"Kakak akan pergi, karena bagi Kakak, penghianatan adalah racun dalam sebuah pernikahan. Jika rumah tangga sudah terkena racun itu, maka akan sulit mengembalikannya seperti semula, bahkan bisa saja tak akan pernah kembali seperti semula.""Tapi tidak dengan Zana. Perempuan itu masih bertahan demi Ibu, perempuan lembut itu dengan rela merawat Ibu hingga Ibu tiada." Naima mengusap sudut matanya yang mulai basah. Hatinya meringis, membayangkan perempuan cantik berhati lembut yang Allah kirimkan sebagai peneman ibunya di usia senja. Perempuan yang begitu singkat memasuki kehidupan keluarga mereka. Meski sekarang ia sering bertukar kabar dengan Zana, keadaan tidaklah sama. Kini ia harus rela dengan status Zana yang kembali menjadi orang asing dalam keluarga besar mereka. "Maafkan Haikal, Kak." Kepala lelaki itu kian tertunduk. Ia sadar, jika luka yang dulu ia ciptakan bukan hanya pada Zana, melainkan seluruh keluarganya. Bahkan hingga Zana berbahagia dengan suami barunya, luka itu mas
Usai melaksanakan salat Isya kami pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku banyak diam. Aroma makanan di sepanjang jalan membuat keringat dingin sebesar biji jagung keluar di dahiku. Badan terasa meriang, sangat tak nyaman. Setelah mengetahui bahwa aku tengah berbadan dua, membuat suasana hatiku berubah. Pun dengan indra penciumanku yang terasa lebih sensitif. Padahal sebelumnya, aku merasa tak selemah ini. "Cepetan dikit, Bang!" ucapku sedikit kesal ketika melewati warung bakso di pinggir jalan yang kami lewati. "Iya, Sayang, Abang usahakan." Bang amar melepas genggaman tangannya di jemariku kemudian fokus mengemudi. Kecepatan lari mobil yang kami tumpangi pun terasa bertambah. Aroma kuah bakso yang menguar membuatku seketika menutup mulut dan hidungku. Kudekatkan lagi botol minyak kayu putih yang sejak tadinterbuja ke hidungku, berharap dapat mengalahkan aroma bakso yang terasa mengocok perut. Keadaan jadi serba salah karena selain tak bisa mencium aroma masakan, aku juga tiba
Bang Amar hendak bangkit tapi aku segera menarik tangannya. Setidaknya jika ia berbicara di sini, aku akan tahu apa yang menjadi penyebabnya emosi. "Sudahlah, sekarang dia istriku, aku yang bertanggung jawab atasnya. Sekarang Zana tengah hamil muda, jadi tak kuperkenankan untuk membantu masalah kalian karena aku tak ingin terjadi apa-apa padanya."Tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, Bang Amar mematikan sambungan telpon. Ini kali pertama aku melihat Bang Amar dengan wajah garangnya. Aku masih terdiam dengan tangan merangkul tangan kirinya. Mataku tertutup rapat. Entah mengapa, kali ini aku bahkan tak berani menatap matanya atau sekedar tersenyum padanya. "Maaf jika kau tak suka dengan cara Abang bicara pada laki-laki itu, tapi orang seperti dia memang harus diberi tahu bagaimana caranya menjadi orang beradab." Wajahnya masih terlihat kesal. "Maafkan Zana." Tangan Bang Amar mengusap lembut kapalaku. Seperti tengah berusaha menenangkanku. "Apa yang ia katakan?" "Haikal ingi
"Zana hamil, Bu." Dengan penuh percaya diri lelaki itu berucap. Raut bahagia terpancar di wajahnya. Ibu terdiam beberapa saat. Sesaat kemudian matanya berkaca-kaca. Ibu menghambur memelukku. Suasana berubah haru. "Alhamdulillah, Na." Ibu mengusap lembut punggungku. Mengecup lembut pucuk kepalaku. "Nak Amar, Ibu titip Zana. Jaga dia, bahagiakan anak perempuan Ibu satu-satunya." Ibu terlihat berbinar. *****Tiga bulan berlalu dari hari di mana Haikal memintanya kembali, Rania kini mulai memaksa kembali dengan kesendirian dan sesal yang masih belum mampu ia tebus.Kakak sulung suaminya masih tak bisa menerima dirinya di tengah-tengah keluarga mereka, membuat Rania memilih untuk bertahan dalam keadaan sekarang.Kerap kali Haikal memohon agar ia kembali, tapi ia tetap pada pendiriannya. Kemarahan Farida waktu itu masih sangat jelas diingatannya, membuatnya enggan untuk memasuki kembali kehidupan suaminya ituitu tanpa restu kakak pertama suaminya itu. Ia sadar jika seorang istri har
Rania semakin tak kuasa menahan pilunya. Perempuan itu menutup rapat wajah dengan kedua tangannya. Tangisnya tak dapat ia bendung. Ia tak menyalahkan bocah mungil itu tidak mengenalinya sebagai ibu. Semua dirinya lah penyebabnya. Dirinya yang tak mampu berdamai dengan garis takdir yang Allah tentukan untuknya. Stelah menitipkan anak-anak pasa Rosi dan kakak-kakak yang lain, Puji berjalan cepat mendekat ke arah Rania yang berlutut di tanah dengan tangan menutupi wajah bersama isak tangis yang terdengar pilu. "Ran! Ada apa?" Puji menepuk lembut bahu Rania. Ia sendiri mulai paham apa yang tengah terjadi setelah melihat tiga orang yang saling berhadapan itu dari jarak jauh, hanya saja ia ingin mendengar dari bibir Rania sendiri. Rania menggelengkan kepala. Bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan apa yang tengah terjadi pada perempuan itu. Nek Rahima menatap dengan tatapan tak menentu. Bingung, itu lah yang ia rasakan. 'Tak mungkin rasanya, dalam waktu beberapa bulan saja seorang anak
Nek Rahima menatap lekat layar ponsel Rania. Tak diragukan lagi jika Harry adalah anak perempuan yang kini tengah duduk dengan wajah sayu di hadapannya. 'Tapi kenapa Harry seakan tak mengenal perempuan ini.' Nek Rahima membatin. Ia tak habis pikir kenapa anak itu melupakan ibunya sendiri. Apa mungkin hanya dalam waktu beberapa bulan saja anak bisa lupa pada ibunya? "Maaf sebelumnya jika aku masih meragukan kalian. Jika anda adalah orang tua Harry, kenapa anak ini tidak mengenali anda?" Rasa penasaran memaksa Nek Rahima untuk melempar pertanyaan yang sejak tadi bersarang di kepalanya. Rasa ingin tahu tentang sikap datar Harry pada perempuan itu. Puji menatap lekat pada Rania, seolah meminta izin untuk menceritakan yang sebenarnya pada Nek Rahima. Rania mengangguk pelan. Ia sadar, jika dirinya yang akan menceritakan semuanya, sudah pasti tak akan sampai selesai. Mengingatnya saja sering membuatnya menangis dalam diam. Puji menarik napas dalam, kemudian mulai menceritakan rentetan
Mungkin tangisnya kali ini bentuk rasa kecewanya pada Bang Haikal karena tidak mampu meyakinkan Kak Farida untuk menerimanya. Aku hanya menebak. Beberapa detik berlalu. Aku sengaja membiarkan Rania meluahkan luka hatinya dengan menangis. Biarlah aku yang menjadi pendengarnya."Na, Harry, Na." Suara Rania terdengar serak. Isak masih rapat terdengat. Hatiku berdesir ketika nama itu ia sebut. Harry? Ada apa dengan anak itu? Apakah ….""Harry sudah ketemu, Na." Tangis Rania kembali terdengar. Tangan kiriku memegang dada. Berusaha menahan debar jantung yang terasa ingin melompat ke luar. "Di mana, Ran?" tanyaku setengah berteriak. Haru tiba-tiba saja menyesakkan dada. Mataku berkaca-kaca, membayangkan anak itu kembali bisa kupeluk. Rania menyebutkan nama tempat di mana ia sekarang tengah bersama Harry dan juga orang yang menemukan Harry beberapa bulan lalu. Aku terperangah. Alamat yang baru saja disebut Rania cukup jauh dari sini. Dengan kecepatan sedang, harus ditempuh dalam 3 sampa
Bang Amar hanya diam, tangannya sibuk mengusap punggung hingga kepalaku. Hal yang sama yang dilakukan Nek Rahima pada Harry. "Bunda, Harry sayang Bunda." Harry berteriak histeris, sedetik kemudian tangisnya pecah. Tak ada, tak ada jawaban yang keluar dari bibirku, hanya air mata yang semakin deras mengalir membasahi wajahku. Tangan mungil itu terlihat mengusap matanya, beberapa saat kemudian kembali menangis meraung, memintaku untuk bersamanya. Berkali-kali ia memanggilku, menggapai-gapai layar ponsel yang masih di pegang Rania. "Harry mau Bundaaaa." Tangis Harry semakin membuat sesak dadaku. Rania menutup wajahnya dengan satu tangan, bahunya bergetar. Pun dengan Nek Rahima yang duduk di samping Harry. Berkali-kali tangan keriputnya mengusap sudut matanya dengan ujung jilbab instan yang ia kenakan. "Sayang, tarik napas dalam, keluarkan perlahan. Tenangin dirimu! Ingat, kamu nggak boleh banyak pikiran!" Bang Amar mengingatkanku. Aku berusaha menenangkan diri dangan melakukan ap