Bang Amar mengerutkan alis. Namun akhirnya segera meraih ponsel di atas nakas. "Mama di rumah?" tanyanya dengan ponsel menempel di telinga. "Lagi sibuk nggak, Ma?" "Mama masak apa hari ini?""Nggak, Zana lagi nggak selera makan, katanya lagi pengen makan sup daging buatan Mama.""Oke, Ma. Makasih, Ma. Kami ke sana."Bang Amar meletakkan kembali ponsel di tempat semula, kemudian kembali duduk di sampingku. "Kita ke rumah Mama. Kebetulan semua perlengkapan buat masak supnya sudah tersedia karena besok Mama memang berencana masak sup daging.""Tadi, minta maaf nggak ke Mama, kalo udah ngerepotin?"Aku merasa nggak nyaman karena meminta sesuatu yang bisa mereporkan Mama. "Udah nggak papa, Kita ke sana juga Mama udah seneng banget." Bang Amar mengusap kepalaku. Senyum di bibirnya mengembang, mungkin merasa menemukan cara untuk membuatku mau makan hari ini. "Zana sungkan.""Yang terpenting sekarang kamu makan. Masalah ke Mama biar nanti ngomong langsung. Yuk, siap-siap."Dengan sigap
Tubuhku terasa lemas, kaki dan tangan terasa dingin. Keringat membanjiri dahiku, seketika badanku terasa tak nyaman. "Bawa Zana masuk kamar, Bang. Mama buatkan teh manis hangat."Tanpa menunggu persetujuanku, Bang Amar membopong tubuhku, berjalan melewati dapur dan ruang tengah lalu masuk ke kamar—kamar yang memang dipersiapkan Mama untuk kami. Dengan sigap Bang Amar melepas jilbab dari kepalaku setelah membaringkanku di ranjang. "Kau kenapa?" ulangnya lagi. Tangannya sibuk mengusap anak rambut di keningku yang telah basah oleh keringat, kemudian berpindah memijat lembut dahi, jemari tangan dan kakiku. Lagi-lagi aku hanya menggeleng dengan mata terpejam. Tubuhku terasa begitu lemas, hingga untuk membuka mata saja rasanya enggan. "Sayang, jangan membuat Abang khawatir." Rasa tak tega membuatku berusaha membuka mata, cahaya matahari yang menembus dari sela gorden membuat mataku sedikit menyipit. "Zana cuma pengen istirahat aja, Bang, nggak usah berlebihan." Aku berusaha tersenyu
Deru napas yang memburu dan detak jantung Bang Amar yang tiba-tiba berkejaran, membuatku memaksa mata kembali terbuka. Wajah Bang Amar tampak serius. Entah apa yang mereka bicarakan, hingga membuat air mukanya seketika berubah. "Lebih baik begitu, Tante. Maaf jika Dira merasa ini ulahku. Semoga di sana Dira bisa lebih dewasa lagi, bisa lebih paham dengan apa yang disebut takdir."Tak lama kemudian, Bang Amar menutup telponnya. "Kau kenapa, Sayang?" tanya Bang Amar saat mengangkat tangan yang sejak tadi menutupi wajahku. "Kenapa menangis? Abang salah apa?" Bang Amar terdengar khawatir. Tangannya sibuk mengusap lembut kepalaku. Entahlah, aku pun tak tahu, tiba-tiba saja rasanya aku ingin menangis. Tanpa tahu alasannya mengapa hati terasa memiliki beban berat yang harus kutampahkan lewat air mata. "Kau cemburu?" suara Bang Amar seperti tengah menggodaku. Aku hanya bergeming dengan tangan terus menutupi wajah. Aku memang cemburu. Cemburu saat Bang Amar menyebut nama perempuan itu. D
Ya, selama ini aku selalu membayangkan kalau Mama tak akan setulus ini menerimaku dalam keluarga mereka. Namun pada kenyataannya, perlakuan Mama begitu bersahabat, bahkan aku sempat merasa tak nyaman karena merasa selalu dilayani. "Makasih, Ma," ucapku setelah melipat mukena dan sajadah. "Malam ini nginep di sini saja, besok kalau masih belum baikan biar Mama yang jagain, jadi Abang bisa berangkat ke kantor.""Oh, ya, Mama ke luar dulu, mau belanja beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis."*****"Terima kasih, Sayang." Serak suara yang keluar dari bibir Bang Amar ketika merangkulku dalam pelukannya saat kami baru saja masuk kamar. Seperti tengah menahan tangis karena haru. Aku pun tak jauh berbeda, bulir bening sejak tadi menerobos ke luar, sejak dokter mengatakan kalau aku akan menjadi seorang Ibu. Ya, aku tengah hamil. Calon buah hati kami tengah tinggal di rahimku. Kurasakan kasih sayang Allah Maha Luar Biasa. Penantian panjang akhirnya membuahkan hasil. Untaian do'a di seti
Naima berucap lembut, namun penuh penekanan. Mata perempuan cantik berjilbab marun itu menatap lekat sang Adik yang menunduk di kursi teras belakang rumahnya. "Terima kasih, Kak. Haikal janji, Haikal akan menjaga pernikahan ini semampu dan sebisa Haikal," jawab Haikal masih dengan kepala tertunduk. "Ya. Lain waktu, bawalah Rania ke sini."Wajah lelaki itu semakin berbinar mendengar kalimat sang Kakak. "Baik, Kak. Akan Haikal kabari."Naima tersenyum lembut. Ada ketenangan di relung sana melihat wajah bahagia sang Adik. "Jangan lupa, yakini juga Kak Farida, supaya keluarga kita kembali hangat seperti dulu lagi."Deg! Haikal terpaku di tempat. Jika berhubungan dengan Kakak pertamanya itu Haikal seperti mati kutu. "Kakak masih sering menyesali keputusan sepihakmu sampai sekarang." Naima menerawang. Mengingat kembali tangis Zana di rumah sakit dulu membuat matanya berkaca-kaca. Namun seburuk apa pun ulah adiknya terdahulu, tetap saja ia menginginkan kebahagiaan menyertai adik semata
"Kakak akan pergi, karena bagi Kakak, penghianatan adalah racun dalam sebuah pernikahan. Jika rumah tangga sudah terkena racun itu, maka akan sulit mengembalikannya seperti semula, bahkan bisa saja tak akan pernah kembali seperti semula.""Tapi tidak dengan Zana. Perempuan itu masih bertahan demi Ibu, perempuan lembut itu dengan rela merawat Ibu hingga Ibu tiada." Naima mengusap sudut matanya yang mulai basah. Hatinya meringis, membayangkan perempuan cantik berhati lembut yang Allah kirimkan sebagai peneman ibunya di usia senja. Perempuan yang begitu singkat memasuki kehidupan keluarga mereka. Meski sekarang ia sering bertukar kabar dengan Zana, keadaan tidaklah sama. Kini ia harus rela dengan status Zana yang kembali menjadi orang asing dalam keluarga besar mereka. "Maafkan Haikal, Kak." Kepala lelaki itu kian tertunduk. Ia sadar, jika luka yang dulu ia ciptakan bukan hanya pada Zana, melainkan seluruh keluarganya. Bahkan hingga Zana berbahagia dengan suami barunya, luka itu mas
Usai melaksanakan salat Isya kami pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku banyak diam. Aroma makanan di sepanjang jalan membuat keringat dingin sebesar biji jagung keluar di dahiku. Badan terasa meriang, sangat tak nyaman. Setelah mengetahui bahwa aku tengah berbadan dua, membuat suasana hatiku berubah. Pun dengan indra penciumanku yang terasa lebih sensitif. Padahal sebelumnya, aku merasa tak selemah ini. "Cepetan dikit, Bang!" ucapku sedikit kesal ketika melewati warung bakso di pinggir jalan yang kami lewati. "Iya, Sayang, Abang usahakan." Bang amar melepas genggaman tangannya di jemariku kemudian fokus mengemudi. Kecepatan lari mobil yang kami tumpangi pun terasa bertambah. Aroma kuah bakso yang menguar membuatku seketika menutup mulut dan hidungku. Kudekatkan lagi botol minyak kayu putih yang sejak tadinterbuja ke hidungku, berharap dapat mengalahkan aroma bakso yang terasa mengocok perut. Keadaan jadi serba salah karena selain tak bisa mencium aroma masakan, aku juga tiba
Bang Amar hendak bangkit tapi aku segera menarik tangannya. Setidaknya jika ia berbicara di sini, aku akan tahu apa yang menjadi penyebabnya emosi. "Sudahlah, sekarang dia istriku, aku yang bertanggung jawab atasnya. Sekarang Zana tengah hamil muda, jadi tak kuperkenankan untuk membantu masalah kalian karena aku tak ingin terjadi apa-apa padanya."Tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, Bang Amar mematikan sambungan telpon. Ini kali pertama aku melihat Bang Amar dengan wajah garangnya. Aku masih terdiam dengan tangan merangkul tangan kirinya. Mataku tertutup rapat. Entah mengapa, kali ini aku bahkan tak berani menatap matanya atau sekedar tersenyum padanya. "Maaf jika kau tak suka dengan cara Abang bicara pada laki-laki itu, tapi orang seperti dia memang harus diberi tahu bagaimana caranya menjadi orang beradab." Wajahnya masih terlihat kesal. "Maafkan Zana." Tangan Bang Amar mengusap lembut kapalaku. Seperti tengah berusaha menenangkanku. "Apa yang ia katakan?" "Haikal ingi