"Maaf sebelumnya karena ini tak sesuai rencana."Aku menautkan alis. Tak mengerti arah pembicaraan Bang Amar. "Buka aja." Bang Amar mempersilakan. "Paket honeymoon ke Lombok," pekikku bersemangat. Tempat yang sejak lama ingin kukunjungi kembali. Ya, sebelum menikah dengan Bang Haikal dulu, aku memang pernah ke Lombok bersama Farah, tepatnya ke Gili Trawangan. Pulau kecil yang menyajikan pemandangan luar biasa dan telah membuatku jatuh hati bahkan sebelum aku mengunjunginya. "Ke Gili Trawangan juga 'kan?" Aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahku. Bang Amar mengangguk sambil tersenyum manis. Sedangkan aku, aku menghambur memeluknya. "Makasih," ucapku seraya membenamkan wajahku di bahunya. Rasa haru kembali menyelimuti hatiku. Ternyata benar, kita akan dihargai tergantung tempat di mana kita berada. Itu juga yang tengah kurasakan sekarang. Membayangkan keindahan Gili Trawangan yang kali ini akan terasa berlipat karena aku akan mengunjunginya bersama Bang Amar. Lelaki y
Bang Amar mengerutkan alis. Namun akhirnya segera meraih ponsel di atas nakas. "Mama di rumah?" tanyanya dengan ponsel menempel di telinga. "Lagi sibuk nggak, Ma?" "Mama masak apa hari ini?""Nggak, Zana lagi nggak selera makan, katanya lagi pengen makan sup daging buatan Mama.""Oke, Ma. Makasih, Ma. Kami ke sana."Bang Amar meletakkan kembali ponsel di tempat semula, kemudian kembali duduk di sampingku. "Kita ke rumah Mama. Kebetulan semua perlengkapan buat masak supnya sudah tersedia karena besok Mama memang berencana masak sup daging.""Tadi, minta maaf nggak ke Mama, kalo udah ngerepotin?"Aku merasa nggak nyaman karena meminta sesuatu yang bisa mereporkan Mama. "Udah nggak papa, Kita ke sana juga Mama udah seneng banget." Bang Amar mengusap kepalaku. Senyum di bibirnya mengembang, mungkin merasa menemukan cara untuk membuatku mau makan hari ini. "Zana sungkan.""Yang terpenting sekarang kamu makan. Masalah ke Mama biar nanti ngomong langsung. Yuk, siap-siap."Dengan sigap
Tubuhku terasa lemas, kaki dan tangan terasa dingin. Keringat membanjiri dahiku, seketika badanku terasa tak nyaman. "Bawa Zana masuk kamar, Bang. Mama buatkan teh manis hangat."Tanpa menunggu persetujuanku, Bang Amar membopong tubuhku, berjalan melewati dapur dan ruang tengah lalu masuk ke kamar—kamar yang memang dipersiapkan Mama untuk kami. Dengan sigap Bang Amar melepas jilbab dari kepalaku setelah membaringkanku di ranjang. "Kau kenapa?" ulangnya lagi. Tangannya sibuk mengusap anak rambut di keningku yang telah basah oleh keringat, kemudian berpindah memijat lembut dahi, jemari tangan dan kakiku. Lagi-lagi aku hanya menggeleng dengan mata terpejam. Tubuhku terasa begitu lemas, hingga untuk membuka mata saja rasanya enggan. "Sayang, jangan membuat Abang khawatir." Rasa tak tega membuatku berusaha membuka mata, cahaya matahari yang menembus dari sela gorden membuat mataku sedikit menyipit. "Zana cuma pengen istirahat aja, Bang, nggak usah berlebihan." Aku berusaha tersenyu
Deru napas yang memburu dan detak jantung Bang Amar yang tiba-tiba berkejaran, membuatku memaksa mata kembali terbuka. Wajah Bang Amar tampak serius. Entah apa yang mereka bicarakan, hingga membuat air mukanya seketika berubah. "Lebih baik begitu, Tante. Maaf jika Dira merasa ini ulahku. Semoga di sana Dira bisa lebih dewasa lagi, bisa lebih paham dengan apa yang disebut takdir."Tak lama kemudian, Bang Amar menutup telponnya. "Kau kenapa, Sayang?" tanya Bang Amar saat mengangkat tangan yang sejak tadi menutupi wajahku. "Kenapa menangis? Abang salah apa?" Bang Amar terdengar khawatir. Tangannya sibuk mengusap lembut kepalaku. Entahlah, aku pun tak tahu, tiba-tiba saja rasanya aku ingin menangis. Tanpa tahu alasannya mengapa hati terasa memiliki beban berat yang harus kutampahkan lewat air mata. "Kau cemburu?" suara Bang Amar seperti tengah menggodaku. Aku hanya bergeming dengan tangan terus menutupi wajah. Aku memang cemburu. Cemburu saat Bang Amar menyebut nama perempuan itu. D
Ya, selama ini aku selalu membayangkan kalau Mama tak akan setulus ini menerimaku dalam keluarga mereka. Namun pada kenyataannya, perlakuan Mama begitu bersahabat, bahkan aku sempat merasa tak nyaman karena merasa selalu dilayani. "Makasih, Ma," ucapku setelah melipat mukena dan sajadah. "Malam ini nginep di sini saja, besok kalau masih belum baikan biar Mama yang jagain, jadi Abang bisa berangkat ke kantor.""Oh, ya, Mama ke luar dulu, mau belanja beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis."*****"Terima kasih, Sayang." Serak suara yang keluar dari bibir Bang Amar ketika merangkulku dalam pelukannya saat kami baru saja masuk kamar. Seperti tengah menahan tangis karena haru. Aku pun tak jauh berbeda, bulir bening sejak tadi menerobos ke luar, sejak dokter mengatakan kalau aku akan menjadi seorang Ibu. Ya, aku tengah hamil. Calon buah hati kami tengah tinggal di rahimku. Kurasakan kasih sayang Allah Maha Luar Biasa. Penantian panjang akhirnya membuahkan hasil. Untaian do'a di seti
Naima berucap lembut, namun penuh penekanan. Mata perempuan cantik berjilbab marun itu menatap lekat sang Adik yang menunduk di kursi teras belakang rumahnya. "Terima kasih, Kak. Haikal janji, Haikal akan menjaga pernikahan ini semampu dan sebisa Haikal," jawab Haikal masih dengan kepala tertunduk. "Ya. Lain waktu, bawalah Rania ke sini."Wajah lelaki itu semakin berbinar mendengar kalimat sang Kakak. "Baik, Kak. Akan Haikal kabari."Naima tersenyum lembut. Ada ketenangan di relung sana melihat wajah bahagia sang Adik. "Jangan lupa, yakini juga Kak Farida, supaya keluarga kita kembali hangat seperti dulu lagi."Deg! Haikal terpaku di tempat. Jika berhubungan dengan Kakak pertamanya itu Haikal seperti mati kutu. "Kakak masih sering menyesali keputusan sepihakmu sampai sekarang." Naima menerawang. Mengingat kembali tangis Zana di rumah sakit dulu membuat matanya berkaca-kaca. Namun seburuk apa pun ulah adiknya terdahulu, tetap saja ia menginginkan kebahagiaan menyertai adik semata
"Kakak akan pergi, karena bagi Kakak, penghianatan adalah racun dalam sebuah pernikahan. Jika rumah tangga sudah terkena racun itu, maka akan sulit mengembalikannya seperti semula, bahkan bisa saja tak akan pernah kembali seperti semula.""Tapi tidak dengan Zana. Perempuan itu masih bertahan demi Ibu, perempuan lembut itu dengan rela merawat Ibu hingga Ibu tiada." Naima mengusap sudut matanya yang mulai basah. Hatinya meringis, membayangkan perempuan cantik berhati lembut yang Allah kirimkan sebagai peneman ibunya di usia senja. Perempuan yang begitu singkat memasuki kehidupan keluarga mereka. Meski sekarang ia sering bertukar kabar dengan Zana, keadaan tidaklah sama. Kini ia harus rela dengan status Zana yang kembali menjadi orang asing dalam keluarga besar mereka. "Maafkan Haikal, Kak." Kepala lelaki itu kian tertunduk. Ia sadar, jika luka yang dulu ia ciptakan bukan hanya pada Zana, melainkan seluruh keluarganya. Bahkan hingga Zana berbahagia dengan suami barunya, luka itu mas
Usai melaksanakan salat Isya kami pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku banyak diam. Aroma makanan di sepanjang jalan membuat keringat dingin sebesar biji jagung keluar di dahiku. Badan terasa meriang, sangat tak nyaman. Setelah mengetahui bahwa aku tengah berbadan dua, membuat suasana hatiku berubah. Pun dengan indra penciumanku yang terasa lebih sensitif. Padahal sebelumnya, aku merasa tak selemah ini. "Cepetan dikit, Bang!" ucapku sedikit kesal ketika melewati warung bakso di pinggir jalan yang kami lewati. "Iya, Sayang, Abang usahakan." Bang amar melepas genggaman tangannya di jemariku kemudian fokus mengemudi. Kecepatan lari mobil yang kami tumpangi pun terasa bertambah. Aroma kuah bakso yang menguar membuatku seketika menutup mulut dan hidungku. Kudekatkan lagi botol minyak kayu putih yang sejak tadinterbuja ke hidungku, berharap dapat mengalahkan aroma bakso yang terasa mengocok perut. Keadaan jadi serba salah karena selain tak bisa mencium aroma masakan, aku juga tiba
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r