Tiga hari sudah aku resmi menjadi istri Bang Amar dan sejak kemarin, kami tinggal di rumah Bang Amar. Rumah yang ia beli dari jerih payahnya sendiri jauh sebelum kami menikah.Rumah yang kami tinggali cukup besar. Rumah berlantai dua yang terletak tidak begitu jauh dari pusat Kota. "Ayo sarapan, Sayang." Bang Amar berjalan masuk dan mendekat ke arahku berdiri. Di depan jendela kamar di lantai dua. Kamar yang Bang Amar tempati dulu, sekaligus kamar yang kami tempati untuk sementara sebelum kamar utama selesai dirapikan. Tangannya merangkul di pinggangku. "Zana belum laper." Kebiasaan waktu sarapanku memang sedikit berbeda. Aku terbiasa sarapan di jam sembilan pagi. Kebiasaan yang entah kapan datangnya, aku baru menyadarinya beberapa tahun terakhir. Seingatku, saat masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, aku dibiasakan oleh Ibu untuk sarapan lebih awal, mengingat setengah delapan pagi waktunya masuk sekolah. Mataku terpejam seraya menarik nafas panjang. Me
"Na, Apa kau pikir Aku menginginkanmu hanya karena hasrat lelaki dewasa?" tanya bang Amar dengan nada hati-hati. "Jika keturunan yang menjadi yang utama, mungkin bukan kau yang menjadi Pilihanku." Tangan kekarnya kini merengkuh tubuhku, merapatkan di dadanya hingga tak berjarak. Aku hanya bergeming. Menikmati usapan hingga kecupan lembut dari Bang Amar di kepalaku. "Jangan berpikir yang bukan-bukan! Cukup temani aku dan jadi istri yang baik untukku." Bang Amar kembali menghujaniku dengan ciuman. " Mungkin setelah ini, Abang akan semakin sering merinduimu dan tak betah jauh darimu karena memang kau milik Abang dan hanya akan menjadi milik Abang. Pernikahan bukan hanya tentang keturunan dan menuntaskan syahwat saja, Sayang."Aku hanya mengangguk dengan kepala sedikit tertunduk. Rasa yang belum biasa membuat kekhawatiran kerap kali kembali menderaku. Bang Amar kembali menarikku dalam pelukannya. Menghujaniku dengan ciuman tanpa mampu kutolak.Bibirnya dengan lembut menyusuri setiap in
Beberapa hari ini semburat bahagia kembali menghiasi wajah tampan Haikal. Wajah yang selalu terlihat tak bersemangat itu kini kembali menampakkan rona bahagia. Semua bermula saat pertama kali melihat Rania di pesta pernikahan Fikri. Rasa penasaran memenuhi rongga dadanya, hingga ia pun berinisiatif untuk mencari tahu di mana dan dengan siapa Rania tinggal, serta apa yang membuat Rania berubah menjadi berbanding terbalik dengan Rania yang ia kenal. Di mata Haikal, Rania memang tak secantik Zana. Namun setelah melihat perempuan itu dalam balutan gamis dan kerudung panjang, sudut hatinya bergetar. Rania begitu anggun dengan penampilan barunya. Begitulah yang Haikal lihat. Ada rasa tak rela jika istri kedua yang kini menjadi satu-satunya itu sampai meninggalkannya seperti yang dilakukan Zana padanya. Beberapa hari lalu sebelum ia memberanikan diri untuk bertemu Rania, Haikal sempat menemui pemilik panti. "Anda Haikal? Suami Rania?" Puji spontan menutup mulut dengan tangannya ketika
Keduanya larut dalam haru karena orang yang sama. Rania. Perempuan itu banyak menyimpan luka, hingga ia merasa tak mampu lagi menanggungnya. "Rania sangat mencintai anda. Sering kali ia menceritakan hal-hal menyenangkan yang kalian lewati. Namun harus berakhir dengan air mata, ketika ia kembali menyesali semuanya. Ia sangat menyesal karena telah membohongi anda dan menyia-nyiakan Harry." Beberapa saat ruangan tempat mereka berada hening. Tersisa hanyalah suasana haru yang menyesakkan dada. "Aku datang karena ingin memperbaiki kesalahanku," ucap Haikal mantap. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu ia kehilangan Zana, meski nyatanya kali ini dengan alasan yang berbeda. "Rania perempuan yang baik, hanya saja trauma masa lalu membuatnya melampiaskan pada hal yang salah. Bawa kembali kebahagiaannya ynag sempat hilang. Aku percaya, kau mampu melakukannya."Hingga pukul dua dini hari Baru lah mata Haikal mampu terpejam. Bibirnya menyungging senyum ketika bayangan Rania
Tok! Tok! Tok! Suara pintu kamar di ketuk. Puji berjalan mendekat. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu menguar senyum, membuat wajah cantiknya semakin menawan. Perempuan muda dengan wajah teduh itu berjalan pelan mendekat ke arah Rania. "Sejak habis subuh nggak keluar kamar lagi. Kenapa?" tanya Puji pada Rania. Ia menangkap wajah gamang dari perempuan yang pernah ia tolong dulu. Rania menarik tangan Puji agak mendekat. Puji duduk menghadap Rania yang kini ikut duduk. Untuk beberapa saat keduanya terdiam beberapa saat, hanya helaan napas berat dari mulut Rania yang terdengar. "Bagaimana menurutmu, jika Bang Haikal memintaku kembali?" Suara Rania terdengar lirih. Ada beban yang berusaha ia uraikan."Oh, ya. Itu bagus, dong." Puji berpura-pura terkejut saat mendengar pertanyaan Rania. Sesungguhnya ia pun sudah menyangka hal itu akan terjadi, mengingat pembicaraannya dengan Haikal beberapa waktu lalu. Rania tersenyum sesaat. Namun setelahnya air muka bahagia itu menghilang. "Ke
"Iya, Na. Ternyata Bang Haikal sempat melihatku di pernikahan Farah waktu itu. Dan sejak saat itu, dia berusaha mencariku." Gurat canggung terlihat jelas di wajah Rania. Sekilas aku melirik Bang Amar yang tengah duduk sendiri, di tempat yang sama. Lelakiku itu kini tengah menikmati jus mangga sambil memainkan ponselnya."Dia memintamu kembali?" tebakku, membuat Rania mengangguk pelan. "Aku minta waktu untuk memutuskannya, apakah aku akan kembali atau tidak." "Kenapa? Bukankah kau menginginkan hal serupa?"Aku tahu itu dari Sinta dulu, jika Bang Haikal adalah lelaki pertama yang membuat Rania jatuh hati karena perlakuannya. Apakah aku cemburu? Tidak. Luka itu masih membekas. Namun aku tak boleh egois. Masa lalu Rania sudah sangat berat untuk ia lalui. Sudah sewajarnya sesama perempuan, aku mendukung jalan kebahagiaannya karena aku sendiri sudah merasa sangat bahagia dengan pilihanku sekarang. Rania menenganggukkan kepala. Menarik sudut bibir membentuk bulan sabit. Ia tersenyum den
Berada di posisiku menjadi serba salah. Aku tak ingin berdiri pada pihak mana pun. Namun aku hanya ingin Rania menemukan kebahagiaan dengan tenang, tanpa merasa bahagia di atas penderitaan yang lain. "Bersabarlah, Ran. Kau pasti akan mendapatkan restu cepat atau lambat. Seperti yang kukatakan tadi, minta lah Bang Haikal untuk membujuk keduanya. Dan kau, lakukan shalat istikhoroh. Semoga kau menemukan titik terang." "Entahlah, Na. Aku tak yakin. Namun akan kucoba." Bibir Rania menyungging senyum setengah terpaksa. "Tak perlu berkecil hati. Yakini saja, apa yang telah dan akan terjadi, semua merupakan jalan terbaik." Aku berusaha menyemangati Rania. "Bagaimana jika mereka tidak juga memaafkanku, Na?"Aku memang sempat meminta Rania untuk kembali, tapi tak pernah ada dalam benakku, jika aku akan menjadi penyatu antara mereka. Rasa tak nyaman mulai menghampiriku. Bagaimana tidak, sekuat apa aku menolak, tetap saja Rania adalah perempuan yang pernah membuat pernikahan pertamaku gagal.
"Lihat sini!" Wajahku terangkat, membuat tatapan kami bertemu. Bang Amar menatapku dengan wajah gemas. "Maafin, Zana," lirihku. Rasa bersalah membuatku iba melihat wajah bahagianya. Aku menebak, jika ia hanya sedang berusaha membuatku lebih tenang. Lembut ia mengecup keningku, kedua mataku, hingga ke pucuk kepala. Kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan setiap selepas shalat. "Dua kali. 'Kan qadha untuk magrib tadi." Bang Amar tertawa pelan, kemudian mendaratkan kembali beberapa kecupan di wajah dan kepalaku. Bibirku mengulas senyum. Senyum setengah dipaksakan. "Maafin Zana." Kembali kalimat itu kuulang, berharap rasa bersalahku pada suamiku itu bisa terhapus. Senyum lembut nan menenangkan mengurai di bibir Bang Amar. "Abang yang seharusnya minta maaf. Abang yang tak bisa menempatkan situasi. Maafkan Abang, Sayang," ucapnya lembut. Hatiku merasakan haru. Bagaimana tidak, aku yang jelas-jelas meninggikan suara pada Bang Amar hingga membuatnya seketika terdiam. Namun, dia-lah yan
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r