Mengingat nama Harry hati rasanya meringis. Di mana 'kah anak itu? Aku rindu. Bahkan sangat rindu. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca, hingga mengharuskanku terpejam beberapa saat untuk menata hati agar tak terlalu perih. Meski berbagai cara untuk menemukan Harry sudah dilakukan. Namun bocah laki-laki itu belum juga ada tanda-tanda keberadaannya. Aku hanya meminta di setiap do'a, agar bisa dipertemukan kembali dengan Harry dalam keadaan apa pun. "Kau merindukannya?" "Siapa?""Anak itu."Aku mengangguk pelan. Rasa rindu pada Harry memang kerap kali datang menyapaku, membuat kenangan saat bersamanya kembali berputar di kepala. "Haikal?" Dahiku berkerut ketika nama itu ke luar. "Kupikir…." Suara Bang Amar menggantung. "Pikir apa?" "Kau—kau masih memiliki rasa padanya."Suasana hati yang tadi haru seketika berubah. Aku yang awalnya sempat menatapnya sendu, kini berusaha menahan tawa. "Apa ini alasan Abang tadi mendiamiku?" Tawaku pecak melihat Bang Amar yang tengah menggarul kepala
"Maaf sebelumnya karena ini tak sesuai rencana."Aku menautkan alis. Tak mengerti arah pembicaraan Bang Amar. "Buka aja." Bang Amar mempersilakan. "Paket honeymoon ke Lombok," pekikku bersemangat. Tempat yang sejak lama ingin kukunjungi kembali. Ya, sebelum menikah dengan Bang Haikal dulu, aku memang pernah ke Lombok bersama Farah, tepatnya ke Gili Trawangan. Pulau kecil yang menyajikan pemandangan luar biasa dan telah membuatku jatuh hati bahkan sebelum aku mengunjunginya. "Ke Gili Trawangan juga 'kan?" Aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahku. Bang Amar mengangguk sambil tersenyum manis. Sedangkan aku, aku menghambur memeluknya. "Makasih," ucapku seraya membenamkan wajahku di bahunya. Rasa haru kembali menyelimuti hatiku. Ternyata benar, kita akan dihargai tergantung tempat di mana kita berada. Itu juga yang tengah kurasakan sekarang. Membayangkan keindahan Gili Trawangan yang kali ini akan terasa berlipat karena aku akan mengunjunginya bersama Bang Amar. Lelaki y
Bang Amar mengerutkan alis. Namun akhirnya segera meraih ponsel di atas nakas. "Mama di rumah?" tanyanya dengan ponsel menempel di telinga. "Lagi sibuk nggak, Ma?" "Mama masak apa hari ini?""Nggak, Zana lagi nggak selera makan, katanya lagi pengen makan sup daging buatan Mama.""Oke, Ma. Makasih, Ma. Kami ke sana."Bang Amar meletakkan kembali ponsel di tempat semula, kemudian kembali duduk di sampingku. "Kita ke rumah Mama. Kebetulan semua perlengkapan buat masak supnya sudah tersedia karena besok Mama memang berencana masak sup daging.""Tadi, minta maaf nggak ke Mama, kalo udah ngerepotin?"Aku merasa nggak nyaman karena meminta sesuatu yang bisa mereporkan Mama. "Udah nggak papa, Kita ke sana juga Mama udah seneng banget." Bang Amar mengusap kepalaku. Senyum di bibirnya mengembang, mungkin merasa menemukan cara untuk membuatku mau makan hari ini. "Zana sungkan.""Yang terpenting sekarang kamu makan. Masalah ke Mama biar nanti ngomong langsung. Yuk, siap-siap."Dengan sigap
Tubuhku terasa lemas, kaki dan tangan terasa dingin. Keringat membanjiri dahiku, seketika badanku terasa tak nyaman. "Bawa Zana masuk kamar, Bang. Mama buatkan teh manis hangat."Tanpa menunggu persetujuanku, Bang Amar membopong tubuhku, berjalan melewati dapur dan ruang tengah lalu masuk ke kamar—kamar yang memang dipersiapkan Mama untuk kami. Dengan sigap Bang Amar melepas jilbab dari kepalaku setelah membaringkanku di ranjang. "Kau kenapa?" ulangnya lagi. Tangannya sibuk mengusap anak rambut di keningku yang telah basah oleh keringat, kemudian berpindah memijat lembut dahi, jemari tangan dan kakiku. Lagi-lagi aku hanya menggeleng dengan mata terpejam. Tubuhku terasa begitu lemas, hingga untuk membuka mata saja rasanya enggan. "Sayang, jangan membuat Abang khawatir." Rasa tak tega membuatku berusaha membuka mata, cahaya matahari yang menembus dari sela gorden membuat mataku sedikit menyipit. "Zana cuma pengen istirahat aja, Bang, nggak usah berlebihan." Aku berusaha tersenyu
Deru napas yang memburu dan detak jantung Bang Amar yang tiba-tiba berkejaran, membuatku memaksa mata kembali terbuka. Wajah Bang Amar tampak serius. Entah apa yang mereka bicarakan, hingga membuat air mukanya seketika berubah. "Lebih baik begitu, Tante. Maaf jika Dira merasa ini ulahku. Semoga di sana Dira bisa lebih dewasa lagi, bisa lebih paham dengan apa yang disebut takdir."Tak lama kemudian, Bang Amar menutup telponnya. "Kau kenapa, Sayang?" tanya Bang Amar saat mengangkat tangan yang sejak tadi menutupi wajahku. "Kenapa menangis? Abang salah apa?" Bang Amar terdengar khawatir. Tangannya sibuk mengusap lembut kepalaku. Entahlah, aku pun tak tahu, tiba-tiba saja rasanya aku ingin menangis. Tanpa tahu alasannya mengapa hati terasa memiliki beban berat yang harus kutampahkan lewat air mata. "Kau cemburu?" suara Bang Amar seperti tengah menggodaku. Aku hanya bergeming dengan tangan terus menutupi wajah. Aku memang cemburu. Cemburu saat Bang Amar menyebut nama perempuan itu. D
Ya, selama ini aku selalu membayangkan kalau Mama tak akan setulus ini menerimaku dalam keluarga mereka. Namun pada kenyataannya, perlakuan Mama begitu bersahabat, bahkan aku sempat merasa tak nyaman karena merasa selalu dilayani. "Makasih, Ma," ucapku setelah melipat mukena dan sajadah. "Malam ini nginep di sini saja, besok kalau masih belum baikan biar Mama yang jagain, jadi Abang bisa berangkat ke kantor.""Oh, ya, Mama ke luar dulu, mau belanja beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis."*****"Terima kasih, Sayang." Serak suara yang keluar dari bibir Bang Amar ketika merangkulku dalam pelukannya saat kami baru saja masuk kamar. Seperti tengah menahan tangis karena haru. Aku pun tak jauh berbeda, bulir bening sejak tadi menerobos ke luar, sejak dokter mengatakan kalau aku akan menjadi seorang Ibu. Ya, aku tengah hamil. Calon buah hati kami tengah tinggal di rahimku. Kurasakan kasih sayang Allah Maha Luar Biasa. Penantian panjang akhirnya membuahkan hasil. Untaian do'a di seti
Naima berucap lembut, namun penuh penekanan. Mata perempuan cantik berjilbab marun itu menatap lekat sang Adik yang menunduk di kursi teras belakang rumahnya. "Terima kasih, Kak. Haikal janji, Haikal akan menjaga pernikahan ini semampu dan sebisa Haikal," jawab Haikal masih dengan kepala tertunduk. "Ya. Lain waktu, bawalah Rania ke sini."Wajah lelaki itu semakin berbinar mendengar kalimat sang Kakak. "Baik, Kak. Akan Haikal kabari."Naima tersenyum lembut. Ada ketenangan di relung sana melihat wajah bahagia sang Adik. "Jangan lupa, yakini juga Kak Farida, supaya keluarga kita kembali hangat seperti dulu lagi."Deg! Haikal terpaku di tempat. Jika berhubungan dengan Kakak pertamanya itu Haikal seperti mati kutu. "Kakak masih sering menyesali keputusan sepihakmu sampai sekarang." Naima menerawang. Mengingat kembali tangis Zana di rumah sakit dulu membuat matanya berkaca-kaca. Namun seburuk apa pun ulah adiknya terdahulu, tetap saja ia menginginkan kebahagiaan menyertai adik semata
"Kakak akan pergi, karena bagi Kakak, penghianatan adalah racun dalam sebuah pernikahan. Jika rumah tangga sudah terkena racun itu, maka akan sulit mengembalikannya seperti semula, bahkan bisa saja tak akan pernah kembali seperti semula.""Tapi tidak dengan Zana. Perempuan itu masih bertahan demi Ibu, perempuan lembut itu dengan rela merawat Ibu hingga Ibu tiada." Naima mengusap sudut matanya yang mulai basah. Hatinya meringis, membayangkan perempuan cantik berhati lembut yang Allah kirimkan sebagai peneman ibunya di usia senja. Perempuan yang begitu singkat memasuki kehidupan keluarga mereka. Meski sekarang ia sering bertukar kabar dengan Zana, keadaan tidaklah sama. Kini ia harus rela dengan status Zana yang kembali menjadi orang asing dalam keluarga besar mereka. "Maafkan Haikal, Kak." Kepala lelaki itu kian tertunduk. Ia sadar, jika luka yang dulu ia ciptakan bukan hanya pada Zana, melainkan seluruh keluarganya. Bahkan hingga Zana berbahagia dengan suami barunya, luka itu mas