Amar duduk di sisi tempat tidur. Berapa kali dadanya naik turun menghirup dan menghembuskan napas panjang.Malam ini, mamanya akan mengajak keluarga mereka untuk berkunjung ke rumah Dira. Untuk membicarakan pembatalan perjodohan antara dirinya dan Dira.Bukan, bukan merasa berat hati. Melainkan dirinya merasa khawatir, Jika pihak keluarga Dira tak terima dengan keputusan pihak keluarganya. Sebenarnya sejak awal Amar tidak pernah menginginkan perjodohan ini. Mamanya-lah yang bersikeras memintanya dengan alasan ingin segera melihat Amar menikah. Mengingat usianya yang tak muda lagi. Amar pun tidak pernah mengatakan kesediaannya. Namun nyatanya sang Mama yang mengatur semuanya tanpa persetujuan Amar. Dengan langkah gontai, Amar berjalan ke arah pintu. Menuruni puluhan anak tangga menuju lantai bawah. Mama dan papanya terlihat sudah rapi. Keduanya duduk di ruang keluarga menunggu Amar dan Karin selesai siap-siap. "Berangkat sekarang, Ma?" tanya Amar. Saat dirinya semakin dekat. "Nu
Dua perempuan itu berbincang hangat untuk waktu yang cukup lama. Pun dengan Dua orang laki-laki yang berperan sebagai kepala dalam keluarga mereka. Keduanya terkadang ikut nimbrung pada tema yang tengah dibahas. Mereka terlihat sangat dekat. Jam dinding setinggi dada orang dewasa, yang berdiri kokoh di sudut ruangan berdentang kencang sebanyak sembilan kali. Pertanda waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tak terasa, satu jam sudah mereka berbincang ria, hingga hampir melupakan tujuan mereka datang ke sini. Hingga akhirnya, Pak Salim menyenggol pelan bahu sang istri mengisyaratkan agar segera membicarakan tujuan utama. Ibu Melia menatap sang suami yang duduk di sampingnya. Wajah yang semula ceria seketika berubah cemas. Perempuan itu berharap sang suami lah yang akan mewakilinya berbicara. Pak Salim hanya bergeming. Sengaja ia tidak menoleh pada istrinya, melainkan menatap pada suami istri yang duduk di hadapannya dengan senyum seramah mungkin. Lelaki itu sengaja membiarkan istr
Aku baru saja selesai mandi saat ponselku berdering. Sedikit kupercepat langkah kaki menuju kamar untuk melihat siapa yang telah menelponku sepagi ini.Rania. Rasa penasaran tentang kabar Harry, membuatku segera menggeser tombol dial untuk mengangkat telepon dari Rania."Hari ini kamu sibuk nggak, Na?" Suara dari seberang sana. "Enggak kok, Ran. Kebetulan lagi libur kuliah," jawabku jujur. Tangan kananku mengusap perlahan rambut yang masih basah dengan handuk untuk mengeringkannya. Rania terdengar menghela nafas berat. Kemudian berbicara. "Aku berkali-kali menelpon Mama, tapi nomornya enggak pernah aktif."Aku mendengar dengan seksama kata demi kata yang masuk ke telingaku. Tanpa berniat menyela. "Kemarin, aku telepon tante Leni, adik mama satu-satunya. Katanya Mama masuk penjara sejak dua bulan lalu." Suara Rania terdengar getir. Aku tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. seketika tanganku berhenti bergerak."Kok bisa, Ran?" tanyaku tak bisa lagi membendung rasa penasaranku.
"Iya, Na," jawabnya dengan suara hilang timbul. "Sekarang lebih baik kita pikirkan, bagaimana dan di mana kita akan menemukan Harry." Rania terdengar membuang napas kasar. "Sepertinya kita harus lapor polisi." Rania mengusulkan. Aku mengangguk pelan meski kutahu Rania tak dapat melihatnya. "Iya, Ran. Sebaiknya begitu. Kalau bisa secepatnya ajukan laporan kehilangan ke kantor polisi. Sebarkan juga beritanya lewat media sosial. Selebihnya, jika Kau perlu bantuan, hubungi aku." "Iya, Na. Akan kupersiapkan berkasnya secepatnya.""Oh ya, Ran. Apa kau masih punya info, seperti : tentang kemana Harry sering bepergian? Atau dengan siapa Harry sering bertemu?" "Itu yang ingin kutanyakan langsung pada Tante Leni, Na. Jika kau tak keberatan, Aku minta bantuanmu untuk menemui Tante Leni, sekalian mencari Harry."Saat akan mengiyakan permintaan Rania. Seketika aku teringat pesan Bang Amar. Rasa serba salah membuatku terdiam beberapa saat. Bagiku, Harry tak kalah penting. Lebih lagi saat i
Bang Amar meraih jemariku. Membawa ke pangkuannya. Aku tak menolak, seperti Ada hal penting yang ingin Ia sampaikan lewat sentuhan tangannya pada jemariku. Pelan ibu jarinya mengusap punggung tanganku. Namun dasirnya menelusup hingga ke relung sana. "Jangan pernah meninggalkanku dengan sebab apapun." Tangannya semakin erat menggenggam jemariku. "Katakan Saja, Aku tak akan cemburu." Jantungku semakin kencang berdetak. Dapat kurasakan, jika ada sesuatu yang mengganjal hatinya. "Iya. Dira tak ingin pertunangan kami dibatalkan. Namun aku tetap menganggap pertunangan ini sudah batal, karena aku sama sekali tidak pernah menginginkannya.""Bicaralah dari hati ke hati padanya. Mungkin dia akan mengerti." Aku berusaha membujuknya. Bang Amar lihat memutar bola mata dengan malas. Namun sesaat kemudian kembali fokus mengemudi.Mobil yang ia kemudikan kini memelan, lalu terparkir di sisi kiri jalan. Perasaan Canggung kian menyelimuti hatiku. Manakala gambar menoleh hingga tatapan kami bert
"Baiklah, setelah kesibukan pernikahan Fikri besok, aku akan membawa keluargaku pada orang tuamu. Terima kasih sudah memberikan jawaban yang begitu memuaskan."Bibir manisnya melengkungkan senyum. seolah tengah menggambarkan kebahagiaan yang tengah memenuhi sudut hatinya. "Aku berjanji! Tak akan membuatmu menangis karena sebuah kesetiaan yang tercampakkan. Selain ...." ucapannya terjeda. Tatapan matanya berubah getir. "Selain?" Aku mengulangi kalimatnya yang menggantung. Mataku menatap penuh tanya. "Selain—selain kau yang melakukannya lebih dulu." Lanjut Bang Amar. Dapat kutebak. Ternyata itu yang membuatnya Getir. "Apa kelihatannya aku akan melakukan hal demikian?" tanyaku dengan alis terangkat. "Bu …." Ucapannya terhenti, karena telunjukku mendarat di bibirnya. "Tak perlu menjawabnya! Aku cukup tahu diri." ucapku datar, seraya melepas tangannya dari pipiku. Bang Amar membuang napas kasar. Wajahnya berpaling ke luar jendela. Sesaat kemudian kembali menoleh ke arahku. Senyum
Aku cukup paham apa yang membuat Rania tak nyaman, itu karena keberadaan Bang Amar bersamaku. Begitupun dengan Bang Amar. Sejak berada bersama Rania dalam satu mobil, Bang Amar banyak diam. Dirinya hanya menjawab tanyaku. Dua orang yang dulu pernah di pertemukan dalam keadaan tak bersahabat. Wajar saja keduanya merasa canggung. Terpaksa aku yang harus putar otak untuk membuat suasana senyaman mungkin. "Bagaimana dengan berkas persyaratan laporannya, Ran?" tanyaku berusaha memecah hening di antara kami. Wajahku terangkat melirik pada Rania. "Itu yang ingin aku sampaikan padamu, Na ...." kalimatnya bernada canggung."Maksudmu?" Rania menghela nafas dalam. Matanya menatap lurus punggung kursi yang tengah kududuki. "Iya, Na, kau tahu sendiri, aku sama sekali tidak memiliki foto Harry. Satu-satunya foto Harry yang ada hanyalah foto Kami bertiga di akun Facebookku. Saat Harry masih bayi. Itupun Bang Haikal yang mempostingnya di sana. Setelah aku berniat melupakan semuanya. Aku mengha
Bahu Rania bergetar. Isakan kecil mulai keluar dari bibirnya. Tangannya terulur ke bawah tanpa mampu membalas pelukan Tante Leni. Pelukan Tante Leni semakin mengerat. Menenggelamkan wajah Rania di bahunya yang tertutup daster ungu tua. "Maafkan Rania, Tan!" ucap Rania dengan bibir bergetar. "Kau tak perlu merasa bersalah. Kau hanya korban. Tante yang harusnya minta maaf." Tangis Tante Lina pecah. Air matanya berjejal ke luar, menciptakan anak sungai di pipinya yang mulai menimbulkan garis-garis kerutan. Bibirku kelu. Mematung dengan wajah terasa menghangat. Pun dengan Bang Amar. Lelaki itu kini membuang muka. Memindai sekeliling rumah Tante Leni sebagai pelarian. Beberapa menit kemudian. Perempuan itu melerai pelukannya pada keponakannya. Mengusap kasar air mata yang tadi sempat tak tertahan. "Masuk dulu! Tenangkan dirimu di dalam," ucapnya seraya menuntun Rania masuk ke dalam. Sebelum memutar tubuhnya. Tante Leni menyempatkan melirik sekilas ke arahku. Mengangguk pelan. "Yuk,