Pagi menyapa menggantikan malam. Aku membuka mata setelah sinar matahari pagi menyapa lewat celah gorden kamar yang sedikit terbuka. Membuka layar ponsel. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lima belas menit. Aku baru saja bangun, karena memang tengah libur shalat.Berderet pesan pada aplikasi hijau masuk setelah mode airplane kunonaktifkan. Dalam satu klikkan jari, pesan terbuka. [Sudah tidur?]Pesan masuk dari Bang Amar. Tertera waktu pengiriman jam 22.15. Semalam, tak lama setelah shalat isya aku memang langsung tidur. Wajar saja pesan itu baru masuk sekarang, karena setiap akan tidur, aku biasa memasang mode airplane, supaya tidurku tak terganggu dengan suara atau bahkan cahaya dari layar ponsel. Beberapa tahun terakhir, aku memang sangat susah tidur. Namun gampang terbangun. Mendengar suara pelan pun, aku bisa terbangun dan sulit untuk tidur kembali. Itu lah mengapa, aku selalu menggunakan mode airplane saat akan tidur. [Bangun!][Jangan sampai kalah sama ayam!]Pesan dari Ban
Pemandangan itu mampu membuat mataku membulat sempurna. Aku terpaku di tempat. Beberapa saat pandanganku tertuju ke arahnya hingga tanpa sadar Ibu sudah berdiri tepat di sampingku."Lihatin apa sih, Na." Tangan Ibu menepuk lembut Bahuku, membuatku seketika menoleh ke arahnya. Ibu menatapku bergantian dengan gerombolan yang tadi menyita perhatianku. "Ng—nggak lihat apa-apa kok, Bu," jawabku tergagap.Ibu memang belum pernah melihat Rania, Jadi wajar saja perempuan paruh baya itu tidak tahu Siapa yang tengah kuperhatikan."Ya udah, yuk masuk buruan, acaranya udah mau mulai." Ibu mengayun langkah kearah gerbang masjid. Aku mengekor dibelakang punggung ibu, sambil sesekali melihat ke arah tadi. "Ibu ke dalam ya, Na," ucap Ibu. Aku mengangguk pelan. Perempuan terbaikku itu kini melangkah masuk melalui pintu depan masjid. Sedangkan aku memilih duduk di kursi plastik bagian sudut tenda yang berada di halaman masjid.Tatapanku kini tertuju pada tempat Rania berdiri. Dia Tengah di sana menun
Rania merenggangkan pelukannya padaku. Kedua netranya menatapku lekat dengan alis bertaut. "Apa maksudmu, Na? Bukankah Harry tinggal denganmu?" tanyanya dengan nada tak percaya. Kini aku yang menatapnya dengan tatapan heran. Mungkinkah Rania sendiri tak tahu, jika sudah beberapa bulan harry tidak lagi tinggal denganku. Bahkan aku tak pernah lagi melihat Harry sejak hari itu. "Bukankah Bang Haikal bilang, kau telah membawa harry bersamamu." Lanjut Rania. Aku menatapnya dengan mulut membulat sempurna. Kali ini aku seakan tak percaya dengan apa yang baru kudengar. "Bang Haikal tak pernah mengatakan padamu, jika ibumu telah menjemput harry dariku?" tanyaku. Rania menggeleng cepat. Aku tak mengerti Apa alasan Bang Haikal tidak mengatakannya pada Rania. Bukankah Rania adalah ibunya harry, yang harus tahu berita sepenting itu tentang harry. Meski saat itu Rania sendiri tak menginginkannya. "Kita harus bicara, Na! Dan bukan di sini tempatnya." Rania melangkah mendahuluiku, kemudian ber
"Jangan mengungkit sesuatu yang sudah berlalu! Bersyukur, Hidayah Allah datang belum terlambat. Jujur, Ran, aku bahagia melihatmu yang sekarang," ucapku dengan senyum tulus. Mungkin ada yang berpikir, mengapa aku masih sepeduli ini pada Rania? Harusnya aku bahagia melihat orang yang telah merebut kebahagiaanku, hancur seperti ini. Dulu, aku memang berpikir, bahwa aku akan puas jika melihat Rania menderita. Nyatanya yang aku rasakan, dendam hanya akan membuat kebahagiaanku terasa sempit. "Alhamdulillah, Na. Aku masih di pertemukan dengan orang-orang baik, termasuk dirimu.""Aku pun bersyukur, kau sudah bersama orang yang tepat sekarang.""Iya,Na. Saat ini aku tinggal bersama orang yang telah membantuku waktu itu. Ikut membantunya mengelola Panti Asuhan peninggalan orangtuanya. Sebab itu juga tiba-tiba aku begitu merindukan harry. Setiap hari bertemu anak-anak ... rasa sayang terhadap harry perlahan muncul. Aku begitu ingin bertemu dengannya. Aku ingin menebus kesalahanku selama ini
Sebenarnya aku cukup mengerti dengan perasaan Rania terhadap Bang Haikal. Cinta itu masih ada, dan masih cukup kuat.Tidak, aku sama sekali tidak cemburu. Lebih tepatnya aku tidak lagi merasakan cemburu. Hanya saja aku tak tega melihat Rania dengan sesal yang bertubi-tubi. "Jangan menanyakan hal itu padaku, Na!" Rania menggenggam erat kedua tangannya, seperti tengah berusaha untuk kuat. "Maafkan aku, Ran! Aku tak berniat apa-apa, selain berharap kau menemukan kebahagiaanmu lagi."Hening. Kami berdua memilih diam untuk waktu yang cukup lama. Isakan kecil masih saja terdengar dari bibir Rania. Aku tahu, banyak hal yang membuat Rania bersedih dan salah satunya adalah rasa kehilangannya atas Bang Haikal. "Kau lebih berhak atas Bang Haikal, Na." Rania seperti tengah berbisik pada dirinya sendiri. Lirih suaranya ke luar, hingga dalam jarak sedekat ini aku hampir tak mendengarnya. Aku menoleh cepat pada Rania. "Kau salah. Sekarang aku bahkan lebih tak berhak darimu." Aku sengaja berkat
"Baiklah. Maaf jika aku tak bisa membantumu lebih banyak," ucapku. Rania mengangguk pelan. "Kau bahkan begitu banyak membantuku, Na. Jika bukan karena kau yang berbesar hati, mungkin Harry sudah lama berada di Panti Asuhan. Aku sangat-sangat berterima kasih padamu, Na. Aku benci baru menyadari semuanya sekarang.""Sudahlah, Ran. Aku bahagia karena pernah membersamai Harry dalam tumbuh kembangnya." "Terima kasih, Na. Aku hanya berharap, kedepannya kau bisa memendam hal buruk tentang ku untukmu sendiri."Aku cukup mengerti maksud perkataannya barusan. "Iya, Ran," ucapku bersamaan dengan anggukan pelan. Beberapa saat kemudian kami sama-sama memilih diam. Tinggallah lantunan doa penutup, yang terdengar dari sound system yang terpasang menghadap masjid, sebagai penanda berakhirnya acara. *****Sepanjang perjalanan pulang aku memilih diam. Berapa kali Ibu berbicara tentang isi ceramah tadi, aku hanya mengiyakan, sesekali mengangguk. Di samping embusan angin yang menjadi lebih kencang ka
Aku menanggapi tatapan Bang Amar dengan mengendikkan bahu. Aku cukup tahu, alasan Bang Amar jarang berkunjung, hanya saja tak mungkin rasanya jika aku harus jujur pada ibu tentang rasa Bang Amar padaku yang terpendan sejak lama. "Nggak papa, Bu, Amar agak sibuk saja sekarang." Bang Amar beralasan. Aku hanya tersenyum geli mendengarnya. Bang Amar seperti makin menikmati dan terlihat begitu ramah saat bersama Ibu. kesan pendiam yang selama ini melekat, seakan hilang begitu saja dari dirinya. "Zana tinggal dulu, ya," ucapku menyela pembicaraan mereka disertai nyengir kuda. Tanpa menunggu persetujuan dari keduanya, aku bangkit berjalan masuk ke dalam, karena kulit ini terasa mulai lengket disebabkan keringat. Dalam waktu 20 menit, aku sudah selesai mengenakan pakaian. Kemeja putih berpadu dengan baggy pants berbahan jeans yang sedikit longgar berwarna biru tua menjadi pilihanku, melengkapinya dengan pashmina hitam polos. Kemudian menyapu sedikit riasan pada wajahku, agar terlihat
Kuseruput es jeruk peras yang sejak tadi belum kusentuh, sekedar untuk mengalirkan rasa sejuk di tenggorokan, demi menetralisir perasaan tak nyaman yang mulai menghampiri. Bang Amar terlihat memindai wajahku, membuat kepercayaan diriku seketika pudar. Aku memilih mengalihkan pandangan pada objek lain, sambil menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkannya. "Menunggu Abang putus hubungan dengan Dira."Mungkinkah Bang Amar lebih dulu memiliki hubungan khusus dengan Dira sebelumnya? Wajahku seketika berubah sendu seiring debar jantung yang mulai tidak stabil. "Jangan mikir yang bukan-bukan?" Bang Amar seperti tengah membaca isi kepalaku. Aku hanya bergeming. Menunggu kalimatnya terucap sempurna. Bang Amar menarik nafas dalam, sebelum akhirnya kalimat itu terucap. " Ini hanya sebuah perjodohan. Bukan tentang perasaan." Bang Amar terdengar serius. Aku menarik nafas lega, berharap semua ucapannya memang benar, jika dirinya tak memiliki rasa pada Dira. "Rencananya besok malam, du
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r