Aku cukup paham apa yang membuat Rania tak nyaman, itu karena keberadaan Bang Amar bersamaku. Begitupun dengan Bang Amar. Sejak berada bersama Rania dalam satu mobil, Bang Amar banyak diam. Dirinya hanya menjawab tanyaku. Dua orang yang dulu pernah di pertemukan dalam keadaan tak bersahabat. Wajar saja keduanya merasa canggung. Terpaksa aku yang harus putar otak untuk membuat suasana senyaman mungkin. "Bagaimana dengan berkas persyaratan laporannya, Ran?" tanyaku berusaha memecah hening di antara kami. Wajahku terangkat melirik pada Rania. "Itu yang ingin aku sampaikan padamu, Na ...." kalimatnya bernada canggung."Maksudmu?" Rania menghela nafas dalam. Matanya menatap lurus punggung kursi yang tengah kududuki. "Iya, Na, kau tahu sendiri, aku sama sekali tidak memiliki foto Harry. Satu-satunya foto Harry yang ada hanyalah foto Kami bertiga di akun Facebookku. Saat Harry masih bayi. Itupun Bang Haikal yang mempostingnya di sana. Setelah aku berniat melupakan semuanya. Aku mengha
Bahu Rania bergetar. Isakan kecil mulai keluar dari bibirnya. Tangannya terulur ke bawah tanpa mampu membalas pelukan Tante Leni. Pelukan Tante Leni semakin mengerat. Menenggelamkan wajah Rania di bahunya yang tertutup daster ungu tua. "Maafkan Rania, Tan!" ucap Rania dengan bibir bergetar. "Kau tak perlu merasa bersalah. Kau hanya korban. Tante yang harusnya minta maaf." Tangis Tante Lina pecah. Air matanya berjejal ke luar, menciptakan anak sungai di pipinya yang mulai menimbulkan garis-garis kerutan. Bibirku kelu. Mematung dengan wajah terasa menghangat. Pun dengan Bang Amar. Lelaki itu kini membuang muka. Memindai sekeliling rumah Tante Leni sebagai pelarian. Beberapa menit kemudian. Perempuan itu melerai pelukannya pada keponakannya. Mengusap kasar air mata yang tadi sempat tak tertahan. "Masuk dulu! Tenangkan dirimu di dalam," ucapnya seraya menuntun Rania masuk ke dalam. Sebelum memutar tubuhnya. Tante Leni menyempatkan melirik sekilas ke arahku. Mengangguk pelan. "Yuk,
Dapat kurasa, detak jantung yang semakin cepat berlari. Menyisakan kekhawatiran lebih di relung sana. Khawatir dengan keadaan Harry. Bang Amar menautkan alis. Mungkin perasaannya tak jauh berbeda dariku. "Berita terakhir yang kudengar lebih menyakitkan lagi ...." Tante Leni menjeda kalimatnya. "Kabar yang kudengar, sebelum Kak Yuni tertangkap. harry dimanfaatkan Kak Yuni sebagai penghasil rupiah, dengan cara, Harry disewakan sebagai pengemis di kota." Rahang Tante Leni mengeras. Matanya terpejam. Bulir bening tak sanggup ia tahan hingga menerobos, mengalir di pipinya. Kutadahkan wajah menghadap langit-langit ruang tamu. Mataku menghangat disebabkan bulir bening yang berusaha ke luar. Sakit. Sangat sakit rasanya mendengar penuturan tante Yuni barusan.Rania tak jauh berbeda. Dua tangannya menangkup di wajah. Bahunya bergetar hebat dengan suara tangis terdengar pilu. Hati ibu mana tidak terluka, mendengar kabar menyakitkan yang telah menimpa sang anak. Meski dulu Rania tak pernah
"Iya, kehidupan yang dilalui Rania begitu berat. Namun dia masih bisa bangkit seperti sekarang. Aku bahkan tak yakin aku bisa, jika aku berada di posisi Rania." Embusan napas pelan keluar dari mulutku. "Sangat tak manusiawi rasanya jika aku tetap membencinya." Mataku menatap lurus ke depan. Membayangkan perasaan Rania sekarang membuat mataku berkaca-kaca. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan! Cukup syukuri saja dan jadikan ini sebagai pelajaran."Tangan kiri Bang Amar menjulur, membuka laci dashboard. Mengeluarkan minuman kemasan dari dalamnya lalu menyodorkannya kearahku. "Terima kasih untuk semuanya. Semoga Abang benar-benar mampu menerimaku apa adanya hingga nanti." Bibirku mengukir senyum Getir. Tetap saja kekhawatiran itu masih bersisa. "Aku belum bisa membuktikannya lebih dalam lagi sebelum kau halal untukku." *****Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 11 siang. Ketika Haikal baru saja melangkahkan kakinya memasuki ballroom hotel Mentari— tempat di mana perayaan resepsi pe
Bang Amar memang menepati janjinya. Seminggu setelah resepsi pernikahan Bang Fikri dan Farah, Bang Amar benar-benar datang membawa orang tuanya untuk melamarku. Malam ini. Dua keluarga akan bertemu, untuk membicarakan hari dan tanggal akad nikah akan dilaksanakan. Serta resepsi pernikahan. Semua keluargaku sudah berkumpul. Ketiga Abangku serta keluarganya sudah datang sejak sore tadi. Termasuk Bang Fikri dan Farah. Pasangan pengantin baru itu terlihat begitu serasi. "Bilang aja ngiri. Baru seminggu juga ditinggal nikah, malah minta dilamar." ledek parah disertai tawa saat semua keluargaku tengah menunggu kedatangan keluarga Bang Amar. Sontak semua tertawa dalam waktu bersamaan membuat wajahku terasa bersemu merah.Farah memang seolah tak butuh waktu untuk masuk ke dalam keluarga kami karena sebelum menikah pun Farah sudah seperti keluarga sendiri. Lebih lagi, parah memang terkenal mudah bergaul dengan siapa saja. Jadi tak heran, jika dengan mudah dia berhasil menaklukan hati kelua
"Ya, seperti keadaanku sekarang. Aku merasa begitu lemah saat menatapmu, bahkan merasa lemah hanya karena tengah memikirkanmu.""Gombal," ucapku jual mahal. "Akan kubuktikan setelah kita benar-benar halal. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggumu. Kumohon, jangan mikir terlalu jauh karena sepertinya aku dan mantanmu berbeda."Aku menghembuskan nafas pelan. Semua yang dikatakan Bang Amar benar adanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat bagi seorang laki-laki untuk menunjukkan kesetiaannya. Lebih lagi Bang Amar menungguku dalam ketidakpastian. "Masih ada yang kau takuti dari menikah denganku? Aku memang bukan laki-laki yang pintar permainan kata. Namun akan kubuktikan bahwa aku benar-benar menjadi suamimu.""Bukankah sejak tadi sudah menggodaku?" Aku tersenyum sengaja menimbulkan suara. "Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu! Jujur, sebenarnya aku ingin protes dengan jarak antara lamaran dan hari pernikahan kita yang kupikir begitu lama." Ucapan Bang Amat membuat taw
Sayup-sayup kudengar Ibu berbicara dengan seseorang yang suaranya asing bagiku."Dia nggak papa, Bu. Hanya syok dan sedikit luka lecet pada siku dan kepalanya. Semoga pasien segera sadar.""Alhamdulillah. Terima kasih Dokter." Suara Ibu terdengar khawatir. Mataku terbuka. Menatap langit-langit dan sekeliling ruangan yang didominasi warna putih. Aku berusaha mencerna apa yang sudah terjadi padaku, membuatku berada di sini. Hanya dalam beberapa saat aku tahu di mana aku berada. Rumah sakit. Ibu berjalan cepat menghambur ke arahku. Saat pandangannya mengarah padaku yang sudah siuman. "Alhamdulillah, kau sudah sadar, Na." Ibu berucap dengan raut bahagia bercampur sedih melebur jadi satu.Tergambar di kepalaku betapa hancur perasaan Ibu melihatku tergeletak di atas ranjang pesakitan meski pada kenyataannya kondisiku tidak terlalu buruk. Tangan Ibu lembut mengusap pipiku. Aku masih belum pulih sepenuhnya. Kepalaku masih terasa pusing dengan kening dan siku yang terasa perih. "Zana kena
Cukup lama kami hanya terdiam. Hingga tarikan nafas pelan keluar dari bibir calon suamiku itu."Aku minta maaf," ucapku dengan mata yang kini berubah menatapku lembut. Jemari Bang Ammar meraih daguku. Mengangkat wajahku hingga tatapan kami bertemu. "Jangan membuatku lebih khawatir lagi! Aku mohon! Tak mendapat restu Mama saja aku hampir kehilangan nyawaku. Bayangkan saja jika ... ah, sudahlah." Bang Amar menggantung kalimatnya. Wajah dingin itu kini berubah menjadi sendu. Mendapati Bang Amar menghawatirkanku sedemikian rupa, membuat gumpalan di relung sana menghangat. Bang Amar menggeleng pelan seolah keadaanku sangat parah. "Aku tak sanggup membayangkan jika kau yang berada di posisi perempuan itu." Mata itu kini berkaca-kaca. Hening. Aku menata debaran jantung yang berpacu semakin cepat. Mengingat korban yang Ibu ceritakan tadi membuat persendian ku terasa lemas. Mungkin Bang Amar tengah memikirkan hal serupa. Sesaat mata ini terpejam. Syukur tak henti kulantunkan dalam hati ka