Pantulan wajah di depan cermin membuat senyum kecut terukir di wajahku. Mengingat pernikahanku yang tinggal beberapa hari lagi. Namun bekas luka yang masih cukup basah hingga hari ini. Entah bagaimana caranya Bang Amar meyakinkan orang tuanya untuk menyegerakan pernikahan kami. Hingga akhirnya Kedua keluarga sepakat pernikahan kami akan dilaksanakan minggu depan. Tepatnya, akad nikah. Ya, rencananya untuk sementara waktu kami hanya akan melaksanakan akad nikah dengan dihadiri keluarga inti serta teman dekat saja. Dalam waktu beberapa bulan ke depan, barulah resepsi akan dilaksanakan. Terlalu Naif jika aku mengatakan aku betah dengan keadaan sekarang. Mencintai seorang laki-laki yang hanya mampu kusentuh dalam angan. Aku pun inginkan hal serupa. Bernaung dalam ikatan yang resmi. Bebas mengekspresikan rasa dengan cara yang kumau tanpa ada aturan sebagai pemisah. Semula aku sempat menolak karena berharap bisa membantu Rania mencari Harry. Tak tega rasanya melihat dia berjuang sendi
"Apakah Abang akan mengatakan hal serupa, saat memiliki rasa pada perempuan lain?" pancingku. Ada rasa tak rela bergelayut di relung sana. "Menurutmu?" Kini tawa kecil kembali terdengar. "Jangan menjawabku dengan teka-teki," sewotku. "Sudahlah. Jangan membahas sesuatu yang bisa memicu rasa tak nyaman. Semua itu akan kita bicarakan nanti, saat aku sudah bisa tidur satu ranjang denganmu." Bang Amar terkekeh. "Alasannya?""Tanyakan saja saat kau tengah menyandarkan kepalamu di dadaku kelak di peraduan. Dengan demikian, saat kau merajuk aku lebih leluasa menenangkanmu." Ia seperti tak bisa menahan tawanya. Entah apa yang lucu baginya, hingga membuatku tersenyum manis. Namun ia tak bisa melihatnya. Tawanya terdengar seperti irama syahdu di telingaku. Begitu menenangkan. Hingga tak ada kata bosan saat mendengarnya. "Apa semua perempuan akan sesensitif ini saat hari pernikahannya semakin dekat?" ledek Bang Amar. "Apa aku terlihat begitu?" Aku masih berpura-pura dingin. "Sepertinya."
Wajah rupawan itu semakin sempurna dengan balutan setelan jas pengantin berwarna silver. Senada dengan kebaya pengantin yang tengah kukenakan. Rasa syukur membuncah di jiwa, mendapati kenyataan lelaki yang lebih dari lima tahun lalu kukagumi, kini akan segera resmi menjadi suamiku. Bang Amar duduk tegak menghadap penghulu yang diapit dua saksi dari KUA. Sedangkan aku, aku duduk di antara Ibu dan Mama. Persis di belakang Bang Amar. Tangan Mama menggenggam erat jemariku. Mengalirkan bahagia di relung sana. Ijab kabul akan segera dilaksanakan setelah baru saja khutbah nikah selesai dibacakan. Kepalaku menunduk dalam, saat Bang Amar yang tengah menjabat tangan penghulu menyambut ijab dari Penghulu. Lelaki gagah itu sukses melafadzkan kalimat qobul dalam satu tarikan napas. Haru menyelimuti hatiku. Cinta yang terpendam lama kini bermekaran. Menyatu dalam satu kesatuan yang Allah ridhoi atas nama pernikahan. "Sah?" "Saaahh." Jawaban serempak terdengar menyambut tanya dari Pak Penghu
"Aku memilihmu karena kau memiliki dua kecantikan." Telunjuknya mengarah tepat di depan dada kananku. "Kau cantik. Pun dengan hatimu."Kalimat Bang Amar berhasil membuatku tersipu. Hening. Kami terdiam beberapa saat. Aku menundukkan kepala. Sedangkan Bang Amar, laki-laki itu tengah menatapku lekat, seakan tak ingin melewatkan sedetik pun pandangannya dariku. "Sayang." Panggilan yang kini semakin sering kudengar. Aku mendongakkan kepala, menatap wajah lelaki tampan dengan kopiah hitam yang masih bertengger di kepalanya. "Bolehkan aku memelukmu." Wajahku terasa menghangat dengan bibir tersenyum malu. "Abang tak harus meminta izin padaku. Bukankah selagi sanggup, aku tak memiliki hak untuk menolak," ucapku pelan dengan menatap lembut mata Bang Amar. Begitulah yang kutahu. Sesuai dengan isi khutbah nikah yang sempat dibacakan Pak Penghulu siang tadi. "Aku hanya ingin kau merasa dimulyakan saat bersamaku. Jika kau merasa tak nyaman, katakan saja. Aku akan berusaha memahami dan memper
Antara sadar dan tidak. Terdengar lantunan qur'an memecah sunyi. Pelan kedua mataku terbuka, tubuhku masih terbungkus dalam balutan selimut.Tubuh lelah setelah menyambut tamu kemarin dilanjutkan dengan permainan panas Bang Amar semalam, membuat tidurku terasa begitu nyenyak. Malu dan kagum bercampur jadi satu, mendapati Bang Amar yang sudah bangun terlebih dahulu dariku. Bahkan dirinya kini tengah khusuk bercakap-cakap dengan Allah lewat bacaan quran yang tengah ia senandungkan. "Shadaqallahul adzim." Bang Amar menyudahi bacaan qur'annya setelah dari masjid terdekat lantunan tarhim terdengar merdu. pertanda waktu subuh akan segera datang. "Sudah bangun, Sayang?" Bibirnya tersenyum begitu manis. Aku hanya membalasnya dengan hal serupa. "Kenapa nggak bangunin Zana?" Bang Amar tak langsung menjawab. Iya bangkit meletakkan qur'an di atas nakas, lalu melepas kopiah dan meletakkannya di sisi qur'an. "Tidurmu terlihat begitu nyenyak, membuat aku tak tega membangunkanmu," jawabnya set
Pelan tanganku mengusap dada bidang yang hanya tertutupi kaos tipis, menampakkan otot dada dari dada bidang Bang Amar. Bibir menyambut sentuhan dengan hal serupa membuat kami semakin terbawa suasana untuk menuntaskan hasrat yang seperti tak pernah habis. Perlahan tangannya melepaskan satu persatu kancing piyama yang tengah kukenakan hingga tak bersisa. Membuat gairah di jiwa semakin membuncah, saat dengan lembut tangan kekarnya manjalar ke setiap inci tubuhku yang tanpa penghalang. "Setelah merasakannya semalam, aku bahkan ingin selalu melakukannya setiap kali melihat wajahmu, Sayang," bisik Bang Amar lembut. Sentuhan demi sentuhan yang mendarat di tubuhku menciptakan sensasi yang luar biasa, hingga bibir terasa kelu. Dalam beberapa saat tubuh kami menyatu yang hanya tertutupi selimut. Menyatukan cinta dan nafsu, menciptakan kenikmatan yang seperti tak pernah menimbulkan kejenuhan. *****Dua hari sudah Haikal mencari tahu tentang keberadaan Rania. Sejak melihatnya di pesta pernik
Sinar matahari yang mulai menghangat turut menjadi saksi gumpal di relung sana yang ikut menghangat. Sosok yang selalu Rania rindukan kini kembali. Rania masih bergeming menikmati detak jantung yang berpacu semakin cepat. Serta mencari kata yang tepat untuk jawaban yang akan Ia berikan. Rasa itu masih begitu kuat hingga mampu menghadirkan kembali desir yang dulu pernah ada. Sekuat apa ia menahan nyatanya cinta itu masih terasa begitu besar pada sosok yang kini tengah tegak berdiri di hadapannya.Sosok yang berapa waktu lalu mengikat Janji Suci dengannya meski hanya secara siri. Teringat kembali bagaimana lembutnya perlakuan Sang suami saat bersama dulu. Memperlakukannya dengan penuh cinta, meski dirinya tahu ia hanyalah tempat pelarian. "Pulanglah bersamaku!" Kembali ajakan itu terdengar dari bibir yang sama. "Aku tak ingin mengulang kesalahan sebelumnya," ucap Rania dengan kepala masih tertunduk. Rasa cinta itu masih sama. Namun tetap saja sesal itu ini lebih mendominasi, membu
"A—aku, aku hanya ingin fokus mencari Harry dahulu. " Kalimat itu ke luar tanpa ia sengaja. "Ke—kenapa dengan Harry? Bukankah dia bersamamu?" Haikal tampak kaget. Selama ini yang iya tahu, Harry tinggal bersama sang Nenek atau bahkan mungkin bersama Rania—ibunya.Rania terlihat menghela nafas dalam. Beban di dadanya kembali terasa, ketika teringat Harry yang entah di mana rimbanya. "Bulan lalu, Mama ditangkap polisi." Rania mulai menceritakan penyebab Harry hilang dengan helaan napas dalam. Hingga tanpa mampu ia tahan, air mata menerobos keluar mengalir lembut di pipi mulusnya. Sesal yang selama ini bergelayut di dadanya karena telah menyia-nyiakan Harry belum juga reda, ditambah lagi Harry yang kini tidak ia ketahui bagaimana keadaannya. Melihat rasa bersalah dan kekhawatiran di wajah Rania menciptakan Rasa Bahagia di hati Haikal. Bukan, bukan rasa bahagia karena Harry hilang, melainkan bahagia mendapati rasa sayang Rania pada Harry yang kini mulai tumbuh dan berkembang. Namun d