Aku baru saja selesai mandi saat ponselku berdering. Sedikit kupercepat langkah kaki menuju kamar untuk melihat siapa yang telah menelponku sepagi ini.Rania. Rasa penasaran tentang kabar Harry, membuatku segera menggeser tombol dial untuk mengangkat telepon dari Rania."Hari ini kamu sibuk nggak, Na?" Suara dari seberang sana. "Enggak kok, Ran. Kebetulan lagi libur kuliah," jawabku jujur. Tangan kananku mengusap perlahan rambut yang masih basah dengan handuk untuk mengeringkannya. Rania terdengar menghela nafas berat. Kemudian berbicara. "Aku berkali-kali menelpon Mama, tapi nomornya enggak pernah aktif."Aku mendengar dengan seksama kata demi kata yang masuk ke telingaku. Tanpa berniat menyela. "Kemarin, aku telepon tante Leni, adik mama satu-satunya. Katanya Mama masuk penjara sejak dua bulan lalu." Suara Rania terdengar getir. Aku tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. seketika tanganku berhenti bergerak."Kok bisa, Ran?" tanyaku tak bisa lagi membendung rasa penasaranku.
"Iya, Na," jawabnya dengan suara hilang timbul. "Sekarang lebih baik kita pikirkan, bagaimana dan di mana kita akan menemukan Harry." Rania terdengar membuang napas kasar. "Sepertinya kita harus lapor polisi." Rania mengusulkan. Aku mengangguk pelan meski kutahu Rania tak dapat melihatnya. "Iya, Ran. Sebaiknya begitu. Kalau bisa secepatnya ajukan laporan kehilangan ke kantor polisi. Sebarkan juga beritanya lewat media sosial. Selebihnya, jika Kau perlu bantuan, hubungi aku." "Iya, Na. Akan kupersiapkan berkasnya secepatnya.""Oh ya, Ran. Apa kau masih punya info, seperti : tentang kemana Harry sering bepergian? Atau dengan siapa Harry sering bertemu?" "Itu yang ingin kutanyakan langsung pada Tante Leni, Na. Jika kau tak keberatan, Aku minta bantuanmu untuk menemui Tante Leni, sekalian mencari Harry."Saat akan mengiyakan permintaan Rania. Seketika aku teringat pesan Bang Amar. Rasa serba salah membuatku terdiam beberapa saat. Bagiku, Harry tak kalah penting. Lebih lagi saat i
Bang Amar meraih jemariku. Membawa ke pangkuannya. Aku tak menolak, seperti Ada hal penting yang ingin Ia sampaikan lewat sentuhan tangannya pada jemariku. Pelan ibu jarinya mengusap punggung tanganku. Namun dasirnya menelusup hingga ke relung sana. "Jangan pernah meninggalkanku dengan sebab apapun." Tangannya semakin erat menggenggam jemariku. "Katakan Saja, Aku tak akan cemburu." Jantungku semakin kencang berdetak. Dapat kurasakan, jika ada sesuatu yang mengganjal hatinya. "Iya. Dira tak ingin pertunangan kami dibatalkan. Namun aku tetap menganggap pertunangan ini sudah batal, karena aku sama sekali tidak pernah menginginkannya.""Bicaralah dari hati ke hati padanya. Mungkin dia akan mengerti." Aku berusaha membujuknya. Bang Amar lihat memutar bola mata dengan malas. Namun sesaat kemudian kembali fokus mengemudi.Mobil yang ia kemudikan kini memelan, lalu terparkir di sisi kiri jalan. Perasaan Canggung kian menyelimuti hatiku. Manakala gambar menoleh hingga tatapan kami bert
"Baiklah, setelah kesibukan pernikahan Fikri besok, aku akan membawa keluargaku pada orang tuamu. Terima kasih sudah memberikan jawaban yang begitu memuaskan."Bibir manisnya melengkungkan senyum. seolah tengah menggambarkan kebahagiaan yang tengah memenuhi sudut hatinya. "Aku berjanji! Tak akan membuatmu menangis karena sebuah kesetiaan yang tercampakkan. Selain ...." ucapannya terjeda. Tatapan matanya berubah getir. "Selain?" Aku mengulangi kalimatnya yang menggantung. Mataku menatap penuh tanya. "Selain—selain kau yang melakukannya lebih dulu." Lanjut Bang Amar. Dapat kutebak. Ternyata itu yang membuatnya Getir. "Apa kelihatannya aku akan melakukan hal demikian?" tanyaku dengan alis terangkat. "Bu …." Ucapannya terhenti, karena telunjukku mendarat di bibirnya. "Tak perlu menjawabnya! Aku cukup tahu diri." ucapku datar, seraya melepas tangannya dari pipiku. Bang Amar membuang napas kasar. Wajahnya berpaling ke luar jendela. Sesaat kemudian kembali menoleh ke arahku. Senyum
Aku cukup paham apa yang membuat Rania tak nyaman, itu karena keberadaan Bang Amar bersamaku. Begitupun dengan Bang Amar. Sejak berada bersama Rania dalam satu mobil, Bang Amar banyak diam. Dirinya hanya menjawab tanyaku. Dua orang yang dulu pernah di pertemukan dalam keadaan tak bersahabat. Wajar saja keduanya merasa canggung. Terpaksa aku yang harus putar otak untuk membuat suasana senyaman mungkin. "Bagaimana dengan berkas persyaratan laporannya, Ran?" tanyaku berusaha memecah hening di antara kami. Wajahku terangkat melirik pada Rania. "Itu yang ingin aku sampaikan padamu, Na ...." kalimatnya bernada canggung."Maksudmu?" Rania menghela nafas dalam. Matanya menatap lurus punggung kursi yang tengah kududuki. "Iya, Na, kau tahu sendiri, aku sama sekali tidak memiliki foto Harry. Satu-satunya foto Harry yang ada hanyalah foto Kami bertiga di akun Facebookku. Saat Harry masih bayi. Itupun Bang Haikal yang mempostingnya di sana. Setelah aku berniat melupakan semuanya. Aku mengha
Bahu Rania bergetar. Isakan kecil mulai keluar dari bibirnya. Tangannya terulur ke bawah tanpa mampu membalas pelukan Tante Leni. Pelukan Tante Leni semakin mengerat. Menenggelamkan wajah Rania di bahunya yang tertutup daster ungu tua. "Maafkan Rania, Tan!" ucap Rania dengan bibir bergetar. "Kau tak perlu merasa bersalah. Kau hanya korban. Tante yang harusnya minta maaf." Tangis Tante Lina pecah. Air matanya berjejal ke luar, menciptakan anak sungai di pipinya yang mulai menimbulkan garis-garis kerutan. Bibirku kelu. Mematung dengan wajah terasa menghangat. Pun dengan Bang Amar. Lelaki itu kini membuang muka. Memindai sekeliling rumah Tante Leni sebagai pelarian. Beberapa menit kemudian. Perempuan itu melerai pelukannya pada keponakannya. Mengusap kasar air mata yang tadi sempat tak tertahan. "Masuk dulu! Tenangkan dirimu di dalam," ucapnya seraya menuntun Rania masuk ke dalam. Sebelum memutar tubuhnya. Tante Leni menyempatkan melirik sekilas ke arahku. Mengangguk pelan. "Yuk,
Dapat kurasa, detak jantung yang semakin cepat berlari. Menyisakan kekhawatiran lebih di relung sana. Khawatir dengan keadaan Harry. Bang Amar menautkan alis. Mungkin perasaannya tak jauh berbeda dariku. "Berita terakhir yang kudengar lebih menyakitkan lagi ...." Tante Leni menjeda kalimatnya. "Kabar yang kudengar, sebelum Kak Yuni tertangkap. harry dimanfaatkan Kak Yuni sebagai penghasil rupiah, dengan cara, Harry disewakan sebagai pengemis di kota." Rahang Tante Leni mengeras. Matanya terpejam. Bulir bening tak sanggup ia tahan hingga menerobos, mengalir di pipinya. Kutadahkan wajah menghadap langit-langit ruang tamu. Mataku menghangat disebabkan bulir bening yang berusaha ke luar. Sakit. Sangat sakit rasanya mendengar penuturan tante Yuni barusan.Rania tak jauh berbeda. Dua tangannya menangkup di wajah. Bahunya bergetar hebat dengan suara tangis terdengar pilu. Hati ibu mana tidak terluka, mendengar kabar menyakitkan yang telah menimpa sang anak. Meski dulu Rania tak pernah
"Iya, kehidupan yang dilalui Rania begitu berat. Namun dia masih bisa bangkit seperti sekarang. Aku bahkan tak yakin aku bisa, jika aku berada di posisi Rania." Embusan napas pelan keluar dari mulutku. "Sangat tak manusiawi rasanya jika aku tetap membencinya." Mataku menatap lurus ke depan. Membayangkan perasaan Rania sekarang membuat mataku berkaca-kaca. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan! Cukup syukuri saja dan jadikan ini sebagai pelajaran."Tangan kiri Bang Amar menjulur, membuka laci dashboard. Mengeluarkan minuman kemasan dari dalamnya lalu menyodorkannya kearahku. "Terima kasih untuk semuanya. Semoga Abang benar-benar mampu menerimaku apa adanya hingga nanti." Bibirku mengukir senyum Getir. Tetap saja kekhawatiran itu masih bersisa. "Aku belum bisa membuktikannya lebih dalam lagi sebelum kau halal untukku." *****Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 11 siang. Ketika Haikal baru saja melangkahkan kakinya memasuki ballroom hotel Mentari— tempat di mana perayaan resepsi pe