Sinar matahari yang mulai menghangat turut menjadi saksi gumpal di relung sana yang ikut menghangat. Sosok yang selalu Rania rindukan kini kembali. Rania masih bergeming menikmati detak jantung yang berpacu semakin cepat. Serta mencari kata yang tepat untuk jawaban yang akan Ia berikan. Rasa itu masih begitu kuat hingga mampu menghadirkan kembali desir yang dulu pernah ada. Sekuat apa ia menahan nyatanya cinta itu masih terasa begitu besar pada sosok yang kini tengah tegak berdiri di hadapannya.Sosok yang berapa waktu lalu mengikat Janji Suci dengannya meski hanya secara siri. Teringat kembali bagaimana lembutnya perlakuan Sang suami saat bersama dulu. Memperlakukannya dengan penuh cinta, meski dirinya tahu ia hanyalah tempat pelarian. "Pulanglah bersamaku!" Kembali ajakan itu terdengar dari bibir yang sama. "Aku tak ingin mengulang kesalahan sebelumnya," ucap Rania dengan kepala masih tertunduk. Rasa cinta itu masih sama. Namun tetap saja sesal itu ini lebih mendominasi, membu
"A—aku, aku hanya ingin fokus mencari Harry dahulu. " Kalimat itu ke luar tanpa ia sengaja. "Ke—kenapa dengan Harry? Bukankah dia bersamamu?" Haikal tampak kaget. Selama ini yang iya tahu, Harry tinggal bersama sang Nenek atau bahkan mungkin bersama Rania—ibunya.Rania terlihat menghela nafas dalam. Beban di dadanya kembali terasa, ketika teringat Harry yang entah di mana rimbanya. "Bulan lalu, Mama ditangkap polisi." Rania mulai menceritakan penyebab Harry hilang dengan helaan napas dalam. Hingga tanpa mampu ia tahan, air mata menerobos keluar mengalir lembut di pipi mulusnya. Sesal yang selama ini bergelayut di dadanya karena telah menyia-nyiakan Harry belum juga reda, ditambah lagi Harry yang kini tidak ia ketahui bagaimana keadaannya. Melihat rasa bersalah dan kekhawatiran di wajah Rania menciptakan Rasa Bahagia di hati Haikal. Bukan, bukan rasa bahagia karena Harry hilang, melainkan bahagia mendapati rasa sayang Rania pada Harry yang kini mulai tumbuh dan berkembang. Namun d
Tiga hari sudah aku resmi menjadi istri Bang Amar dan sejak kemarin, kami tinggal di rumah Bang Amar. Rumah yang ia beli dari jerih payahnya sendiri jauh sebelum kami menikah.Rumah yang kami tinggali cukup besar. Rumah berlantai dua yang terletak tidak begitu jauh dari pusat Kota. "Ayo sarapan, Sayang." Bang Amar berjalan masuk dan mendekat ke arahku berdiri. Di depan jendela kamar di lantai dua. Kamar yang Bang Amar tempati dulu, sekaligus kamar yang kami tempati untuk sementara sebelum kamar utama selesai dirapikan. Tangannya merangkul di pinggangku. "Zana belum laper." Kebiasaan waktu sarapanku memang sedikit berbeda. Aku terbiasa sarapan di jam sembilan pagi. Kebiasaan yang entah kapan datangnya, aku baru menyadarinya beberapa tahun terakhir. Seingatku, saat masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, aku dibiasakan oleh Ibu untuk sarapan lebih awal, mengingat setengah delapan pagi waktunya masuk sekolah. Mataku terpejam seraya menarik nafas panjang. Me
"Na, Apa kau pikir Aku menginginkanmu hanya karena hasrat lelaki dewasa?" tanya bang Amar dengan nada hati-hati. "Jika keturunan yang menjadi yang utama, mungkin bukan kau yang menjadi Pilihanku." Tangan kekarnya kini merengkuh tubuhku, merapatkan di dadanya hingga tak berjarak. Aku hanya bergeming. Menikmati usapan hingga kecupan lembut dari Bang Amar di kepalaku. "Jangan berpikir yang bukan-bukan! Cukup temani aku dan jadi istri yang baik untukku." Bang Amar kembali menghujaniku dengan ciuman. " Mungkin setelah ini, Abang akan semakin sering merinduimu dan tak betah jauh darimu karena memang kau milik Abang dan hanya akan menjadi milik Abang. Pernikahan bukan hanya tentang keturunan dan menuntaskan syahwat saja, Sayang."Aku hanya mengangguk dengan kepala sedikit tertunduk. Rasa yang belum biasa membuat kekhawatiran kerap kali kembali menderaku. Bang Amar kembali menarikku dalam pelukannya. Menghujaniku dengan ciuman tanpa mampu kutolak.Bibirnya dengan lembut menyusuri setiap in
Beberapa hari ini semburat bahagia kembali menghiasi wajah tampan Haikal. Wajah yang selalu terlihat tak bersemangat itu kini kembali menampakkan rona bahagia. Semua bermula saat pertama kali melihat Rania di pesta pernikahan Fikri. Rasa penasaran memenuhi rongga dadanya, hingga ia pun berinisiatif untuk mencari tahu di mana dan dengan siapa Rania tinggal, serta apa yang membuat Rania berubah menjadi berbanding terbalik dengan Rania yang ia kenal. Di mata Haikal, Rania memang tak secantik Zana. Namun setelah melihat perempuan itu dalam balutan gamis dan kerudung panjang, sudut hatinya bergetar. Rania begitu anggun dengan penampilan barunya. Begitulah yang Haikal lihat. Ada rasa tak rela jika istri kedua yang kini menjadi satu-satunya itu sampai meninggalkannya seperti yang dilakukan Zana padanya. Beberapa hari lalu sebelum ia memberanikan diri untuk bertemu Rania, Haikal sempat menemui pemilik panti. "Anda Haikal? Suami Rania?" Puji spontan menutup mulut dengan tangannya ketika
Keduanya larut dalam haru karena orang yang sama. Rania. Perempuan itu banyak menyimpan luka, hingga ia merasa tak mampu lagi menanggungnya. "Rania sangat mencintai anda. Sering kali ia menceritakan hal-hal menyenangkan yang kalian lewati. Namun harus berakhir dengan air mata, ketika ia kembali menyesali semuanya. Ia sangat menyesal karena telah membohongi anda dan menyia-nyiakan Harry." Beberapa saat ruangan tempat mereka berada hening. Tersisa hanyalah suasana haru yang menyesakkan dada. "Aku datang karena ingin memperbaiki kesalahanku," ucap Haikal mantap. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu ia kehilangan Zana, meski nyatanya kali ini dengan alasan yang berbeda. "Rania perempuan yang baik, hanya saja trauma masa lalu membuatnya melampiaskan pada hal yang salah. Bawa kembali kebahagiaannya ynag sempat hilang. Aku percaya, kau mampu melakukannya."Hingga pukul dua dini hari Baru lah mata Haikal mampu terpejam. Bibirnya menyungging senyum ketika bayangan Rania
Tok! Tok! Tok! Suara pintu kamar di ketuk. Puji berjalan mendekat. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu menguar senyum, membuat wajah cantiknya semakin menawan. Perempuan muda dengan wajah teduh itu berjalan pelan mendekat ke arah Rania. "Sejak habis subuh nggak keluar kamar lagi. Kenapa?" tanya Puji pada Rania. Ia menangkap wajah gamang dari perempuan yang pernah ia tolong dulu. Rania menarik tangan Puji agak mendekat. Puji duduk menghadap Rania yang kini ikut duduk. Untuk beberapa saat keduanya terdiam beberapa saat, hanya helaan napas berat dari mulut Rania yang terdengar. "Bagaimana menurutmu, jika Bang Haikal memintaku kembali?" Suara Rania terdengar lirih. Ada beban yang berusaha ia uraikan."Oh, ya. Itu bagus, dong." Puji berpura-pura terkejut saat mendengar pertanyaan Rania. Sesungguhnya ia pun sudah menyangka hal itu akan terjadi, mengingat pembicaraannya dengan Haikal beberapa waktu lalu. Rania tersenyum sesaat. Namun setelahnya air muka bahagia itu menghilang. "Ke
"Iya, Na. Ternyata Bang Haikal sempat melihatku di pernikahan Farah waktu itu. Dan sejak saat itu, dia berusaha mencariku." Gurat canggung terlihat jelas di wajah Rania. Sekilas aku melirik Bang Amar yang tengah duduk sendiri, di tempat yang sama. Lelakiku itu kini tengah menikmati jus mangga sambil memainkan ponselnya."Dia memintamu kembali?" tebakku, membuat Rania mengangguk pelan. "Aku minta waktu untuk memutuskannya, apakah aku akan kembali atau tidak." "Kenapa? Bukankah kau menginginkan hal serupa?"Aku tahu itu dari Sinta dulu, jika Bang Haikal adalah lelaki pertama yang membuat Rania jatuh hati karena perlakuannya. Apakah aku cemburu? Tidak. Luka itu masih membekas. Namun aku tak boleh egois. Masa lalu Rania sudah sangat berat untuk ia lalui. Sudah sewajarnya sesama perempuan, aku mendukung jalan kebahagiaannya karena aku sendiri sudah merasa sangat bahagia dengan pilihanku sekarang. Rania menenganggukkan kepala. Menarik sudut bibir membentuk bulan sabit. Ia tersenyum den