"Iya, kehidupan yang dilalui Rania begitu berat. Namun dia masih bisa bangkit seperti sekarang. Aku bahkan tak yakin aku bisa, jika aku berada di posisi Rania." Embusan napas pelan keluar dari mulutku. "Sangat tak manusiawi rasanya jika aku tetap membencinya." Mataku menatap lurus ke depan. Membayangkan perasaan Rania sekarang membuat mataku berkaca-kaca. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan! Cukup syukuri saja dan jadikan ini sebagai pelajaran."Tangan kiri Bang Amar menjulur, membuka laci dashboard. Mengeluarkan minuman kemasan dari dalamnya lalu menyodorkannya kearahku. "Terima kasih untuk semuanya. Semoga Abang benar-benar mampu menerimaku apa adanya hingga nanti." Bibirku mengukir senyum Getir. Tetap saja kekhawatiran itu masih bersisa. "Aku belum bisa membuktikannya lebih dalam lagi sebelum kau halal untukku." *****Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 11 siang. Ketika Haikal baru saja melangkahkan kakinya memasuki ballroom hotel Mentari— tempat di mana perayaan resepsi pe
Bang Amar memang menepati janjinya. Seminggu setelah resepsi pernikahan Bang Fikri dan Farah, Bang Amar benar-benar datang membawa orang tuanya untuk melamarku. Malam ini. Dua keluarga akan bertemu, untuk membicarakan hari dan tanggal akad nikah akan dilaksanakan. Serta resepsi pernikahan. Semua keluargaku sudah berkumpul. Ketiga Abangku serta keluarganya sudah datang sejak sore tadi. Termasuk Bang Fikri dan Farah. Pasangan pengantin baru itu terlihat begitu serasi. "Bilang aja ngiri. Baru seminggu juga ditinggal nikah, malah minta dilamar." ledek parah disertai tawa saat semua keluargaku tengah menunggu kedatangan keluarga Bang Amar. Sontak semua tertawa dalam waktu bersamaan membuat wajahku terasa bersemu merah.Farah memang seolah tak butuh waktu untuk masuk ke dalam keluarga kami karena sebelum menikah pun Farah sudah seperti keluarga sendiri. Lebih lagi, parah memang terkenal mudah bergaul dengan siapa saja. Jadi tak heran, jika dengan mudah dia berhasil menaklukan hati kelua
"Ya, seperti keadaanku sekarang. Aku merasa begitu lemah saat menatapmu, bahkan merasa lemah hanya karena tengah memikirkanmu.""Gombal," ucapku jual mahal. "Akan kubuktikan setelah kita benar-benar halal. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggumu. Kumohon, jangan mikir terlalu jauh karena sepertinya aku dan mantanmu berbeda."Aku menghembuskan nafas pelan. Semua yang dikatakan Bang Amar benar adanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat bagi seorang laki-laki untuk menunjukkan kesetiaannya. Lebih lagi Bang Amar menungguku dalam ketidakpastian. "Masih ada yang kau takuti dari menikah denganku? Aku memang bukan laki-laki yang pintar permainan kata. Namun akan kubuktikan bahwa aku benar-benar menjadi suamimu.""Bukankah sejak tadi sudah menggodaku?" Aku tersenyum sengaja menimbulkan suara. "Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu! Jujur, sebenarnya aku ingin protes dengan jarak antara lamaran dan hari pernikahan kita yang kupikir begitu lama." Ucapan Bang Amat membuat taw
Sayup-sayup kudengar Ibu berbicara dengan seseorang yang suaranya asing bagiku."Dia nggak papa, Bu. Hanya syok dan sedikit luka lecet pada siku dan kepalanya. Semoga pasien segera sadar.""Alhamdulillah. Terima kasih Dokter." Suara Ibu terdengar khawatir. Mataku terbuka. Menatap langit-langit dan sekeliling ruangan yang didominasi warna putih. Aku berusaha mencerna apa yang sudah terjadi padaku, membuatku berada di sini. Hanya dalam beberapa saat aku tahu di mana aku berada. Rumah sakit. Ibu berjalan cepat menghambur ke arahku. Saat pandangannya mengarah padaku yang sudah siuman. "Alhamdulillah, kau sudah sadar, Na." Ibu berucap dengan raut bahagia bercampur sedih melebur jadi satu.Tergambar di kepalaku betapa hancur perasaan Ibu melihatku tergeletak di atas ranjang pesakitan meski pada kenyataannya kondisiku tidak terlalu buruk. Tangan Ibu lembut mengusap pipiku. Aku masih belum pulih sepenuhnya. Kepalaku masih terasa pusing dengan kening dan siku yang terasa perih. "Zana kena
Cukup lama kami hanya terdiam. Hingga tarikan nafas pelan keluar dari bibir calon suamiku itu."Aku minta maaf," ucapku dengan mata yang kini berubah menatapku lembut. Jemari Bang Ammar meraih daguku. Mengangkat wajahku hingga tatapan kami bertemu. "Jangan membuatku lebih khawatir lagi! Aku mohon! Tak mendapat restu Mama saja aku hampir kehilangan nyawaku. Bayangkan saja jika ... ah, sudahlah." Bang Amar menggantung kalimatnya. Wajah dingin itu kini berubah menjadi sendu. Mendapati Bang Amar menghawatirkanku sedemikian rupa, membuat gumpalan di relung sana menghangat. Bang Amar menggeleng pelan seolah keadaanku sangat parah. "Aku tak sanggup membayangkan jika kau yang berada di posisi perempuan itu." Mata itu kini berkaca-kaca. Hening. Aku menata debaran jantung yang berpacu semakin cepat. Mengingat korban yang Ibu ceritakan tadi membuat persendian ku terasa lemas. Mungkin Bang Amar tengah memikirkan hal serupa. Sesaat mata ini terpejam. Syukur tak henti kulantunkan dalam hati ka
Pantulan wajah di depan cermin membuat senyum kecut terukir di wajahku. Mengingat pernikahanku yang tinggal beberapa hari lagi. Namun bekas luka yang masih cukup basah hingga hari ini. Entah bagaimana caranya Bang Amar meyakinkan orang tuanya untuk menyegerakan pernikahan kami. Hingga akhirnya Kedua keluarga sepakat pernikahan kami akan dilaksanakan minggu depan. Tepatnya, akad nikah. Ya, rencananya untuk sementara waktu kami hanya akan melaksanakan akad nikah dengan dihadiri keluarga inti serta teman dekat saja. Dalam waktu beberapa bulan ke depan, barulah resepsi akan dilaksanakan. Terlalu Naif jika aku mengatakan aku betah dengan keadaan sekarang. Mencintai seorang laki-laki yang hanya mampu kusentuh dalam angan. Aku pun inginkan hal serupa. Bernaung dalam ikatan yang resmi. Bebas mengekspresikan rasa dengan cara yang kumau tanpa ada aturan sebagai pemisah. Semula aku sempat menolak karena berharap bisa membantu Rania mencari Harry. Tak tega rasanya melihat dia berjuang sendi
"Apakah Abang akan mengatakan hal serupa, saat memiliki rasa pada perempuan lain?" pancingku. Ada rasa tak rela bergelayut di relung sana. "Menurutmu?" Kini tawa kecil kembali terdengar. "Jangan menjawabku dengan teka-teki," sewotku. "Sudahlah. Jangan membahas sesuatu yang bisa memicu rasa tak nyaman. Semua itu akan kita bicarakan nanti, saat aku sudah bisa tidur satu ranjang denganmu." Bang Amar terkekeh. "Alasannya?""Tanyakan saja saat kau tengah menyandarkan kepalamu di dadaku kelak di peraduan. Dengan demikian, saat kau merajuk aku lebih leluasa menenangkanmu." Ia seperti tak bisa menahan tawanya. Entah apa yang lucu baginya, hingga membuatku tersenyum manis. Namun ia tak bisa melihatnya. Tawanya terdengar seperti irama syahdu di telingaku. Begitu menenangkan. Hingga tak ada kata bosan saat mendengarnya. "Apa semua perempuan akan sesensitif ini saat hari pernikahannya semakin dekat?" ledek Bang Amar. "Apa aku terlihat begitu?" Aku masih berpura-pura dingin. "Sepertinya."
Wajah rupawan itu semakin sempurna dengan balutan setelan jas pengantin berwarna silver. Senada dengan kebaya pengantin yang tengah kukenakan. Rasa syukur membuncah di jiwa, mendapati kenyataan lelaki yang lebih dari lima tahun lalu kukagumi, kini akan segera resmi menjadi suamiku. Bang Amar duduk tegak menghadap penghulu yang diapit dua saksi dari KUA. Sedangkan aku, aku duduk di antara Ibu dan Mama. Persis di belakang Bang Amar. Tangan Mama menggenggam erat jemariku. Mengalirkan bahagia di relung sana. Ijab kabul akan segera dilaksanakan setelah baru saja khutbah nikah selesai dibacakan. Kepalaku menunduk dalam, saat Bang Amar yang tengah menjabat tangan penghulu menyambut ijab dari Penghulu. Lelaki gagah itu sukses melafadzkan kalimat qobul dalam satu tarikan napas. Haru menyelimuti hatiku. Cinta yang terpendam lama kini bermekaran. Menyatu dalam satu kesatuan yang Allah ridhoi atas nama pernikahan. "Sah?" "Saaahh." Jawaban serempak terdengar menyambut tanya dari Pak Penghu