"Iya, Na. Ternyata Bang Haikal sempat melihatku di pernikahan Farah waktu itu. Dan sejak saat itu, dia berusaha mencariku." Gurat canggung terlihat jelas di wajah Rania. Sekilas aku melirik Bang Amar yang tengah duduk sendiri, di tempat yang sama. Lelakiku itu kini tengah menikmati jus mangga sambil memainkan ponselnya."Dia memintamu kembali?" tebakku, membuat Rania mengangguk pelan. "Aku minta waktu untuk memutuskannya, apakah aku akan kembali atau tidak." "Kenapa? Bukankah kau menginginkan hal serupa?"Aku tahu itu dari Sinta dulu, jika Bang Haikal adalah lelaki pertama yang membuat Rania jatuh hati karena perlakuannya. Apakah aku cemburu? Tidak. Luka itu masih membekas. Namun aku tak boleh egois. Masa lalu Rania sudah sangat berat untuk ia lalui. Sudah sewajarnya sesama perempuan, aku mendukung jalan kebahagiaannya karena aku sendiri sudah merasa sangat bahagia dengan pilihanku sekarang. Rania menenganggukkan kepala. Menarik sudut bibir membentuk bulan sabit. Ia tersenyum den
Berada di posisiku menjadi serba salah. Aku tak ingin berdiri pada pihak mana pun. Namun aku hanya ingin Rania menemukan kebahagiaan dengan tenang, tanpa merasa bahagia di atas penderitaan yang lain. "Bersabarlah, Ran. Kau pasti akan mendapatkan restu cepat atau lambat. Seperti yang kukatakan tadi, minta lah Bang Haikal untuk membujuk keduanya. Dan kau, lakukan shalat istikhoroh. Semoga kau menemukan titik terang." "Entahlah, Na. Aku tak yakin. Namun akan kucoba." Bibir Rania menyungging senyum setengah terpaksa. "Tak perlu berkecil hati. Yakini saja, apa yang telah dan akan terjadi, semua merupakan jalan terbaik." Aku berusaha menyemangati Rania. "Bagaimana jika mereka tidak juga memaafkanku, Na?"Aku memang sempat meminta Rania untuk kembali, tapi tak pernah ada dalam benakku, jika aku akan menjadi penyatu antara mereka. Rasa tak nyaman mulai menghampiriku. Bagaimana tidak, sekuat apa aku menolak, tetap saja Rania adalah perempuan yang pernah membuat pernikahan pertamaku gagal.
"Lihat sini!" Wajahku terangkat, membuat tatapan kami bertemu. Bang Amar menatapku dengan wajah gemas. "Maafin, Zana," lirihku. Rasa bersalah membuatku iba melihat wajah bahagianya. Aku menebak, jika ia hanya sedang berusaha membuatku lebih tenang. Lembut ia mengecup keningku, kedua mataku, hingga ke pucuk kepala. Kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan setiap selepas shalat. "Dua kali. 'Kan qadha untuk magrib tadi." Bang Amar tertawa pelan, kemudian mendaratkan kembali beberapa kecupan di wajah dan kepalaku. Bibirku mengulas senyum. Senyum setengah dipaksakan. "Maafin Zana." Kembali kalimat itu kuulang, berharap rasa bersalahku pada suamiku itu bisa terhapus. Senyum lembut nan menenangkan mengurai di bibir Bang Amar. "Abang yang seharusnya minta maaf. Abang yang tak bisa menempatkan situasi. Maafkan Abang, Sayang," ucapnya lembut. Hatiku merasakan haru. Bagaimana tidak, aku yang jelas-jelas meninggikan suara pada Bang Amar hingga membuatnya seketika terdiam. Namun, dia-lah yan
Mengingat nama Harry hati rasanya meringis. Di mana 'kah anak itu? Aku rindu. Bahkan sangat rindu. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca, hingga mengharuskanku terpejam beberapa saat untuk menata hati agar tak terlalu perih. Meski berbagai cara untuk menemukan Harry sudah dilakukan. Namun bocah laki-laki itu belum juga ada tanda-tanda keberadaannya. Aku hanya meminta di setiap do'a, agar bisa dipertemukan kembali dengan Harry dalam keadaan apa pun. "Kau merindukannya?" "Siapa?""Anak itu."Aku mengangguk pelan. Rasa rindu pada Harry memang kerap kali datang menyapaku, membuat kenangan saat bersamanya kembali berputar di kepala. "Haikal?" Dahiku berkerut ketika nama itu ke luar. "Kupikir…." Suara Bang Amar menggantung. "Pikir apa?" "Kau—kau masih memiliki rasa padanya."Suasana hati yang tadi haru seketika berubah. Aku yang awalnya sempat menatapnya sendu, kini berusaha menahan tawa. "Apa ini alasan Abang tadi mendiamiku?" Tawaku pecak melihat Bang Amar yang tengah menggarul kepala
"Maaf sebelumnya karena ini tak sesuai rencana."Aku menautkan alis. Tak mengerti arah pembicaraan Bang Amar. "Buka aja." Bang Amar mempersilakan. "Paket honeymoon ke Lombok," pekikku bersemangat. Tempat yang sejak lama ingin kukunjungi kembali. Ya, sebelum menikah dengan Bang Haikal dulu, aku memang pernah ke Lombok bersama Farah, tepatnya ke Gili Trawangan. Pulau kecil yang menyajikan pemandangan luar biasa dan telah membuatku jatuh hati bahkan sebelum aku mengunjunginya. "Ke Gili Trawangan juga 'kan?" Aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahku. Bang Amar mengangguk sambil tersenyum manis. Sedangkan aku, aku menghambur memeluknya. "Makasih," ucapku seraya membenamkan wajahku di bahunya. Rasa haru kembali menyelimuti hatiku. Ternyata benar, kita akan dihargai tergantung tempat di mana kita berada. Itu juga yang tengah kurasakan sekarang. Membayangkan keindahan Gili Trawangan yang kali ini akan terasa berlipat karena aku akan mengunjunginya bersama Bang Amar. Lelaki y
Bang Amar mengerutkan alis. Namun akhirnya segera meraih ponsel di atas nakas. "Mama di rumah?" tanyanya dengan ponsel menempel di telinga. "Lagi sibuk nggak, Ma?" "Mama masak apa hari ini?""Nggak, Zana lagi nggak selera makan, katanya lagi pengen makan sup daging buatan Mama.""Oke, Ma. Makasih, Ma. Kami ke sana."Bang Amar meletakkan kembali ponsel di tempat semula, kemudian kembali duduk di sampingku. "Kita ke rumah Mama. Kebetulan semua perlengkapan buat masak supnya sudah tersedia karena besok Mama memang berencana masak sup daging.""Tadi, minta maaf nggak ke Mama, kalo udah ngerepotin?"Aku merasa nggak nyaman karena meminta sesuatu yang bisa mereporkan Mama. "Udah nggak papa, Kita ke sana juga Mama udah seneng banget." Bang Amar mengusap kepalaku. Senyum di bibirnya mengembang, mungkin merasa menemukan cara untuk membuatku mau makan hari ini. "Zana sungkan.""Yang terpenting sekarang kamu makan. Masalah ke Mama biar nanti ngomong langsung. Yuk, siap-siap."Dengan sigap
Tubuhku terasa lemas, kaki dan tangan terasa dingin. Keringat membanjiri dahiku, seketika badanku terasa tak nyaman. "Bawa Zana masuk kamar, Bang. Mama buatkan teh manis hangat."Tanpa menunggu persetujuanku, Bang Amar membopong tubuhku, berjalan melewati dapur dan ruang tengah lalu masuk ke kamar—kamar yang memang dipersiapkan Mama untuk kami. Dengan sigap Bang Amar melepas jilbab dari kepalaku setelah membaringkanku di ranjang. "Kau kenapa?" ulangnya lagi. Tangannya sibuk mengusap anak rambut di keningku yang telah basah oleh keringat, kemudian berpindah memijat lembut dahi, jemari tangan dan kakiku. Lagi-lagi aku hanya menggeleng dengan mata terpejam. Tubuhku terasa begitu lemas, hingga untuk membuka mata saja rasanya enggan. "Sayang, jangan membuat Abang khawatir." Rasa tak tega membuatku berusaha membuka mata, cahaya matahari yang menembus dari sela gorden membuat mataku sedikit menyipit. "Zana cuma pengen istirahat aja, Bang, nggak usah berlebihan." Aku berusaha tersenyu
Deru napas yang memburu dan detak jantung Bang Amar yang tiba-tiba berkejaran, membuatku memaksa mata kembali terbuka. Wajah Bang Amar tampak serius. Entah apa yang mereka bicarakan, hingga membuat air mukanya seketika berubah. "Lebih baik begitu, Tante. Maaf jika Dira merasa ini ulahku. Semoga di sana Dira bisa lebih dewasa lagi, bisa lebih paham dengan apa yang disebut takdir."Tak lama kemudian, Bang Amar menutup telponnya. "Kau kenapa, Sayang?" tanya Bang Amar saat mengangkat tangan yang sejak tadi menutupi wajahku. "Kenapa menangis? Abang salah apa?" Bang Amar terdengar khawatir. Tangannya sibuk mengusap lembut kepalaku. Entahlah, aku pun tak tahu, tiba-tiba saja rasanya aku ingin menangis. Tanpa tahu alasannya mengapa hati terasa memiliki beban berat yang harus kutampahkan lewat air mata. "Kau cemburu?" suara Bang Amar seperti tengah menggodaku. Aku hanya bergeming dengan tangan terus menutupi wajah. Aku memang cemburu. Cemburu saat Bang Amar menyebut nama perempuan itu. D