Nek Rahima menatap lekat layar ponsel Rania. Tak diragukan lagi jika Harry adalah anak perempuan yang kini tengah duduk dengan wajah sayu di hadapannya. 'Tapi kenapa Harry seakan tak mengenal perempuan ini.' Nek Rahima membatin. Ia tak habis pikir kenapa anak itu melupakan ibunya sendiri. Apa mungkin hanya dalam waktu beberapa bulan saja anak bisa lupa pada ibunya? "Maaf sebelumnya jika aku masih meragukan kalian. Jika anda adalah orang tua Harry, kenapa anak ini tidak mengenali anda?" Rasa penasaran memaksa Nek Rahima untuk melempar pertanyaan yang sejak tadi bersarang di kepalanya. Rasa ingin tahu tentang sikap datar Harry pada perempuan itu. Puji menatap lekat pada Rania, seolah meminta izin untuk menceritakan yang sebenarnya pada Nek Rahima. Rania mengangguk pelan. Ia sadar, jika dirinya yang akan menceritakan semuanya, sudah pasti tak akan sampai selesai. Mengingatnya saja sering membuatnya menangis dalam diam. Puji menarik napas dalam, kemudian mulai menceritakan rentetan
Mungkin tangisnya kali ini bentuk rasa kecewanya pada Bang Haikal karena tidak mampu meyakinkan Kak Farida untuk menerimanya. Aku hanya menebak. Beberapa detik berlalu. Aku sengaja membiarkan Rania meluahkan luka hatinya dengan menangis. Biarlah aku yang menjadi pendengarnya."Na, Harry, Na." Suara Rania terdengar serak. Isak masih rapat terdengat. Hatiku berdesir ketika nama itu ia sebut. Harry? Ada apa dengan anak itu? Apakah ….""Harry sudah ketemu, Na." Tangis Rania kembali terdengar. Tangan kiriku memegang dada. Berusaha menahan debar jantung yang terasa ingin melompat ke luar. "Di mana, Ran?" tanyaku setengah berteriak. Haru tiba-tiba saja menyesakkan dada. Mataku berkaca-kaca, membayangkan anak itu kembali bisa kupeluk. Rania menyebutkan nama tempat di mana ia sekarang tengah bersama Harry dan juga orang yang menemukan Harry beberapa bulan lalu. Aku terperangah. Alamat yang baru saja disebut Rania cukup jauh dari sini. Dengan kecepatan sedang, harus ditempuh dalam 3 sampa
Bang Amar hanya diam, tangannya sibuk mengusap punggung hingga kepalaku. Hal yang sama yang dilakukan Nek Rahima pada Harry. "Bunda, Harry sayang Bunda." Harry berteriak histeris, sedetik kemudian tangisnya pecah. Tak ada, tak ada jawaban yang keluar dari bibirku, hanya air mata yang semakin deras mengalir membasahi wajahku. Tangan mungil itu terlihat mengusap matanya, beberapa saat kemudian kembali menangis meraung, memintaku untuk bersamanya. Berkali-kali ia memanggilku, menggapai-gapai layar ponsel yang masih di pegang Rania. "Harry mau Bundaaaa." Tangis Harry semakin membuat sesak dadaku. Rania menutup wajahnya dengan satu tangan, bahunya bergetar. Pun dengan Nek Rahima yang duduk di samping Harry. Berkali-kali tangan keriputnya mengusap sudut matanya dengan ujung jilbab instan yang ia kenakan. "Sayang, tarik napas dalam, keluarkan perlahan. Tenangin dirimu! Ingat, kamu nggak boleh banyak pikiran!" Bang Amar mengingatkanku. Aku berusaha menenangkan diri dangan melakukan ap
Waktu semakin larut berjalan, tanpa bisa beristirahat meski sejenak. Aku berpikir keras bagaimana caranya supaya Harry bisa kembali tanpa aku yang harus menjemputnya karena kecil kemungkinan Bang Amar mengizinkan. "Kau ke sana hanya berdua dengan Puji, ya, Ran?""Nggak, Na, kami bawa anak panti."Aku kembali berpikir, tak mungkin jika aku meminta Puji menemani Rania untuk menginap di rumah Nek Rahima, mengingat tanggung jawab Puji lebih besar pada anak-anak panti. "Ya sudah, kalau begitu, apa kau bisa untuk ikut ke rumah Ibu Rahima?""Maksudmu, Na?" Rania balik bertanya. "Telpon Bang Haikal untuk jemput kalian, kupastikan Harry nggak akan menolak jika Bang Haikal yang menjemputnya. Aku nggak mungkin kayaknya kalau harus jemput Harry ke sana. Lagian Bang Amar pasti keberatan karena aku tengah hamil muda, Ran, dan sekarang tengah mabok parah."Akhirnya aku berkata jujur pada Rania kenapa aku tak bisa datang langsung menjemput Harry. Rania diam sesaat, seperti tengah berpikir."Baiklah
"Ya, beda dong. Pokoknya pengen Abang yg bikin.""Iya, iya, Abang bikinin." Bang Amar mencubit hidungku lalu beranjak kembali ke dapur. *****Puji beserta rombongan sudah berangkat kembali ke panti sejak sore tadi. Rania duduk di kursi teras depan rumah Nek Rahima.Ia tengah memikirkan saran Zana untuk meminta bantuan Haikal untuk menjemputnya. Namun, hingga saat ini ia masih belum menelpon lelaki yang masih berstatus suaminya itu. Tangannya mengusap kasar wajah yang masih sembap. Sejak seusai shalat isya, Rania pamit ke teras depan meninggalkan Nek Rahima dan Harry yang asik bermain leggo di ruang tv. Ia masih belum bisa menaklukkan hati anak itu dalam waktu sesingkat ini. Beberapa kali ia mencoba mendekat Harry dengan berbagai cara, anak itu lebih memilih Nek Rahima sebagai teman main. Rindu untuk mendekap Harry dengan hangat masih menggumpal di dadanya karena hingga saat ini, anak itu malah tak mengenalinya. Sikap yang mampu membuat hati Rania luka. Bayangan wajah Alex membuat
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga