa untukku. Selama ini aku menganggapnya tak lebih dari sebatas dosen dan mahasiswa. Begitu juga dengan kekagumanku. Aku hanya mengaguminya sebatas kagum pada kepribadiannya. Ta
Farah menginjak tuas rem perlahan saat jarak kami semakin dekat dengan lampu merah di pusat kota. Jalanan terlihat merayap, meski tidak menimbulkan macet. Di kota kecil ini kemacetan lalu lintas sangat jarang terjadi. "Sama Pak Aidil," jawabku singkat. Sengaja membuat Farah penasaran. Farah menatap lekat ke arahku setelah mobilnya berhenti sempurna. Aku sendiri pura-pura tak melihat. Kupastikan Farah akan bertanya banyak setelah ini. "Pak Aidil siapa, Na?" Alis Farah bertaut. Wajahnya tepat menghadapku dengan tangan masih memegang setir. "Dosenku di kampus," jawabku seolah tidak terjadi apa-apa. "Trus, tadi ketemuan cuma berdua?" Mata Farah melebar. Aku mengangguk. "Ngomongin apaan, Na, kalo cuma berdua?" Rasa ingin tahu semakin kentara di wajah Farah. Semua pertanyaan Farah kujawab jujur. Namun dengan ekspresi datar. "Ngomongin perasaan." Aku tertawa kecil. "Ngaco kamu, Na?""Udah lampu hijau, Fa." Aku mengingatkan Farah, karena jika telat tancap gas maka dipastikan klakson
Jarum jam di dinding kamar baru saja menunjukkan pukul setengah delapan malam sekitar dua menit lalu. Amar masih setia diatas sajadah setelah selesai munajat selepas shalat isya.Merenung semua yang terjadi hari ini. Menerka perasaan Zana untuknya. Ada rasa bersalah di relung sana, karena telah bersikap dingin pada Zana beberapa puluh menit lalu. Juga ada kecewa, karena beberapa kali menelpon sejak pagi tadi tidak sekalipun terangkat. Namun ia tidak ingin menyalahkan Zana. Dirinya cukup tahu, apa alasan Zana bersikap demikian. Wajar saja rasanya jika Zana cemburu dengan keberadaan Dira. Lebih-lebih sikap Dira yang seolah ingin terlihat lebih peduli atas dirinya. "Ini semua karena Mama," gumam Amar dalam hati. Lekas ia bangkit meski dengan tubuh yang masih agak lemas. Melipat sajadah, meletakkannya di atas lemari bersama perlengkapan shalat lainnya. Amar berbalik, berjalan ke luar dengan langkah perlahan menuruni anak tangga dengan kaki masih sedikit gemetar. Meski mamanya sudah me
Send. Centang dua. Tak butuh waktu lama, pesan yang ia kirim pada aplikasi hijau itu sudah masuk ke ponsel Zana. Dengan hati berdesir ia menunggu balasan dari perempuan yang selalu membuat hatinya merasakan rindu. Lima menit berlalu. Pesannya belum juga berbalas. Amar kembali mengecek ponselnya. Centang duanya masih belum berubah warna. Ia meletakkan kembali ponselnya di tempat semula. Tok! Tok! Tok! Pintu kamar diketuk. "Sepertinya Abang udah tidur, Ra." "Tante tolong panggilin, ya. Dira cuma pengen jenguk Bang Atha," ucap Dira dengan tatapan memohon. "Bang! Ini ada Dira, Bang!" seru Ibu Melia dari luar. Amar urung bangkit setelah mendengar dengan samar suara Dira. Ia memilih pura-pura tidur dengan diam tanpa menjawab. Berkali-kali sang Mama memanggil namanya. Namun Amar seolah tak mendengar. Bukan ia memilih abai pada panggilan dari perempuan yang paling ia hormati itu, melainkan berharap Dira akan menyerah untuk terus menemuinya dengan alasan menjenguk. "Syukurlah pintu ud
Pagi menyapa menggantikan malam. Aku membuka mata setelah sinar matahari pagi menyapa lewat celah gorden kamar yang sedikit terbuka. Membuka layar ponsel. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lima belas menit. Aku baru saja bangun, karena memang tengah libur shalat.Berderet pesan pada aplikasi hijau masuk setelah mode airplane kunonaktifkan. Dalam satu klikkan jari, pesan terbuka. [Sudah tidur?]Pesan masuk dari Bang Amar. Tertera waktu pengiriman jam 22.15. Semalam, tak lama setelah shalat isya aku memang langsung tidur. Wajar saja pesan itu baru masuk sekarang, karena setiap akan tidur, aku biasa memasang mode airplane, supaya tidurku tak terganggu dengan suara atau bahkan cahaya dari layar ponsel. Beberapa tahun terakhir, aku memang sangat susah tidur. Namun gampang terbangun. Mendengar suara pelan pun, aku bisa terbangun dan sulit untuk tidur kembali. Itu lah mengapa, aku selalu menggunakan mode airplane saat akan tidur. [Bangun!][Jangan sampai kalah sama ayam!]Pesan dari Ban
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r