Bang Amar hendak bangkit tapi aku segera menarik tangannya. Setidaknya jika ia berbicara di sini, aku akan tahu apa yang menjadi penyebabnya emosi. "Sudahlah, sekarang dia istriku, aku yang bertanggung jawab atasnya. Sekarang Zana tengah hamil muda, jadi tak kuperkenankan untuk membantu masalah kalian karena aku tak ingin terjadi apa-apa padanya."Tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, Bang Amar mematikan sambungan telpon. Ini kali pertama aku melihat Bang Amar dengan wajah garangnya. Aku masih terdiam dengan tangan merangkul tangan kirinya. Mataku tertutup rapat. Entah mengapa, kali ini aku bahkan tak berani menatap matanya atau sekedar tersenyum padanya. "Maaf jika kau tak suka dengan cara Abang bicara pada laki-laki itu, tapi orang seperti dia memang harus diberi tahu bagaimana caranya menjadi orang beradab." Wajahnya masih terlihat kesal. "Maafkan Zana." Tangan Bang Amar mengusap lembut kapalaku. Seperti tengah berusaha menenangkanku. "Apa yang ia katakan?" "Haikal ingi
"Zana hamil, Bu." Dengan penuh percaya diri lelaki itu berucap. Raut bahagia terpancar di wajahnya. Ibu terdiam beberapa saat. Sesaat kemudian matanya berkaca-kaca. Ibu menghambur memelukku. Suasana berubah haru. "Alhamdulillah, Na." Ibu mengusap lembut punggungku. Mengecup lembut pucuk kepalaku. "Nak Amar, Ibu titip Zana. Jaga dia, bahagiakan anak perempuan Ibu satu-satunya." Ibu terlihat berbinar. *****Tiga bulan berlalu dari hari di mana Haikal memintanya kembali, Rania kini mulai memaksa kembali dengan kesendirian dan sesal yang masih belum mampu ia tebus.Kakak sulung suaminya masih tak bisa menerima dirinya di tengah-tengah keluarga mereka, membuat Rania memilih untuk bertahan dalam keadaan sekarang.Kerap kali Haikal memohon agar ia kembali, tapi ia tetap pada pendiriannya. Kemarahan Farida waktu itu masih sangat jelas diingatannya, membuatnya enggan untuk memasuki kembali kehidupan suaminya ituitu tanpa restu kakak pertama suaminya itu. Ia sadar jika seorang istri har
Rania semakin tak kuasa menahan pilunya. Perempuan itu menutup rapat wajah dengan kedua tangannya. Tangisnya tak dapat ia bendung. Ia tak menyalahkan bocah mungil itu tidak mengenalinya sebagai ibu. Semua dirinya lah penyebabnya. Dirinya yang tak mampu berdamai dengan garis takdir yang Allah tentukan untuknya. Stelah menitipkan anak-anak pasa Rosi dan kakak-kakak yang lain, Puji berjalan cepat mendekat ke arah Rania yang berlutut di tanah dengan tangan menutupi wajah bersama isak tangis yang terdengar pilu. "Ran! Ada apa?" Puji menepuk lembut bahu Rania. Ia sendiri mulai paham apa yang tengah terjadi setelah melihat tiga orang yang saling berhadapan itu dari jarak jauh, hanya saja ia ingin mendengar dari bibir Rania sendiri. Rania menggelengkan kepala. Bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan apa yang tengah terjadi pada perempuan itu. Nek Rahima menatap dengan tatapan tak menentu. Bingung, itu lah yang ia rasakan. 'Tak mungkin rasanya, dalam waktu beberapa bulan saja seorang anak
Nek Rahima menatap lekat layar ponsel Rania. Tak diragukan lagi jika Harry adalah anak perempuan yang kini tengah duduk dengan wajah sayu di hadapannya. 'Tapi kenapa Harry seakan tak mengenal perempuan ini.' Nek Rahima membatin. Ia tak habis pikir kenapa anak itu melupakan ibunya sendiri. Apa mungkin hanya dalam waktu beberapa bulan saja anak bisa lupa pada ibunya? "Maaf sebelumnya jika aku masih meragukan kalian. Jika anda adalah orang tua Harry, kenapa anak ini tidak mengenali anda?" Rasa penasaran memaksa Nek Rahima untuk melempar pertanyaan yang sejak tadi bersarang di kepalanya. Rasa ingin tahu tentang sikap datar Harry pada perempuan itu. Puji menatap lekat pada Rania, seolah meminta izin untuk menceritakan yang sebenarnya pada Nek Rahima. Rania mengangguk pelan. Ia sadar, jika dirinya yang akan menceritakan semuanya, sudah pasti tak akan sampai selesai. Mengingatnya saja sering membuatnya menangis dalam diam. Puji menarik napas dalam, kemudian mulai menceritakan rentetan
Mungkin tangisnya kali ini bentuk rasa kecewanya pada Bang Haikal karena tidak mampu meyakinkan Kak Farida untuk menerimanya. Aku hanya menebak. Beberapa detik berlalu. Aku sengaja membiarkan Rania meluahkan luka hatinya dengan menangis. Biarlah aku yang menjadi pendengarnya."Na, Harry, Na." Suara Rania terdengar serak. Isak masih rapat terdengat. Hatiku berdesir ketika nama itu ia sebut. Harry? Ada apa dengan anak itu? Apakah ….""Harry sudah ketemu, Na." Tangis Rania kembali terdengar. Tangan kiriku memegang dada. Berusaha menahan debar jantung yang terasa ingin melompat ke luar. "Di mana, Ran?" tanyaku setengah berteriak. Haru tiba-tiba saja menyesakkan dada. Mataku berkaca-kaca, membayangkan anak itu kembali bisa kupeluk. Rania menyebutkan nama tempat di mana ia sekarang tengah bersama Harry dan juga orang yang menemukan Harry beberapa bulan lalu. Aku terperangah. Alamat yang baru saja disebut Rania cukup jauh dari sini. Dengan kecepatan sedang, harus ditempuh dalam 3 sampa
Bang Amar hanya diam, tangannya sibuk mengusap punggung hingga kepalaku. Hal yang sama yang dilakukan Nek Rahima pada Harry. "Bunda, Harry sayang Bunda." Harry berteriak histeris, sedetik kemudian tangisnya pecah. Tak ada, tak ada jawaban yang keluar dari bibirku, hanya air mata yang semakin deras mengalir membasahi wajahku. Tangan mungil itu terlihat mengusap matanya, beberapa saat kemudian kembali menangis meraung, memintaku untuk bersamanya. Berkali-kali ia memanggilku, menggapai-gapai layar ponsel yang masih di pegang Rania. "Harry mau Bundaaaa." Tangis Harry semakin membuat sesak dadaku. Rania menutup wajahnya dengan satu tangan, bahunya bergetar. Pun dengan Nek Rahima yang duduk di samping Harry. Berkali-kali tangan keriputnya mengusap sudut matanya dengan ujung jilbab instan yang ia kenakan. "Sayang, tarik napas dalam, keluarkan perlahan. Tenangin dirimu! Ingat, kamu nggak boleh banyak pikiran!" Bang Amar mengingatkanku. Aku berusaha menenangkan diri dangan melakukan ap
Waktu semakin larut berjalan, tanpa bisa beristirahat meski sejenak. Aku berpikir keras bagaimana caranya supaya Harry bisa kembali tanpa aku yang harus menjemputnya karena kecil kemungkinan Bang Amar mengizinkan. "Kau ke sana hanya berdua dengan Puji, ya, Ran?""Nggak, Na, kami bawa anak panti."Aku kembali berpikir, tak mungkin jika aku meminta Puji menemani Rania untuk menginap di rumah Nek Rahima, mengingat tanggung jawab Puji lebih besar pada anak-anak panti. "Ya sudah, kalau begitu, apa kau bisa untuk ikut ke rumah Ibu Rahima?""Maksudmu, Na?" Rania balik bertanya. "Telpon Bang Haikal untuk jemput kalian, kupastikan Harry nggak akan menolak jika Bang Haikal yang menjemputnya. Aku nggak mungkin kayaknya kalau harus jemput Harry ke sana. Lagian Bang Amar pasti keberatan karena aku tengah hamil muda, Ran, dan sekarang tengah mabok parah."Akhirnya aku berkata jujur pada Rania kenapa aku tak bisa datang langsung menjemput Harry. Rania diam sesaat, seperti tengah berpikir."Baiklah
"Ya, beda dong. Pokoknya pengen Abang yg bikin.""Iya, iya, Abang bikinin." Bang Amar mencubit hidungku lalu beranjak kembali ke dapur. *****Puji beserta rombongan sudah berangkat kembali ke panti sejak sore tadi. Rania duduk di kursi teras depan rumah Nek Rahima.Ia tengah memikirkan saran Zana untuk meminta bantuan Haikal untuk menjemputnya. Namun, hingga saat ini ia masih belum menelpon lelaki yang masih berstatus suaminya itu. Tangannya mengusap kasar wajah yang masih sembap. Sejak seusai shalat isya, Rania pamit ke teras depan meninggalkan Nek Rahima dan Harry yang asik bermain leggo di ruang tv. Ia masih belum bisa menaklukkan hati anak itu dalam waktu sesingkat ini. Beberapa kali ia mencoba mendekat Harry dengan berbagai cara, anak itu lebih memilih Nek Rahima sebagai teman main. Rindu untuk mendekap Harry dengan hangat masih menggumpal di dadanya karena hingga saat ini, anak itu malah tak mengenalinya. Sikap yang mampu membuat hati Rania luka. Bayangan wajah Alex membuat