"Jangan mengungkit sesuatu yang sudah berlalu! Bersyukur, Hidayah Allah datang belum terlambat. Jujur, Ran, aku bahagia melihatmu yang sekarang," ucapku dengan senyum tulus. Mungkin ada yang berpikir, mengapa aku masih sepeduli ini pada Rania? Harusnya aku bahagia melihat orang yang telah merebut kebahagiaanku, hancur seperti ini. Dulu, aku memang berpikir, bahwa aku akan puas jika melihat Rania menderita. Nyatanya yang aku rasakan, dendam hanya akan membuat kebahagiaanku terasa sempit. "Alhamdulillah, Na. Aku masih di pertemukan dengan orang-orang baik, termasuk dirimu.""Aku pun bersyukur, kau sudah bersama orang yang tepat sekarang.""Iya,Na. Saat ini aku tinggal bersama orang yang telah membantuku waktu itu. Ikut membantunya mengelola Panti Asuhan peninggalan orangtuanya. Sebab itu juga tiba-tiba aku begitu merindukan harry. Setiap hari bertemu anak-anak ... rasa sayang terhadap harry perlahan muncul. Aku begitu ingin bertemu dengannya. Aku ingin menebus kesalahanku selama ini
Sebenarnya aku cukup mengerti dengan perasaan Rania terhadap Bang Haikal. Cinta itu masih ada, dan masih cukup kuat.Tidak, aku sama sekali tidak cemburu. Lebih tepatnya aku tidak lagi merasakan cemburu. Hanya saja aku tak tega melihat Rania dengan sesal yang bertubi-tubi. "Jangan menanyakan hal itu padaku, Na!" Rania menggenggam erat kedua tangannya, seperti tengah berusaha untuk kuat. "Maafkan aku, Ran! Aku tak berniat apa-apa, selain berharap kau menemukan kebahagiaanmu lagi."Hening. Kami berdua memilih diam untuk waktu yang cukup lama. Isakan kecil masih saja terdengar dari bibir Rania. Aku tahu, banyak hal yang membuat Rania bersedih dan salah satunya adalah rasa kehilangannya atas Bang Haikal. "Kau lebih berhak atas Bang Haikal, Na." Rania seperti tengah berbisik pada dirinya sendiri. Lirih suaranya ke luar, hingga dalam jarak sedekat ini aku hampir tak mendengarnya. Aku menoleh cepat pada Rania. "Kau salah. Sekarang aku bahkan lebih tak berhak darimu." Aku sengaja berkat
"Baiklah. Maaf jika aku tak bisa membantumu lebih banyak," ucapku. Rania mengangguk pelan. "Kau bahkan begitu banyak membantuku, Na. Jika bukan karena kau yang berbesar hati, mungkin Harry sudah lama berada di Panti Asuhan. Aku sangat-sangat berterima kasih padamu, Na. Aku benci baru menyadari semuanya sekarang.""Sudahlah, Ran. Aku bahagia karena pernah membersamai Harry dalam tumbuh kembangnya." "Terima kasih, Na. Aku hanya berharap, kedepannya kau bisa memendam hal buruk tentang ku untukmu sendiri."Aku cukup mengerti maksud perkataannya barusan. "Iya, Ran," ucapku bersamaan dengan anggukan pelan. Beberapa saat kemudian kami sama-sama memilih diam. Tinggallah lantunan doa penutup, yang terdengar dari sound system yang terpasang menghadap masjid, sebagai penanda berakhirnya acara. *****Sepanjang perjalanan pulang aku memilih diam. Berapa kali Ibu berbicara tentang isi ceramah tadi, aku hanya mengiyakan, sesekali mengangguk. Di samping embusan angin yang menjadi lebih kencang ka
Aku menanggapi tatapan Bang Amar dengan mengendikkan bahu. Aku cukup tahu, alasan Bang Amar jarang berkunjung, hanya saja tak mungkin rasanya jika aku harus jujur pada ibu tentang rasa Bang Amar padaku yang terpendan sejak lama. "Nggak papa, Bu, Amar agak sibuk saja sekarang." Bang Amar beralasan. Aku hanya tersenyum geli mendengarnya. Bang Amar seperti makin menikmati dan terlihat begitu ramah saat bersama Ibu. kesan pendiam yang selama ini melekat, seakan hilang begitu saja dari dirinya. "Zana tinggal dulu, ya," ucapku menyela pembicaraan mereka disertai nyengir kuda. Tanpa menunggu persetujuan dari keduanya, aku bangkit berjalan masuk ke dalam, karena kulit ini terasa mulai lengket disebabkan keringat. Dalam waktu 20 menit, aku sudah selesai mengenakan pakaian. Kemeja putih berpadu dengan baggy pants berbahan jeans yang sedikit longgar berwarna biru tua menjadi pilihanku, melengkapinya dengan pashmina hitam polos. Kemudian menyapu sedikit riasan pada wajahku, agar terlihat
Kuseruput es jeruk peras yang sejak tadi belum kusentuh, sekedar untuk mengalirkan rasa sejuk di tenggorokan, demi menetralisir perasaan tak nyaman yang mulai menghampiri. Bang Amar terlihat memindai wajahku, membuat kepercayaan diriku seketika pudar. Aku memilih mengalihkan pandangan pada objek lain, sambil menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkannya. "Menunggu Abang putus hubungan dengan Dira."Mungkinkah Bang Amar lebih dulu memiliki hubungan khusus dengan Dira sebelumnya? Wajahku seketika berubah sendu seiring debar jantung yang mulai tidak stabil. "Jangan mikir yang bukan-bukan?" Bang Amar seperti tengah membaca isi kepalaku. Aku hanya bergeming. Menunggu kalimatnya terucap sempurna. Bang Amar menarik nafas dalam, sebelum akhirnya kalimat itu terucap. " Ini hanya sebuah perjodohan. Bukan tentang perasaan." Bang Amar terdengar serius. Aku menarik nafas lega, berharap semua ucapannya memang benar, jika dirinya tak memiliki rasa pada Dira. "Rencananya besok malam, du
Amar duduk di sisi tempat tidur. Berapa kali dadanya naik turun menghirup dan menghembuskan napas panjang.Malam ini, mamanya akan mengajak keluarga mereka untuk berkunjung ke rumah Dira. Untuk membicarakan pembatalan perjodohan antara dirinya dan Dira.Bukan, bukan merasa berat hati. Melainkan dirinya merasa khawatir, Jika pihak keluarga Dira tak terima dengan keputusan pihak keluarganya. Sebenarnya sejak awal Amar tidak pernah menginginkan perjodohan ini. Mamanya-lah yang bersikeras memintanya dengan alasan ingin segera melihat Amar menikah. Mengingat usianya yang tak muda lagi. Amar pun tidak pernah mengatakan kesediaannya. Namun nyatanya sang Mama yang mengatur semuanya tanpa persetujuan Amar. Dengan langkah gontai, Amar berjalan ke arah pintu. Menuruni puluhan anak tangga menuju lantai bawah. Mama dan papanya terlihat sudah rapi. Keduanya duduk di ruang keluarga menunggu Amar dan Karin selesai siap-siap. "Berangkat sekarang, Ma?" tanya Amar. Saat dirinya semakin dekat. "Nu
Dua perempuan itu berbincang hangat untuk waktu yang cukup lama. Pun dengan Dua orang laki-laki yang berperan sebagai kepala dalam keluarga mereka. Keduanya terkadang ikut nimbrung pada tema yang tengah dibahas. Mereka terlihat sangat dekat. Jam dinding setinggi dada orang dewasa, yang berdiri kokoh di sudut ruangan berdentang kencang sebanyak sembilan kali. Pertanda waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tak terasa, satu jam sudah mereka berbincang ria, hingga hampir melupakan tujuan mereka datang ke sini. Hingga akhirnya, Pak Salim menyenggol pelan bahu sang istri mengisyaratkan agar segera membicarakan tujuan utama. Ibu Melia menatap sang suami yang duduk di sampingnya. Wajah yang semula ceria seketika berubah cemas. Perempuan itu berharap sang suami lah yang akan mewakilinya berbicara. Pak Salim hanya bergeming. Sengaja ia tidak menoleh pada istrinya, melainkan menatap pada suami istri yang duduk di hadapannya dengan senyum seramah mungkin. Lelaki itu sengaja membiarkan istr
Aku baru saja selesai mandi saat ponselku berdering. Sedikit kupercepat langkah kaki menuju kamar untuk melihat siapa yang telah menelponku sepagi ini.Rania. Rasa penasaran tentang kabar Harry, membuatku segera menggeser tombol dial untuk mengangkat telepon dari Rania."Hari ini kamu sibuk nggak, Na?" Suara dari seberang sana. "Enggak kok, Ran. Kebetulan lagi libur kuliah," jawabku jujur. Tangan kananku mengusap perlahan rambut yang masih basah dengan handuk untuk mengeringkannya. Rania terdengar menghela nafas berat. Kemudian berbicara. "Aku berkali-kali menelpon Mama, tapi nomornya enggak pernah aktif."Aku mendengar dengan seksama kata demi kata yang masuk ke telingaku. Tanpa berniat menyela. "Kemarin, aku telepon tante Leni, adik mama satu-satunya. Katanya Mama masuk penjara sejak dua bulan lalu." Suara Rania terdengar getir. Aku tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. seketika tanganku berhenti bergerak."Kok bisa, Ran?" tanyaku tak bisa lagi membendung rasa penasaranku.